Reporter: Theo Kelen, Rabin Yarangga, Dominggus A Mampioper, Angela Flassy
Timika, Jubi – Aktivitas tambang PT Freeport Indonesia sejak 1972 telah mengubah gunung menjadi jurang raksasa, menggerus dan melumat batuan kaya mineral emas, dan membuang “sisa” batuannya ke sungai di Kabupaten Mimika, Papua Tengah. Sisa batuan disebut tailing itu mendatangkan rejeki bagi ribuan pendulang, namun juga menimbulkan pendangkalan sungai dan pesisir Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah. Jubi dan CNN Indonesia berkolaborasi meliput beragam cerita keberadaan tailing PT Freeport Indonesia, baik sebagai pembawa rejeki ataupun sebagai pembawa masalah. Tulisan ini merupakan bagian pertama dari tiga laporan kolaborasi peliputan tersebut.
Stenly Tuanubun (42) tampak sibuk mengangkat tumpukan pasir tailing memakai sekop, lalu menuangkan pasir itu ke alat penyaringnya. Pasir itu ia tuangkan ke “mulut” alat penyaring yang berupa sebidang kawat kasa.
Lalu ia menyirami pasir itu dengan air, perlahan-lahan, hingga butiran pasir halus jatuh melalui kawat kasa itu. Air yang membawa pasir halus tailing mengucur jatuh ke karpet yang ditaruh miring di bawahnya. Kian lama, karpet kecil yang biasanya dipakai untuk beribadah itu menghitam karena menahan endapan pasir halus tailing.
Butiran pasir kasar yang turun mengucur bersama air tidak akan tertahan karpet kecil itu, dan mengalir ke arah kolam kecil di kamp pendulang yang ada di Kali Kabur, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah. Setiap butiran pasir yang masuk ke kolam berukuran sekitar 2 x 1 dua meter persegi itu nantinya bakal disaring ulang setelah sepekan, karena Stenly masih bisa mendapat emas dari sisa-sisa pasir tailing PT Freeport Indonesia itu. “Kami [pendulang] biasa sebut naga, [itu sebutan sisa dari tailing yang mengendam di kolam penampungan],” kata Stenly kepada Jubi, pada Sabtu, 4 Februari 2023.
Pria asal Maluku itu kemudian mengambil karpet kecil yang basah dan menghitam karena endapan pasir tailing. Ia menaruh karpet kecil itu ke dalam wajan besar berisi air bercampur detergen. Sabun pencuci pakaian itu dipakainya untuk meluruhkan butiran-butiran emas ke dasar wajan.
Dalam rendaman air detergen itu, tangan Stenly mengibas-ibaskan karpet kecilnya, demi memastikan setiap butiran pasir tailing di sana larut ke dalam air detergen. Lalu ia mengeluarkan karpet hitam itu, memerasnya, dan menaruhnya.
Stenly lalu memusatkan perhatiannya untuk menggoyang pelan wajan berisi air detergen dan larutan pasir halus tailing. Ia membuang airnya sedikit demi sedikit, menyisakan “adonan” butiran pasir halus yang masih berwarna hitam.
“Adonan” pasir halus itu dipindahkan ke wajan yang lebih kecil. Stenly lalu menuangkan deterjen bubuk ke atas pasir halus itu dengan dan menambahkan sedikit air.
Menggunakan jari jempol, secara perlahan ia mengetuk bagian pinggir wajan. Matanya tak sedikit pun berpaling dari wajan. Ketukan lembut jempolnya yang berulang-ulang itu membuat pasir hitam dan bijih mineral logam terpisah. Dengan jarinya, Stenly hati-hati membuang pasir hitam dari wajan kecilnya, memastikan butiran emasnya tak ikut terbuang.
Di wajan kecil itu, mulai tampak kilauan butiran berwarna kuning keemasan. Senyum terpancar dari wajah Stenly.
“Ini hanya sekitar lima atau enam kaca,” ujar Stenly sambil memperlihatkan hasil emasnya hari itu. Perolehan Stenly itu sekira 0,5 gram.
Bijih mineral logam yang masih basah itu lalu dipanaskan sekitar sepuluh detik, hingga mengerak kering. Stenly bersiap menjual emas hasil mendulang tailing itu ke deretan “toko emas” di Jalan Ahmad Yani, Timika.
Ribuan pendulang
Sejak beroperasi pada 1972, PT Freeport Indonesia (PTFI) melakukan penambangan besar-besaran di Mimika. Setelah menemukan cadangan emas Grasberg pada 1988, mereka terus menggerus gunung dengan alat-alat tambang raksasa, mengubah wajah Gunung Grasberg yang terletak di ketinggian sekitar 4.000 meter di atas permukaan laut itu menjadi jurang raksasa. Para pekerja PTFI memotong dan melumat batuan gunung itu menjadi pasir dan mengambil kandungan mineral emas, perak dan tembaga di sana.
Lembar Fakta Sirsat – Pasir Sisa Tambang yang dipublikasikan PTFI pada 2015 menyatakan proses fisika flotasi yang digunakan untuk mengolah batuan tambang PTFI akan memisahkan mineral tembaga dan emas dari partikel batuan yang tidak bernilai ekonomis—menghasilkan konsentrat yang kaya kandungan tembaga dan emas.
Konsentrat yang dihasilkan itu setara 3 persen dari jumlah batuan tambang yang diolah. Lalu, apa nasib 97 persen material yang dinilai PTFI tidak bernilai ekonomis itu? Dokumen PTFI berjudul “Pengelolaan Pasir Sisa Tambang (Sirsat)” yang dipublikasikan pada 2009 menyatakan 97 material sisa olahan PTFI itu menjadi sirsat/tailing yang dibuang di daerah pengendapan seluas 23.000 hektare.
Tailing dari pabrik pengolahan PTFI yang terletak di ketinggian sekitar 2.700 meter di atas permukaan laut itu dibuang ke Sungai Ajkwa dan Sungai Otomona, memenuhi puluhan kilometer badan sungai yang berkelok-kelok hingga ke muara di pesisir Arafura. Dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IV DPR RI pada 27 September 2022, Direktur Utama PT Freeport Indonesia, Tony Wenas menyatakan pengolahan batuan bijih emas, perak, dan tembanga yang ditambang dari Grassberg setiap harinya menghasilkan 200.000 ton limbah tailing.
Tony Wenas juga menyatakan pembuangan tailing ke Sungai Ajkwa dan Otomona itu sesuai dengan izin yang diberikan pemerintah. Ia meyebut deretan izin bagi PT Freeport Indonesia untuk membuang tailing ke dataran rendah Kabupaten Mimika, mulai dari Surat Keputusan (SK) Gubernur Irian Jaya nomor 540/154/SET tertanggal 4 Januari 1995, SK Gubernur Irian Jaya Nomor 540/2102/SET tertanggal 20 Juni 1996, dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) 300K Tahun 1997 yang tertuang dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP.—55/MENLH/12/1997.
PT Freeport Indonesia secara berkala memperbarui izin pembuangan tailing ke daerah aliran sungai dan pesisir Mimika itu, termasuk dengan mengantongi SK Bupati Mimika Nomor 4 Tahun 2005. Freeport juga mengantongi SK Menteri Lingkungan Hidup Nomor 431 Tahun 2008, SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 175/Menlhk/PLB.3/4/2018, SK Menlhk Nomor 594/MENLHK/SETJEN/PLA.0/12/2018 berikut SK 101/MENLHK/SETJEN/PLA.0/1/2019 tentang Pelaksanaan Roadmap Pengelolaan Tailing PT Freeport Indonesia di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.
Daerah pengendapan yang disebut PTFI sebagai Daerah Pengendapan Ajkwa yang Dimodifikasi itulah yang sejak 1996 didatangi para pendulang dari berbagai penjuru Nusantara. Di tangan para pendulang, tailing “tak bernilai ekonomis” itu ternyata menghasilkan banyak emas.
Ketua Asosiasi Pendulang Emas di Timika, Simon Rahajaan menyatakan ada ribuan pendulang itu tersebar di Daerah Pengendapan Ajkwa yang Dimodifikasi. Para pendulang itu berasal dari berbagai suku—Manggarai, Flores, Bugis, Makassar, Toraja, Manado, Buton, Maluku, Jawa, dan Orang Asli Papua.
Asosiasi Pendulang Emas di Timika mencatat setidaknya ada sekitar 4 ribu hingga 5 ribu orang menggantungkan hidup dari pendulangan tailing PTFI. Pembagian wilayah dulang pun terjadi.
Orang Asli Papua, khusus masyarakat ada Suku Amungme dan Suku Kamoro, memiliki lokasi tersendiri. “Amungme punya areal dulang lebih banyak di daerah Banti, itu persis di tempat pertama Freeport membuang [tailing dari pabrik mereka],” ujar Simon Rahajaan menjelaskan keberadaan kamp pendulang di kawasan Mile 72 itu.
“Kalau dari Kamoro ini mereka rata-rata di [sekitar] Mile 21, tetapi mereka tidak bangun kamp di situ. Mereka hanya pulang-pergi. Pergi pagi, pulang sore, jual hasilnya,” kata Rahajaan kepada Jubi pada 31 Januari 2023 lalu.
Menurut Rahajaan, hasil emas dari pendulangan taling PTFI sangat menjanjikan dan membuat banyak orang tergiur. Pekerjaan mendulang tidak membutuhkan persyaratan administrasi, hanya bermodalkan fisik. Rahajaan menyebut profil pendulang beragam, dari yang tak taman SD hingga yang sarjana.
“Mereka tergiur dengan hasilnya yang cukup besar, pekerjaan yang tidak butuh administrasi, tidak butuh ijazah, tidak butuh lamaran, tidak butuh Surat Keterangan Catatan Kepolisian. Dia hanya butuh fisik saja. Fisik siap, dia dapat uang,” tuturnya.
Kamp yang bertebaran
Stenly Tuanubun bersama istrinya meninggalkan Kota Tual yang berada di bagian tenggara Kepulauan Maluku, Provinsi Maluku, dan memilih ke Timika karena tergiur emas hasil pendulangan tailing PT Freeport Indonesia (PTFI) itu. Ia memilih mendulang di sekitar Mile 28. Untuk menuju lokasi itu, para pendulang dari Kota Timika cukup memakai motor sendiri, atau menyewa ojek dengan ongkos Rp10 ribu menuju Kampung Kwamki Lama.
Pangkalan ojek Kwamki Lama seperti “pangkalan” para pendulang di dataran rendah. Dari sana, para pendulang akan berjalan kaki sekitar 20 menit menuju Kali Kabur, sebutan para pendulang untuk Sungai Ajkwa.
Untuk sampai ke Kali Kabur, pendulang harus melewati kali jernih yang luas dan berarus deras, menuju ke lokasi dulang. Di delta antara sungai berair jernih dan Kali Kabur itu, ada puluhan kamp yang dibangun pendulang menyerupai barak pekerja semi permanen yang beratap terpal, dengan dinding terpal atau seng bekas.
Setiap “barak” dihuni dua hingga lima orang. Ada juga keluarga yang membangun “pondok” sendiri, seperti yang dilakukan Stenly. “pondok [saya] sendiri bangun,” ujar Stenly menuturkan “pondok” berukuran 5 x 6 meter miliknya itu.
“Pondok” Stenly itu beratapkan seng, sebagian besar dindingnya masih ditutupi terpal. Hanya bagian depan gubuk yang berdinding papan. Ia tinggal bersama istrinya Linda, meninggalkan ketiga anak mereka di Tual.
Tinggal di sana membuat Stenly bisa berhemat dengan biaya hidup Rp500 ribu per pekan. Setiap dua pekan, ia bakal pergi ke Timika, menjual emas hasil dulangnya. Ia mengaku dalam dua pekan bisa mengumpulkan 5 gram sampai 6 gram serbuk emas kotor. “Tidak setiap hari dapat [emas]. Biasa lokasi bagus [hasilnya bagus],” kata Stenly.
Pendulang lainnya, Nus Key (53) bahkan sejak 1997 telah menekuni pekerjaan sebagai pendulang emas. Selama 26 tahun itu, ia berpindah-pindah lokasi, mendulang tailing di kawasan Mile 58, Mile 53 dan kini menetap di kawasan Mile 28.
Ia menyatakan baru lima bulan menetap dan mendulang di Mile 28. Sebelumnya membangun pondok di tepi Kali Kabur, namun sering diterjang banjir.
Di kawasan Mile 28, Nus membangun pondok ukuran 5 meter kali 7 meter. Pondok itu hanya memiliki satu kamar dengan dapur yang dibiarkan terbuka.
Nus menyebut dulang adalah cara cepat mendapatkan uang. Nus menyatakan hanya bermodalkan ketekunan, para pendulang sudah bisa mendapatkan hasil.
“Mendulang itu kan untuk kehidupan cepat. Mendulang itu cepat hasilnya dia dapat uang. Hari ini kita [dulang pagi], sorenya biasa ada uang. Pekerjaan lain kan susah uangnya. Beda kerja dengan di bangunan, lama dapat uang. Kalau ini kan sudah jelas, dapat emas berarti sore uang,” ujarnya.
Nus menyatakan dalam sepekan ia bisa mendapatkan hasil 4 gram emas, yang bisa dijualnya dengan kisaran harga Rp2,5 juta. Setelah dikurangi modal untuk beras, kopi, gula, rokok, dan bensin untuk mesin, Nus bisa mengantongi pendapat bersih lebih dari separuh uang itu.
“Saya kerja sendiri. Keluarga semua di Kota Timika. Kalau libur baru anak naik bantu mendulang,” ujarnya.
Ada pula Zakarias Waer. Pria 42 tahun juga mendulang emas di kasawan Mile 28. Zakarias telah menekuni pekerjaan mendulang sejak 2006, meninggalkan kampung halaman di Maluku.
“Saya dari Tual. Keluarga saya duluan [mendulang tailing], bilang hasil dulang bagus, jadi saya tergiur saya ke sini. Akhirnya saya di sini, gabung dengan saya punya masyarakat,” ujarnya.
Zakarias menyatakan hasil pendulangan pada 2006 lebih bagus. Saat itu, ia bisa mencapai 20 gram emas dalam sepekan, yang bisa dijual dengan harga beli Rp300 ribu per gram.
“Kalau dulu itu satu minggu bisa dapat 20 gram, kadang lebih lagi,” ujarnya. Dengan hasil itu, Zakarias bisa mengantongi uang Rp6 juta per pekan.
Kini, Zakarias hanya bisa mendapat sekitar 2 gram emas per pekan. “Hasil dulu dengan sekarang, dulu jelas lebih banyak duit. Sekarang sudah bersyukur kita dapat Rp1,3 juta. [kerja dulang] tergantung fisik juga kalau macam satu minggu di atas paling tiga hari kerja tiga hari istirahat,” ujarnya.
Berkah rejeki bagi banyak orang
Keberadaan para pendulang seperti Stenly Tuanubun, Nus Key, dan Zakarias Waer ditopang oleh puluhan toko emas yang ada di Timika. “Toko serbuk”, begitu para pendulang menyebut puluhan toko emas itu, memang bukan toko emas biasa. Alih-alih menawarkan perhiasan berbahan emas, toko emas di Timika justru jadi penampung hasil dulang ribuan pendulang tailing PT Freeport Indonesia.
Salah satu pengusaha emas di Timika, Muhammad Thahir menyatakan dalam sehari bisa membeli emas dulang dari 16 hingga 20 pendulang. Perputaran bisnis dulang yang menggiurkan membuat Thahir hijrah dari Makassar tahun 2005, dan mulai berbisnis emas di Timika.
“Saya dari Makassar hijrah ke Timika ini memang saya kerja emas. Orangtua memang perajin [perhiasan dari] emas, maksudnya ambil di Tiongkok, bikin kalung [atau] gelang. Saya ada di Timika sejak 2005 sampai hari ini,” kata Thahir kepada Jubi pada 1 Februari 2023.
Ketua Perhimpunan Pengusaha Emas di Timika itu menuturkan setidaknya ada lima puluh toko emas yang menerima hasil dulang emas tailing. Ia menyatakan aktivitas menerima hasil dulang telah dimulai sejak 1996. “Pada saat itu, [tahun] 1996, harga emas melonjak tinggi,” tuturnya.
Thahir mengaku pada 2005 hingga 2007 bahkan bisa menerima emas dulang 50 gram per hari, hingga 300 gram per minggu. “Saya bilang [volume pembelian kami itu] relatif. Kalau mau hitung per minggu, kadang pernah beli 300 gram pada saat banyak-banyaknya,” ujar Thahir.
Ia menyatakan untuk sekarang jumlah emas dari pendulang sudah mulai sedikit. Ia bahkan hanya mendapat 1 gram emas per hari, paling banyak berkisar 10 gram per minggu.
Menurutnya, penurunan jumlah emas ini dikarenakan ada pendulang yang telah beralih ke pekerjaan lain, dan sudah semakin banyak toko emas di Kabupaten Timika.
“Sekarang yah sudah mulai Januari 2023 saya dengan teman-teman paling 10 gram itu kalau ada. Saya terus terang sampai sekarang nihil karena memang sudah tidak ada. Kalau saya sejujurnya mau bicara tentang berapa yang menjual di toko terutama ke toko saya itu relatif. Dulu memang ramai, namun sekarang sudah mulai agak turun. Banyak pendulang itu yang sudah pulang ke kampungnya masing-masing, jadi kalau mau dibilang, sekarang ini [volume pembelian hasil dulang] turun drastis,” ujarnya.
Thahir menyatakan sebuk emas para pedulang biasanya dibeli dengan harga paling rendah itu Rp350 ribu per gram, dan harga paling tinggi Rp600 ribu hingga Rp700 ribu per gram. Menurutnya, harga itu ditaksir berdasarkan kemurnian serbuk emas yang dibawa pendulang.
“Di mana-mana, semua emas itu ditaksir, apakah barang masuk target yang bagus, atau [kemurniannya] masih di bawah [standar]. Di situlah ada kesepakatan harga. Ada yang barangnya bagus, ada yang tidak bagus, juga yang ada campurannya. Kami kasih harga tinggi bila barangnya bagus, tetapi setiap barang yang kami beli itu pasti masih kotor, tidak murni emas,” ujar Thahir.
Di toko emas yang menampung hasil kerja para pendulang tailing PTFI itu, Stenly bisa menjual hasil dulangnya. Ia mengaku harga emas tidak pernah stabil, itu ikut berpengaruh terhadap pendapatannya.
Walaupun demikian Stenly menyatakan keberadaan toko emas sangat membantu pendulang. Ia selalu menyisihkan pendapatannya yang berkisar Rp7 juta per bulan untuk biaya pendidikan anak-anaknya di Tual.
Ia berharap toko emas tetap terus buka dan membeli hasil dulang emasnya. “Sangat puas berbisnis dengan toko emas. Toko emas sangat membantu karena hasil [dulang emas] kami menjual kesitu,” katanya.
Nus Key menyatakan dari hasil dulang ia bisa membiayai kebutuhan sehari-hari keluarga, biaya pendidikan anaknya hingga ke perguruan tinggi. Menurut Nus pekerjaan mendulang banyak membantu mereka.
“Uang untuk sekolah dari hasil emas. Kebutuhan keluarga, anak-anak sekolah [dari hasil dulang]. Khusus masyarakat [di Timika] anak-anak sekolah dari hasil mendulang. Jadi manusia sarjana-sarjana, dia pu penghasilan dari kali ini [dulang]. Dia bikin Kabupaten Timika maju [ekonomi meningkat dari dulang], karena ini ribuan orang [kerja dulang emas],” kata Nus.
Bekerja sebagai pendulang emas telah membawa rejeki bagi keluarga Zakarias Waer. Kini setelah tujuh belas tahun mendulang emas, Zakarias telah mampu membeli tanah, membangun rumah, membiaya tiga anak-anaknya. Ia juga membiayai adik-adiknya hingga sarjana dari hasil dulang emas.
“Saat [awal] saya masih dulang saya kos dengan anak-istri terus saya pikir saya punya uang [hasil dulang] sedikit saya kasih jalan [putar simpan pinjam] koperasi. Saya [biaya sekolah] anak dari hasil dulang, sampai sekarang. Hasil dulang itu juga banyak penggunaan. Jadi [untuk biaya] adik laki-laki kuliah arsitek bangunan, saudara perempuan sarjana kesehatan, terus yang bungsu sarjana hukum,” katanya.
Zakarias pun terus menabung dari hasil jerih payahnya mendulang tailing. Ia menyisihkan rejeki dulang itu untuk berternak babi. “Kita punya umur tidak menentu jadi saya pikir [saya harus punya] pekerjaan sampingan. Saya juga ternak babi. [Pekerjaan mendulang] tidak ada aturan [yang mengatur dan melindungi kami]. Bagi kami yang kerja rajin, ya kami dapat uang, kalau malas tidak dapat uang,” ujarnya.
Rejeki besar, risiko besar
Hasil dulang tailing yang menggiurkan itu tidak dibarengi dengan adanya payung hukum yang melindungi sekaligus mengatur aktivitas para pendulang. Para pendulang seperti Zakarias Waer mengetahui risiko itu. Zakarias mengaku ada pendulang yang meninggal karena terseret arus sungai saat hendak menyeberang kali jernih.
Banyak pendulang mengalami penyakit kulit, luka hingga terkelupas. “Saya pernah dulang sampai [terkena] kutu air,” ujarnya.
Istri Zakarias, Rina Waer pun tahu pekerjaan suaminya mendulang berisiko tinggi. “Yang dipikiran cuma berdoa. Urus anak-anak di rumah, berdoa untuk jaga pak di kali untuk mendulang mencari nafkah untuk rumah tangga, sekolah anak-anak, kalau mampu kasih kuliah anak-anak untuk masa depan.
Rina mengaku tidak bisa tidur ketika sedang hujan sebab akan diikuti banjir di lokasi dulang.“Kalau hujan begini banjir jadi kita di rumah cuma telepon ‘Pak, banjir atau tidak?’ Kalau pak bilang ada banjir, kita tidak tidur, kita duduk jaga-jaga saja,” tuturnya.
Aktivitas dulang juga memunculkan dugaan pencemaran logam berat merkuri di perairan Mimika, kendati semua pihak membantah adanya penggunaan logam berat dalam aktivitas dulang tailing. Jubi juga tidak menemukan adanya penggunaan merkuri oleh para pendulang yang ditemui Jubi di lapangan.
Nus Key mengaku tidak memakai merkuri atau air keras mendulang emas. Menurut Nus air keras berbahaya membuat kulit tangan terkelupas. Selain itu air keras atau merkuri terkadang menghancur hasil emas. Nus menyatakan para pendulang hanya memakai rinso atau deterjen untuk mendulang emas.
“Kami pakai sabun rinso. Kalau air keras proses [saat mendulang] hasil [emas] hancur banyak. Pendulang rugi kalau pakai air keras. Kalau dia [air keras] kasih hancur debu-debu [butir-butir emas] itu. Kalau pakai merkuri itu termasuk ilegal dan berbahaya,” katanya.
Zakarias Waer mengaku selama bekerja mendulang emas hanya memakai rinso untuk memurnikan emas. Ia mengaku tidak pernah memakai merkuri atau air keras. “[Dulang] manual kita pakai air sabun [deterjen]. Terus kita goyang manual. Nanti hasil [emas dulang] murni kita bawa turun baru jual di toko emas,” ujarnya.
Zakarias dan Rina tahu, risiko besar itu bukan tanpa hasil. Tiga anak Rina kini masih duduk di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di Kota Timika. “Saya pesan anak-anak, ‘kamu lihat bapak kerja setengah mati, jadi kamu sekolah baik-baik. Bapak dengan mama tidak sekolah, jadi tong urus itu kamu sekolah, supaya kalau orang tua mampu kamu lanjut kuliah’,” tutur Rina menirukan nasehat yang selalu ia sampaikan kepada anak-anaknya.
Ketua Asosiasi Pendulang Emas di Timika, Simon Rahajaan menyatakan pihaknya pernah mendorong pembuatan peraturan sebagai payung hukum bagi pendulang. Namun, hingga saat ini peraturan daerah tidak kunjung dibuat lantaran area mendulang bagian dari Wilayah Proyek PTFI.
“Pernah didorong, tetapi tidak bisa. [Wilayah Proyek PTFI] itu objek vital [nasional], dan tidak bisa kita buat peraturan daerah di situ. [Aturannya] tidak bisa orang masuk sembarangan, kecuali karyawan PTFI. Tetapi terlanjur masyarakat masuk dan meraih rejeki dari limbah PTFI,” katanya.
“Teman-teman dulang itu terkupas kulit, mulai dari celah-celah tangan, kaki, itu terkelupas dari yang halus sampai besar. Untuk kesehatan mereka, jangka panjang memang tidak terjamin. Menyeberang dari kali jernih itu sudah harus penuh perjuangan. Orang yang tidak terbiasa bisa jatuh hanyut. Jadi memang risikonya berat,” ujar Rahajaan.
Kepala Bidang Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten Mimika, Muhammad Jambia Wadan Sao membenarkan belum ada aturan yang mengatur aktivitas masyarakat mendulang di Wilayah Proyek PTFI. “Sampai dengan sekarang tidak ada aturan yang mengatur tentang bagaimana masyarakat melakukan aktivitas di areal Freeport,” kata Jambia kepada Jubi pada 27 Januari 2023.
Menurut Jambia, Pemerintah Kabupaten Mimika tidak serta merta bisa membuat regulasi untuk mengatur aktivitas pendulang di area PTFI, karena statusnya sebagai obyek vital nasional. “Kemungkinan untuk membuat aturannya agak rumit juga. Saya bilang bisa, tetapi agak rumit. Itu areal objek vital negara yang mana tidak semua orang bisa akses masuk,” kata Jambia.
Jambia mengaku tidak mengetahui siapa pihak yang memberikan izin kepada masyarakat untuk mendulang di area PTFI. “Yang saya tahu itu mulai dari Mile 32 itu sudah tidak bisa sembarangan orang ke sana. Apakah para pendulang ini [mendapat izin], saya kurang tahu [apakah pendulang] diberi akses oleh Freeport atau seperti apa, sehingga mereka sudah ada di areal Freeport. Kami masyarakat yang ada di Mimika [mau] ke sana [saja susah sekali mengurus] administrasi. Harus lapor dulu, malah ada yang dapat pengawalan, baru ke sana yang daerah itu,” ujarnya.
Jambia menyatakan Pemerintah Kabupaten Mimika pernah menerbitkan Surat Keputusan Bupati Mimika Nomor 120 Tahun 2009 tentang Pembentukan Tim Penangan Pendulang di areal PT. Freeport Indonesia. Tim bentukan Bupati Mimika itu bertugas mengumpulkan data lokasi pendulang, mencatat informasi kondisi pendulang, hingga merumuskan langkah penertiban para pendulang.
“Dari informasi kami dapat, sering terjadi kecelakaan dalam area PTFI. Banjir di sana juga membuat orang meninggal. Juga sering terjadi perkelahian antara pendulang,” kata Jambia.
Simon Rahajaan menyatakan pendulangan tailing PTFI tidak akan bisa dihentikan jika PTFI dan Pemerintah Kabupaten Mimika tidak menyiapkan alternatif lapangan pekerjaan bagi ribuan pendulang. Jika pendulangan dilarang tanpa ada solusi baru, pelarangan itu justru bisa menimbulkan masalah sosial baru.
“Mereka sudah bekerja di situ, dan itu ribuan orang bekerja di situ. Siapa yang bertanggung jawab ketika diberhentikan secara total? Itu resikonya tinggi. Tidak ada yang bisa memberhentikan [pendulangan], kecuali pemerintah siapkan lapangan pekerjaan,” ujarnya.
Melarang pendulangan tailing PTFI jelas bukan solusi, dan menyia-nyiakan kandungan emas yang terbukti bernilai bagi banyak pihak yang tidak secara langsung menikmati gemerlap bisnis tambang Freeport. Akan tetapi, membiarkan pendulangan tailing berjalan tanpa aturan seperti menabung masalah. Ada ribuan pendulang yang bekerja dengan risiko tinggi, tanpa jaminan kepastian hukum, jaminan keamanan, serta kondisi kerja yang layak. (*)