Jayapura, Jubi – Sejak beroperasi 54 tahun lalu di Tanah Papua, PT Freeport Indonesia terus meninggalkan jejak kejahatan terhadap manusia dan lingkungan hidup.
Terkait hal itu, Jaringan Advokasi Tambang atau JATAM dan juga Lembaga Peduli Masyarakat Mimika Timur Jauh atau Lepemawi menggelar diskusi publik, dengan melakukan zoom meeting mengenai kejahatan berulang Freeport Indonesia setelah 54 tahun beroperasi dan divestasi saham, Rabu (2/2/2023) malam waktu Papua.
Pegiat Yayasan Lembaga Peduli Masyarakat Mimika Timur Jauh atau Lepemawi, Adolfina Kuum, dalam laporannya saat webinar menjelaskan selama beroperasi PT Freeport Indonesia selalu mengabaikan kehidupan masyarakat adat, dengan merusak ekosistem di sekitar wilayah tambangnya.
Menurutnya, kejahatan PT Freeport Indonesia membuang limbah tailing sejauh ini sudah 3.000 ton ke Sungai Ajikwa atau Wanogong di pesisir Mimika yang di area itu ada 23 kampung, dan enam ribu penduduk dari data statistis 2020 yang berdomisili di tiga Distrik yang terkena dampak langsung.
“Banyak sungai tercemar akibatkan ekosistem di dalamnya seperti ikan pada mati, pendangkalan laut dan sungai sehingga masyarakat yang bergantung pada itu tidak dapat lagi dijadikan sebagai mata pencaharian,” kata Adolfina Kuum.
Bukan hanya itu, limbah tailing Freeport juga telah menghilangkan sejumlah tempat yang dianggap keramat bagi masyarakat adat dari beberapa suku yang ada, juga sepanjang pesisir laut Mimika mata pencaharian masyarakat menjadi terbatas.
“Terjadinya pendangkalan laut dan sungai dan akibat terkontaminasi limbah, sangat rentan bagi para mama-mama dan anak kecil, dimana banyak yang alami penyakit kulit,” katanya.
Pada Rabu, 2 Februari 2023, Komisi IV DPR RI mengundang para pihak yang selama ini melakukan advokasi atau pendampingan terhadap masyarakat yang terdampak pembuangan limbah PT Freeport Indonesia, melalui rapat dengar pendapat.
Dari pertemuan itu, kata Adolfina Kuum, Komisi V DPR RI berjanji akan mengunjungi Mimika dalam waktu dekat untuk melihat langsung kondisi yang terjadi dialami masyarakat.
“Harapan kami DPR RI langsung turun ke kampung-kampung yang terkena dampak langsung, sehingga kami akan tunggu kedatangan DPR RI. Tetapi jangan jadikan aspirasi atau persoalan ini sebagai bergaining posisi karena sudah dekat ke tahun politik,” ucapnya.
Untuk itu, Lepemawi dan masyarakat adat menuntut dan mendesak kepada presiden, DPR RI dan DPR Papua, agar terkait semua operasi PT Freeport Indonesia harus dilakukan penegakan hukum yang tegas atas seluruh kerusakan akibat limbah penambangan, baik yang dirasakan masyarakat maupun lingkungan hidup.
“Mendesak agar segera memerintahkan Freeport untuk mengganti seluruh kerugian yang dialami seluruh warga dan lingkungan hidup,” katanya.
Sementara itu, anggota DPR Papua dari pengangkatan kelompok khusus, John Gobay, yang juga sebagai pembicara dalam webinar itu mengungkapkan, bahwa apa yang dialami masyarakat adat di pesisir Mimika ini sering didengar dan dilihat dari sejumlah media.
Bahkan, anggota DPR Papua pun sering melakukan kunjungan ke daerah-daerah tersebut, sehingga dirinya sering mendengar cerita tentang terjadinya pendangkalan laut dan sungai.
“Harapan saya ke depan agar dalam RDPU yang akan dilaksanakan yang merupakan hasil kesepakatan RDPU Komisi IV, PTFI dan juga pemerintah dan masyarakat harus hadir. Sehingga bisa mengkonfrontir apa yang sesungguhnya terjadi. Tidak perlu saling mengklaim atau mengadu domba masyarakat, sehingga persoalan ini harus diselesaikan secara terbuka dan berani oleh kita semua,” kata Gobay.
Adanya rencana reses DPR RI dalam waktu, Gobay berharap untuk fokus berkunjung ke daerah-daerah yang disampaikan masyarakat supaya melihat sendiri apa yang sesungguhnya terjadi.
“Dalam kapasitas sebagai anggota DPR Papua pasti akan terus mencoba untuk memfasilitasi masyarakat agar persoalan ini dapat diperoleh solusi, baik oleh Freeport sendiri maupun pemerintah daerah maupun pusat dalam program-program kerja untuk selesaikan persoalan ini,” ucapnya. (*)