Jayapura, Jubi – Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Papua meminta Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK dan Kejaksaan Tinggi atau Kejati Papua, menindaklanjuti temuan dugaan korupsi gratifikasi, dalam kasus mogok kerja 8.300 buruh PT Freeport Indonesia (PTFI).
Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay mengatakan, oknum pegawai dinas terkait selaku penerima gratifikasi dari PTFI, sejak menerima gratifikasi tidak pernah melaporkan ke KPK sesuai mekanismenya pada pasal 12c ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
“Pada prinsipnya persoalan mogok kerja yang dilakukan oleh 8.300 buruh PTFI terhitung sejak 1 Mei 2017 sampai tahun 2025, telah diketahui dengan pasti oleh Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Mimika dan Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, UMKM, dan Ketenagakerjaan Provinsi Papua, sebab tujuah hari sebelum dilakukan mogok kerja telah dilayangkan Surat Pemberitahuan Mogok Kerja kepada Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Mimika, sesuai perintah ketentuan ‘sekurang-kurangnya dalam waktu tujuh hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat’ sebagaimana diatur pada Pasal 140 ayat (1), Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” kata Gobay melalui siaran pers kepada Jubi di Jayapura, Papua, Senin (17/2/2025).
Dengan demikian, lanjutnya, ada dua temuan dugaan gratifikasi.
Pertama, dana Rp29.621.200 yang diberikan PTFI kepada Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, UMKM, dan Ketenagakerjaan Provinsi Papua untuk kegiatan di Jakarta yang berkaitan dengan nasib 8.300 buruh mogok kerja.
Kedua, pemberian fasilitas berupa akomodasi dan transportasi senilai Rp 62.452.400 kepada dinas yang sama sesuai hasil audit Inspektorat tertanggal 21 Juni 2021 merupakan tindakan yang bertentangan dengan ketentuan “Setiap PNS dilarang menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapapun juga yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya” sebagaimana diatur pada Pasal 4 angka (8), Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
“Selain tindakan tersebut merupakan tindakan pelanggaran disiplin PNS,” katanya.

Dia mengatakan, apabila tindakan tersebut dikaji menggunakan rumusan Pasal 12b ayat (1) dan ayat (2), Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagai berikut:
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut, a) yang nilainya Rp 10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; dan b) yang nilainya kurang dari Rp 10 juta pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
“Sudah dapat disimpulkan sebagai dugaan tindakan gratifikasi tersebut adalah tindak pidana korupsi sebab berdasarkan jumlah uang dalam dua tindakan dugaan gratifikasi,” katanya.
Pertama, katanya, dana Rp 29.621.200 yang diberikan PTFI kepada Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, UMKM, dan Ketenagakerjaan Provinsi Papua untuk kegiatan di Jakarta yang berkaitan dengan nasib 8.300 buruh mogok kerja.
Kedua, pemberian fasilitas berupa akomodasi dan transportasi senilai Rp. 62.452.400 kepada dinas yang sama diberikan jumlahnya di atas dari Rp 10 juta dan penerima gratifikasi sejak menerima gratifikasi tidak pernah melaporkan ke KPK sesuai mekanismenya yang diatur pada Pasal 12c ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Dengan berdasarkan pada dasar hukum dan analisa hukum di atas sudah dapat disimpulkan bahwa pernyataan Vice President Corporate Communications PTFI, Katri Krisnati yang mengatakan PTFI berkomitmen kuat terhadap prinsip-prinsip antikorupsi dan antigratifikasi dalam menjalankan kegiatan usahanya, adalah pernyataan subjektif yang bertujuan untuk menutupi fakta tindakan dugaan gratifikasi yang dilakukan PTFI sesuai Inspektorat Provinsi Papua,” kata Gobay.
Atas dasar itu, katanya, sudah seharusnya KPK dan Kejati Papua wajib menjalankan tugasnya, agar dapat memberikan hak atas keadilan bagi warga negara yang menjadi korban atas tindak pidana korupsi dalam bentuk gratifikasi yang dilakukan oleh PTFI.

Sesuai dengan perintah ketentuan ‘setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar’ sebagaimana diatur pada Pasal 17, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,” katanya.
Maka, lanjutnya, pengurus mogok kerja melalui anggota DPRD Kabupaten Mimika telah memberikan aduan dengan melampirkan hasil audit Badan Inspektorat Pemerintah Provinsi Papua temuan tahun 2022, yang diduga adanya gratifikasi dari manajemen PTFI terhadap oknum Pejabat Pemprov Papua dan Pemkab Mimika, terkait penyelesaian perselisihan hubungan industrial antara Manajemen PTFI dengan karyawan mogok kerja kepada Plt Direktur Koordinasi dan Supervisi (Korsup) KPK Wilayah V, Imam Turmudhi saat Rapat Koordinasi (Rakor) dengan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Mimika Provinsi Papua Tengah, bertempat di ruang serbaguna kantor DPRD Mimika, Rabu (12/2/2025), dengan harapan agar KPK RI dapat menindaklanjuti pengaduan dugaan tindakan korupsi berupa gratifikasi;

Pengurus mogok kerja PTFI melalui Fredo Ardo Ansania mewakili rekan-rekannya pada Kamis (13/2/2025), lanjut Gobay, telah mengajukan pengaduan dugaan tindakan korupsi berupa gratifikasi yang dilampiri hasil audit Badan Inspektorat Pemerintah Provinsi Papua temuan tahun 2022, yang diduga adanya gratifikasi dari manajemen PTFI terhadap oknum Pejabat Pemprov Papua dan Pemkab Mimika terkait penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial antara Manajemen PT Freeport Indonesia dengan karyawan mogok kerja yang telah tercatat dalam Tanda Terima Surat Masuk Kejaksaan Tinggi Papua yang diterima langsung oleh Petugas PTSP Bernama UUT dengan harapan agar Kejaksaan Tinggi Papua dapat menindaklanjuti Pengaduan Dugaan Tindakan Korupsi berupa Gratifikasi.
Berdasarkan uraian di atas, LBH Papua sebagai kuasa hukum dari 8.300 buruh mogok kerja PTFI menegaskan:
- Ketua KPK RI segera menindaklanjuti pengaduan temuan gratifikasi yang dilakukan oleh PTFI terhadap oknum Pegawai Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, UMKM, dan Ketenagakerjaan Provinsi Papua dalam Kasus mogok kerja 8.300 buruh PTFI;
- Kepala Kejati Papua segera menindaklanjuti pengaduan temuan gratifikasi yang dilakukan oleh PTFI terhadap oknum pegawai Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, UMKM, dan Ketenagakerjaan Provinsi Papua dalam kasus mogok kerja 8.300 buruh PTFI;
- Pejabat Gubernur Provinsi Papua dan Pejabat Bupati Kabupaten Mimika segera memberikan sanksi kepada 13 orang pegawai dalam Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, UMKM, dan Ketenagakerjaan Provinsi Papua dan Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Mimika yang terlibat dugaan gratifikasi sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin PNS. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!