Oleh. John Magal*
Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (LEMASA) memegang peranan utama sebagai pelaku utama di antara lembaga-lembaga masyarakat sipil di Papua dan Indonesia pada umumnya. Sejak berdirinya, LEMASA menjadi landasan sejarah yang signifikan dengan membentuk jaringan yang meluas hingga Jayapura, melibatkan organisasi seperti Yayasan Pemberdayaan Masyarakat Desa (YPMD), Lembaga Pembelajaran dan Penjaminan Mutu Akademik (LPPMA), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jayapura.
Kolaborasi erat dengan LSM berbasis di Jakarta, seperti Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Lembaga Pembinaan dan Pengaderan Sinode (LPPS), serta partisipasinya dalam jaringan internasional bersama Australian Council for Overseas Aid (ACFOA), Amnesti Internasional (AI), dan lembaga HAM lainnya, menjadikan LEMASA sebagai kekuatan sentral dalam advokasi masyarakat adat, HAM dan pelestarian lingkungan di Indonesia.
Peran penting LEMASA dalam gerakan reformasi di Indonesia, yang dimulai bersamaan dengan pergerakannya, tidak dapat diabaikan. Meskipun Tom Beanal mungkin tidak mencuat sebagai tokoh reformator dalam sejarah Republik Indonesia, hal ini tidaklah relevan bagi masyarakat dan generasi muda Amungme, yang lebih fokus pada dampak nyata yang telah dihasilkan oleh LEMASA.
Berkat jaringan yang luas, LEMASA berhasil mengungkap pelanggaran HAM di Bela dan Alama, Hoeya, di sekitar lingkungan PT Freeport Indonesia, dan dampaknya mencapai seluruh wilayah Papua hingga Jakarta.
Pergerakan LEMASA berdampak besar, tercermin dalam embargo senjata dari Australia dan Amerika Serikat terhadap ABRI, pencabutan Status DOM di Tanah Papua, dan lahirnya peraturan-peraturan seperti UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Permen Agraria Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pengakuan Hak Ulayat, hingga lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan di tingkat lokal menghadirkan dana 1% yang hari ini dikelola melalui CA Department PTFI.
LEMASA sangat berjasa bagi bangsa Papua dan Negara Republik Indonesia menuju reformasi. LEMASA dalam keadaan apapun sangat dihormati oleh suku Amungme, masyarakat Papua dan Indonesia di Timika. Namun, hal ini tidak berlaku bagi sebagian oknum orang Papua yang menempati posisi Senior Manager, VP, dan EVP CA di PT Freeport Indonesia (PTFI).
Dengan tawaran murahan mereka mempengaruhi sekelompok masyarakat Amungme yang kurang paham wawasan organisasi dan hukum, mengubah Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (LEMASA) menjadi Perkumpulan Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (PLEMASA).
Perubahan yang dilakukan oleh PTFI tidak bertujuan untuk kepentingan masyarakat adat suku Amungme.
Transformasi dari LEMASA menjadi Perkumpulan LEMASA dilakukan dengan tujuan memfasilitasi kepentingan bisnis PTFI, khususnya dalam proses kelulusan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) PTFI.
Perubahan LEMASA untuk memuluskan kepentingan bisnis PTFI dapat terbukti dengan klaim PTFI yang dirilis di tiga media online di Jakarta pada, 30 Januari 2024.
Dalam media tersebut dirilis perwakilan masyarakat di sekitar area kerja PTFI turut menyetujui AMDAL, yang diwakili oleh Johnny Stingal Beanal menjabat sebagai Direktur Perkumpulan LEMASA, sementara Gergorius Okoare menjabat sebagai Direktur Perkumpulan LEMASKO.
Informasi yang diberikan oleh media terkait peran Stingal Beanal sebagai Direktur LEMASA tidak benar, karena sebenarnya beliau adalah Direktur Perkumpulan LEMASA. Saat ini, Direktur LEMASA dipegang oleh Fransiskus Pinimet dan Mesak Bukaleng, sedangkan Ketua LEMASA dipimpin oleh Menuel John Magal (Kepala Pemerintahan Adat).
Penting bagi publik Indonesia dan Papua untuk diketahui bahwa karena melihat arogansi PTFI terlibat mengubah LEMASA menjadi Perkumpulan, sehingga masyarakat dengan inisiatif dan swadaya telah menyelenggarakan Musyawarah Adat (Musdat) pada 21-20 Januari 2023, untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi dengan arogansi PTFI tersebut. Pengurus LEMASA yang legal dan dilegitimasi masyarakat adat suku Amungme adalah LEMASA di bawah pimpinan Menuel John Magal.
PTFI memberikan keterangan kepada tiga media online di Jakarta dan media tersebut menyebutkan Direktur Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (LEMASA) dan Direktur Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro (LEMASKO).
Penyebutan ini salah karena kedua direktur yang dirilis adalah Perkumpulan LEMASA dan Perkumpulan LEMASKO yang dibentuk oleh PTFI sendiri untuk tujuan semacam ini.
Tradisi LEMASA, sejak didirikan hingga saat ini, telah mengadopsi sistem pengambilan keputusan yang mengandalkan mekanisme musyawarah sebagai landasan utama. Dalam konteks ini, keputusan-keputusan signifikan yang berpotensi mempengaruhi kehidupan masyarakat adat suku Amungme diambil melalui forum Musyawarah Adat (MUSDAT). Pada 10 Juli 2020, dalam rapat konsolidasi, tua-tua adat menegaskan bahwa “Musyawarah Adat (Musdat) sebagai forum evaluasi dan pengambilan keputusan tertinggi suku Amungme”.
Selain Musdat, pengambilan keputusan-keputusan berskala menengah atau tinggi yang bersifat mendesak, melalui Musyawarah Luar Biasa (MUSLUB). Sedangkan pengambilan keputusan terkait hal-hal operasional dan keputusan-keputusan dengan dampak rendah, yang diatur melalui rapat istimewa. Proses ini memastikan bahwa kebijakan-kebijakan yang dihasilkan sesuai dengan urgensi dan tingkat pengaruhnya terhadap masyarakat adat.
Bagian dari kewenangan LEMASA juga mencakup pengambilan keputusan terkait hal-hal operasional dan keputusan-keputusan dengan dampak rendah, yang diatur melalui rapat istimewa. Proses ini memastikan bahwa kebijakan-kebijakan yang dihasilkan sesuai dengan urgensi dan tingkat pengaruhnya terhadap masyarakat adat.
Sedangkan kepentingan atau urgensi PTFI mempengaruhi oknum suku Amungme yang tidak punya pengetahuan organisasi dan hukum LEMASA menjadi Perkumpulan LEMASA, urgensi dan kepentingannya tidak jelas bagi Amungme. Perbedaan Lembaga Adat dan Perkumpulan sangat berbeda.
Misalnya, dari aspek legalitas masyarakat adat diakui dan dijamin dalam UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) dan 28I ayat (3) sedangkan Perkumpulan dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) dan UU Ormas. Dari aspek legal berbeda, maka ruang lingkup tanggung jawab dan fungsi keduanya berbeda pula.
Tampaknya, baru terungkap setelah tiga media online di Jakarta mengumumkan klaim PTFI bahwa masyarakat di sekitar area operasi telah memberikan dukungan dan persetujuan terhadap AMDAL PTFI, melibatkan Direktur Perkumpulan LEMASA.
Perubahan ini disinyalir bertujuan menghancurkan tradisi suku Amungme yang telah diwariskan sejak lama. Seperti yang dicatat oleh Arnold Mampioper (2000) dalam bukunya “Amungme Manusia Utama dari Nemangkawi Pegunungan Cartenz,” “masyarakat Amungme sejak zaman dahulu hidup dalam suasana sosial kemasyarakatan yang bermusyawarah untuk mencapai mufakat dan mengambil keputusan terkait segala aspek kehidupan bersama.” Tradisi ini kemudian terus diterapkan dan diadaptasi dalam lembaga modern sejak 1994, ketika LEMASA didirikan.
Namun, PTFI tampaknya mengabaikannya, tergoda oleh dorongan untuk mengejar sumber daya emas, tanpa memperhatikan hak dan kesejahteraan manusia sebagai pemilik emas.
PT Freeport Indonesia dinilai telah melanggar etika dengan tindakan yang sangat tidak wajar. Sejak awal kedatangannya, perusahaan ini tidak minta izin kepada pemilik wilayah ulayat, merusak tempat-tempat keramat, dan mengubah gunung-gunung suci menjadi tambang terbuka dengan lobang-lobang besar yang ternganga.
Selain itu, gunung-gunung yang dari luar kelihatan kokoh berdiri ternyata di dalamnya telah dibuat terowongan-terowongan dengan panjang ratusan kilometer ke dalam akar bumi. Lebih memprihatinkan lagi, PTFI belum membayar kompensasi kepada pemilik gunung suci/keramat sebanding dengan apa yang dikeruk dari gunung sucinya. Lingkungan hidup dihancurkan dan sungai-sungai dicemarkan.
Perubahan Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (LEMASA) menjadi Perkumpulan LEMASA oleh PTFI dan melibatkan oknum Amungme yang bisa diatur oleh mereka diduga sebagai upaya untuk memuluskan kepentingan bisnisnya, khususnya terkait dengan proses kelulusan AMDAL.
Oknum putra-putra Papua di PTFI lupa bahwa LEMASA merupakan salah satu lembaga adat tertua di Papua yang berjasa bagi suku Amungme, Papua dan Indonesia dalam mengadvokasi Masyarakat adat, HAM dan pelestarian lingkungan hidup di Indonesia tidak dihargai oleh PTFI.
PTFI, sebagai pihak yang terlibat dalam perubahan LEMASA menjadi Perkumpulan LEMASA, sangat arogan dan melanggar etika dengan berbagai tindakan yang tidak wajar. PTFI tidak puas dengan merusak tempat-tempat keramat, mengubah gunung-gunung suci menjadi tambang terbuka dengan lubang besar yang ternganga, dan tidak memberikan kompensasi yang setara kepada pemilik ulayat dan saat ini pertahanan terakhir kami yakni LEMASA direndahkan martabatnya.
Dampak dari tindakan tersebut dapat membawa konsekuensi negatif pada tradisi asli, yang seharusnya dilestarikan dan dihormati. PTFI harus menghentikan segala upaya, yang pada akhirnya akan dinilai sebagai praktik genosida. (*)
*Penulis adalah pemimpin LEMASA hasil musyawarah adat atau menagawan Amungme
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!