Timika, Jubi – Orang tua dulu sudah lama mengenal tanaman tebu di pekarangan rumah keluarga maupun Hinangami Devinde, rumah adat Suku Amungme dan juga dalam berkebun. Ada banyak jenis tanaman tebu sesuai dengan warna dan rasanya, dalam melaksanakan upacara upacara adat tertentu. Tebu dalam Bahasa Amungme disebut Elo. Tetapi sebutan dalam warna dan rasa, sebutannya pun berbeda.
“Rasa manisnya tebu itu sangat tergantung dari ketinggian dan semakin tinggi lebih manis dan harum rasanya,” kata Ketua Lembaga Masyarakat Adat Suku Amungme (LEMASA), John Magal, kepada Jubi di Timika, Kamis (7/3/2024) siang.
Dia menambahkan orang-orang tua sudah memberikan nama-nama tebu sesuai dengan warna-warnanya. Misalnya kalau warna merah tua disebut Alakung. Tebu berwarna antara putih dan coklat dinamakan dalam Bahasa Amungme adalah Likinung. Sedangkan Kerum adalah tebu berwarna coklat muda.
“Moanung adalah warna merah strip-strip atau bergaris. Sedangkan Oagama Pimung atau Lamlo itu tebu biasa yang kitorang kenal mirip tebu gula di Jawa,” katanya.
Dikatakan, biasanya gula tebu (Elo) digunakan dalam upacara-upacara syukur yang dalam istilah Bahasa Amungme adalah Arawa Jagawin.
“Kalau panen besar semua kumpul di lapangan dan makan ramai-ramai tanaman tebu itu,” katanya.
Dia mengatakan tanaman tebu (Elo) ini biasanya ditanam di pinggir rumah dan juga berkebun tebu.
“Tebu itu diikat dengan tali rotan dan penyangga dari kayu sehingga tebu itu bisa mencapai tinggi lima sampai enam meter,” katanya seraya menambahkan ada pula tanaman tebu yang tumbuh di bekas tanah longsor. Biasanya orang tua menamakan Koaga Pimung atau tebu yang tumbuh di bekas tanah longsor.
“Selain upacara, tanaman tebu juga biasa disajikan kepada tamu yang datang ke rumah keluarga,” kata Magal.
Hal senada juga dikatakan pemuda Suku Amungme, Banianus Jawame. Ada jenis tebu berwarna kuning atau dalam Bahasa Amungme disebut Kerung.
“Memang orang tua sejak dulu sudah mengenal berbagai jenis warna tebu di gunung,” katanya.
Selain Suku Amungme, orang Korowai di Kabupaten Asmat juga mengenal tanaman tebu sebagau sumber energi saat mereka melakukan perburuan dengan selalu mengonsumsi tebu.
Tebu dalam Bahasa Korowi disebut dengan nama Gelen, yang dikumpulkan bersamaan saat meramu sagu.
Bahkan setiap tahun tebu (Gelen) ini disajikan dalam ucapan syukur tahunan. Ungkapan syukur dalam Bahasa Korowai disebut Dufekho baliampeko gelempekho bufekho khawfekh.
Pada Suku Korowai dalam setiap tahunnya tebu disajikan dalam festival ucapan syukur yang merupakan upacara yang dilakukan secara turun temurun. Tebu biasanya disajikan pada bulan dan hari tertentu yaitu bulan ke-3 hari ke-2 bersama dengan sagu, petatas, sayur, dan lain sebagainya.
Tradisi ini dilakukan khusus sebagai tanda ucapan syukur yang dilakukan terhadap hasil panen yang diperoleh selama setahun.
“Tebu menjadi salah satu makanan favorit yang disediakan dalam upacara ini dan disajikan kepada tamu-tamu undangan yang terdiri dari tetangga dan kerabat,” demikian dikutip dari penelitian berjudul Menjajaki keberadaan Saccharum Spp di Papua melalui pendekatan arkeologi, Marthen Tolla dari Balai Arkelogoig Papua di Jayapura. (*)
Discussion about this post