Nabire, Jubi – Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menemukan dugaan penyimpangan dalam penerbitan 53 izin pertambangan emas dan batu bara di Papua Tengah. Temuan itu berdasarkan hasil koordinasi dan supervisi mereka pada 2013.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Emanuel Gobai mengatakan seluruh perizinan tersebut tidak mengantongi dokumen analisis mengenai dampak lingkungan. Penerbitannya juga tidak mendapat persetujuan dari masyarakat adat setempat.
Namun, temuan tersebut seakan mengendap. Karena itu, Gobai mendesak KPK menindaklanjutinya hingga ke proses hukum. Dia menduga ada unsur gratifikasi di balik penerbitan izin.
“KPK seharusnya memproses [dugaan] gratifikasi dalam penerbitan 53 izin pertambangan itu. Jangan tinggal diam, dan tebang pilih dalam penegakkan hukum,” kata Gobai, saat Seminar Pendidikan Hukum Kritis tentang Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat di Papua Tengah, Senin (7/1/2025).
Berdasarkan temuan KPK, perizinan tambang tersebut terdiri atas sembilan izin berstatus clean and clear (CnC), dan 44 izin non-CnC. Lokasi pertambangannya tersebar di delapan kabupaten di Papua Tengah.
Sebanyak 14 dari 44 izin pertambangan non-CnC tersebut berada di Nabire, tujuh di Paniai, enam di Intan Jaya, dan lima di Mimika. Selain itu, terdapat masing-masing empat izin di Puncak, dan Puncak Jaya, tiga di Dogiyai, serta satu di Deiyai.
“Izinnya belum kedaluwarsa karena berlaku selama 25 tahun. Kami minta KPK segera menyeret para pemegang izin tersebut ke pengadilan,” ujar Gobai di hadapan peserta seminar yang diselenggarakan Front Peduli Masyarat Adat Papua Tengah (FPMA-PT) tersebut.
Menurut Gobai, sejumlah pemilik izin telah mengoperasikan perusahaan mereka. Salah satu lokasinya berada di Kampung Mosairo, Distrik Makimi, Nabire.
Aktivitas pertambangan tersebut, lanjutnya telah mengunduli hutan di Mosairo. Mereka leluasa beroperasi lantaran merasa telah mengantongi izin resmi dari pemerintah.
“Pemilik perusahaan [diduga] sudah membayar [menyetor upeti] kepada bupati dan gubernur yang menjabat saat itu. Makanya, banyak orang bilang, siapa yang menjadi Gubernur di Papua Tengah, dia akan menjadi raja,” kata Gobai.
Gobai juga menyayangkan banyak warga baku hantam akibat Pilkada 2024. Tindakan itu menurutnya, sangat kontraproduktif. Kandidat terpilih yang mereka bela mati-matian tersebut pada akhirnya juga akan berkompromi dengan para investor perusak alam dan budaya Papua.
Lindungi masyarakat adat
Anggota DPR Papua Tengah Fransiskus Xaverius Magai mengingatkan para investor jangan lagi merampas hak-hak masyarakat adat. DPR Papua Tengah pun berencana membentuk peraturan daerah (perda) untuk melindungi hak-hak masyarakat adat setempat.
“Hal ini [permasalahan investasi tersebut] harus segera dibenahi. Kami akan membuka ruang [diskusi] dan membuat tim untuk mengkaji pembuatan perda sehingga bisa memproteksi hak-hak masyarakat di Papua Tengah,” kata Magai.
Ketua FPMA-PT Marlin A Pigome mengatakan akan mendiskusikan kembali secara internal hasil seminar. Setelah itu, mereka bakal menyerahkan rekomendasinya kepada seluruh pemangku kepentingan, termasuk DPR Papua Tengah.
Dia berharap penyelenggaraan seminar makin memicu kepedulian banyak pihak, terutama generasi muda Papua Tengah. Mereka harus bersama-sama bergerak dalam mempertahankan alam, wilayah ulayat, dan budaya asli Papua dari perampasan hutan adat berkedok pembangunan.
“Semoga seminar ini membuka hati, serta pikiran dewan-dewan adat, para pejabat, dan anak-anak muda Papua Tengah. Mereka juga harus bersuara untuk memperkuat pertahanan atas [kelestarian] tanah adat,” kata Pigome. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!