Gustaf Kawer kritik kesepakatan kompensasi bagi korban penembakan Wamena

Kompensasi
Direktur Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia atau PAHAM Papua, Gustaf R Kawer. Jubi/Dok

Jayapura, Jubi – Direktur Perkumpulan Advokat Hak Asasi Manusia atau PAHAM Papua, Gustaf R Kawer mengkritik proses mediasi kasus penembakan warga sipil yang dijalankan Asosiasi Bupati Papua Pegunungan karena menyepakati pembayaran kompensasi atau denda kepala bagi keluarga korban. Kawer menyatakan pembayaran kompensasi atau denda kepala tidak mendidik masyarakat, dan berpotensi menjadi tindak pidana korupsi.

Hal itu dinyatakan Kawer melalui panggilan telepon di Kota Jayapura, Kamis (2/3/2023). Kawer menilai kesepakatan agar pemerintah daerah membayar denda bagi keluarga korban itu menyalahi asas hukum adat di Papua, dan menyalahi prinsip penegakan hukum maupun Hak Asasi Manusia (HAM).

“Pola penyelesaian yang dilakukan Asosiasi Bupati Papua Pegunungan jelas salah dari sisi proses adat maupun penegakkan hukum dan HAM. Cara itu justru sangat menganggu kearifan lokal masyarakat setempat,” kata Kawer.

Menurut Kawer, dalam kerangka penyelesaian adat, subyek institusi yang menjadi pusat penyelesaian masalah adalah intitusi adat dan masyarakat adat. Subyek itu seharusnya tidak mengurus masalah kekerasan yang dilakuan TNI/Polri, apalagi meminta pemerintah daerah membayar denda kepala kepada korban kekerasan yang dilakukan TNI/Polri. “Cara itu sangat tidak mendidik warganya,” ujar Kawer.

Ia menegaskan mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM adalah melalui proses hukum dugaan pelanggaran HAM untuk diadili di Pengadilan HAM, serta melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). “Mekanisme dalam KKR lazimnya ada pengungkapan pelanggaran HAM, pengakuan dari pelaku, pemberian maaf dari korban, barulah ada kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi oleh negara, atau pelaku, atau pihak ketiga,” jelasnya.

Kawer juga menekankan bahwa kasus penembakan warga sipil dalam penanganan amuk massa dan bentrokan antara warga dan polisi itu seharusnya dipertanggungjawabkan di pengadilan. Ia menyatakan perdamaian, mediasi, pembayaran kompensasi/denda apapun tidak berpengaruh atau menghentikan proses hukum.

“Pelaku kekerasan tetap diproses [secara hukum]. Setelah ada vonis yang berkekuatan hukum [tetap], barulah korban diberi kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Jadi jelas apa yg dilakukan Asosiasi Bupati Papua Pegunungan dan pihak pihak yang terlibat menyalahi kearifan lokal dan juga mekanisme hukum yang diatur KUHAP, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,” kata Kawer.

Kawer menyatakan aneh jika peristiwa 23 Februari 2023 melibatkan warga sebagai korban dan polisi sebagai pelaku, namun masalahnya diselesaikan Asosiasi Bupati Papua Pegunungan. “Jelas itu contoh yang tidak patut ditiru dalam penyelesaian persoalan HAM di Papua,” sambungnya.

Menurut Kawer, cara mediasi Asosiasi Bupati Papua Pegunungan berpotensi menjadi tindak pidana korupsi. “Kalau ternyata anggaran yang dipakai membayar denda tidak sesuai peruntukan, jelas [potensi] tindak pidana korupsi ada, dan itu berbahaya bagi para kepala daerah. Itu perlu dipertimbangkan para kepala daerah,” ujarnya. (*)

Comments Box

Dapatkan update berita terbaru setiap hari dari News Room Jubi. Mari bergabung di Grup Telegram “News Room Jubi” dengan cara klik link https://t.me/jubipapua , lalu join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
banner 400x130
banner 728x250