Jayapura, Jubi – Presiden Eksekutif United Liberation Movement for West Papua atau ULMWP, Manase Tabuni mendesak Pemerintah Indonesia membuka ruang dialog untuk menyelesaikan masalah di Tanah Papua. Hal itu disampaikan Tabuni di Kota Jayapura, Provinsi Papua, pada Senin (9/10/2023).
“[Harus] ada ruang dialog untuk menyelesaikan masalah-masalah itu. Kita semua bersama semua komponen bangsa Papua dan bangsa Indonesia sama-sama secara bermartabat menyelesaikan masalah yang terjadi di Papua,” ujarnya.
Tabuni mengatakan konflik bersenjata masih terus berlangsung di beberapa wilayah di Papua seperti di Mimika, Pegunungan Bintang, Nduga, Intan Jaya, Puncak, Yahukimo, Tambrauw dan Maybrat. Tabuni mengatakan konflik selama enam dekade berdampak terhadap 64 ribu warga sipil yang harus meninggalkan kampung mereka.
“Sampai saat ini konflik ini tidak menurun tetapi semakin meningkat,” katanya.
Tabuni mengatakan untuk menyelesaikan masalah maka semua pihak yang berkonflik harus dilibatkan dalam dialog tersebut. Tabuni mengatakan dialog itu harus dimediasi oleh pihak yang netral yang tidak memihak baik terhadap orang Papua atau Indonesia.
“Semua aktor yang berkonflik harus terlibat dalam sehingga kita sama-sama untuk mencari jalan keluar. Semua persoalan-persoalan taruh di depan. Tidak bisa pemerintah datang ambil satu dua kelompok tidak kompeten dalam persoalan-persoalan ini. Itu tidak akan selesai, justru akan membuat masalah baru,” ujarnya.
Tabuni mengatakan ULMWP sudah pernah mencoba menggagas dialog dengan memulai dengan penandatangan Nota Kesepahaman Jeda Kemanusian bersama oleh ULMWP, Komnas HAM RI dan Majelis Rakyat Papua (MRP) di Jenewa, Swiss pada 11 November 2022. Nota Kesepahaman Jeda Kemanusiaan Bersama atau MoU JKB itu adalah kesepakatan untuk menerapkan serangkaian langkah dengan niat tulus menciptakan kondisi yang kondusif untuk membuka jalan dalam proses damai.
“Jeda kemanusian itu satu langkah strategis untuk menyelamatkan masyarakat Papua yang mengungsi. Masyarakat yang mengungsi itu belum kembali ke kampungnya. Kami menguji dengan hal kecil saja khusus untuk Maybrat dan tidak seluruh Papua. Dalam waktu singkat dua bulan bagaimana Jeda Kemanusian itu bisa di akses wilayah yang kita mau masuk mobilisasi logistik. Wilayah yang mau masuk itu yang kita mau jeda kemanusian ada spesifkasi itu tidak ada umum,” katanya.
Akan tetapi Tabuni mengatakan kesepakatan Jeda Kemanusia itu kemudian dicabut oleh Komnas HAM pada 9 Februari 2023. Salah satu alasannya Komnas HAM bukan lembaga yang tepat untuk menandatangani kesepakatan jeda kemanusiaan, karena Komnas HAM bukan lembaga yang terlibat dalam konflik Papua.
“Masa jabatan Komnas lama berakhir dan Komnas HAM yang baru tidak melanjutkan itu. Kami menganggap Jakarta tidak serius mempertahankan komitmen itu,” ujarnya.
Tabuni mengatakan sebaliknya Pemerintah Indonesia terus mengirim TNI/Polisi untuk mengamankan kepentingan negara yang hanya semakin memperburuk situasi di Tanah Papua. Tabuni mengatakan Pemerintah Indonesia telah menempatkan 47.261 personil militer di Tanah Papua, dimana sekitar 24 ribu personal telah dimobilisasi ke titik konflik.
“Pendekatan militer itu bukan menyelesaikan masalah. Sebaiknya pemerintah di daerah maupun pemerintah pusat untuk melihat ini,” katanya. (*)