Oleh: Jhon Yafet Wabia
Tambrauw adalah salah satu kabupaten di Provinsi Papua Barat Daya. Pusat pemerintahannya berada di Fef. Dasar hukum pembentukan kabupaten ini berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 56 dengan perubahan Pasal 3 ayat (1) sesuai Keputusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 127/PUU-VII/2009, tanggal 25 Januari 2009.
Kabupaten ini diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri, Mardiyanto, 29 Oktober 2008. Penunjukan penjabat bupati dilakukan pada 15 April 2009 di Jakarta dengan menunjuk Menase Paa sebagai pejabatnya.
Berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 127/PUU-VII/2009, tanggal 25 Januari 2009, Kabupaten Tambrauw dibentuk dari sebagian bekas wilayah Kabupaten Sorong dan Kabupaten Manokwari dengan ibukota Fef dan beberapa distrik, yaitu, Distrik Abun, Amberbaken, Fef, Kebar, Kwoor, Miyah, Moraid, Mubrani, Sausapor, Senopi, dan Distrik Yembun.
Tahun 2011, Tambrauw ditetapkan sebagai Kabupaten Konservasi dengan luas wilayah 11.529,18 km2. Sekitar 75 % wilayah Tambrauw dijadikan kawasan konservasi dan lindung.
Ekspedisi Tambrauw (LIPI, 2019) mengungkapkan kondisi hutan di Tambrauw berada dalam fase klimaks yang merupakan ciri khas hutan primer yang kaya akan keanekaragaman hayati flora dan fauna, dengan tipe ekosistem yang unik. Salah satunya ekosistem padang rumput dan hutan di Lembah Kebar, tempat hidup lebah endemik. Kelompok lebah ini berperan sebagai agen pengendali hama.
Namun, kawasan hutan dan padang rumput di Tambrauw sedang menghadapi ancaman dikarenakan kebijakan dan pemberian izin usaha pembalakan kayu, perkebunan skala besar, industri peternakan dan pertambangan, serta pembangunan infrastruktur, yang dilakukan dengan mengabaikan prinsip pembangunan berkelanjutan, keadilan, dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat.
Pada gilirannya akan menimbulkan potensi bencana dan kerusakan lingkungan, serta masalah sosial ekonomi, yang akan sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat dan lingkungan, serta daerah sekitarnya.
Ancaman degradasi hutan masyarakat adat Kebar
Pada 2011 – 2019 administrasi Pemkab Tambrauw sementara dipusatkan di Distrik Sausapor. Dipimpin oleh Bupati Gabriel Asem (2011-2022).
Pada tahun 2014 hampir terjadi kerusakan lingkungan di Distrik Kebar seluas 19,368.77 hektare. Berdasarkan SK Menteri Lingkungan Hidup Nomor: 873/MENHUT-II/2014 oleh PT Bintuni Agro Prima Perkasa (BAPP), bahwa PT BAPP masuk dan melakukan kesepakatan bersama dengan masyarakat adat, untuk berinvestasi tanaman pangan jagung. Maka perusahaan bertemu dengan masyarakat adat, di lokasi Arumi, Distrik Kebar, tahun 2014, sehingga masyarakat dapat menyetujuinya.
Namun masyarakat meminta perusahaan untuk melakukan operasi di lahan terbuka seperti alang-alang dengan tidak merusak hutan. Seiring waktu PT BAPP melakukan operasinya secara membabi buta ke hutan masyarakat adat dengan skala luas.
Sementara itu luas lahan untuk penanaman jagung tidak dicantumkan dalam surat kesepakatan antara perusahaan dengan masyarakat adat. Semenjak kesepakatan masyarakat adat dan perusahaan berlangsung, surat kesepakatan sudah diminta masyarakat sebagai arsip.
Namun sampai tahun 2023 tidak ada arsip surat kesepakatan yang diberikan oleh perusahaan PT BAPP sebagai bukti pegangan masyarakat adat. Sehingga dinilai banyak pelanggaran oleh perusahaan terkait kesepakatan soal janji-janji perusahaan, seperti luas lahan yang tidak dicantumkan dalam surat kesepakatan, pihak perusahaan membiayai anak sekolah, bahkan ada soal izin konsesi lahan hanya tanam uji coba selama dua tahun, nanti setelah dua tahun bila hatinya baik, maka mereka akan kembali mengumpulkan masyarakat untuk melakukan kesepakatan selanjutnya.
Tahun 2015 perusahaan kembali bertemu dengan masyarakat adat untuk meminta perizinan pangan jagung diubah menjadi pangan kelapa sawit. Namun masyarakat adat pemilik hak ulayat menolak perusahaan tersebut karena dinilai tidak sesuai kesepakatan masyarakat adat, sehingga pada 30 Agustus 2018 MRP Papua Barat memfasilitasi masyarakat dan menghadirkan Pemkab Tambrauw, dalam aksi protes penolakan dan masyarakat adat (Kebar) dengan memalang kantor perusahaan PT BAPP. Namun sampai pada saat ini perusahaan terus melakukan operasinya di lahan milik warga Amawi, Wasabiti, Ariks, dan Kebar.
PT BAPP mendapatkan dukungan dari Dinas Pertanahan dan Bupati Tambrauw untuk melakukan operasi di Lembah Kebar. Sehingga dalam protes masyarakat adat tidak mendapat respons yang baik dari Pemerintah Tambrauw dan pihak perusahaan, karena yang bermain di PT BAPP adalah Pemkab Tambrauw.
Kehadiran PT BAPP tidak terlepas dari izin Pemkab Tambrauw. Berdasarkan hasil penelitian Greenpeace Indonesia melaporkan bahwa temuan pemerintah ikut serta memutuskan izin konsesi PT BAPP di Lembah Kebar dan rekomendasi Bupati Sorong No. 503/274 24 Mei 2007 dan Surat Bupati Manokwari tentang izin lokasi kelapa sawit. PT Bintuni Agro Prima Perkasa 25 Mei 2007 dilanjutkan pada tahun 2015. Surat izin Bupati Tambrauw tentang lokasi tanaman pangan dan pengolahan PT BAPP seluas sekitar 19.368,77 hektare dan surat Pemkab Tambrauw atas kajian rencana tanaman pangan.
Suara mahasiswa dan masyarakat Tambrauw
Aliansi Mahasiswa Tambrauw dan organisasi Organisasi Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Kebar (IPMK) serta Belajar Bersama Fakta (BBF) mencatat kejahatan kerusakan lingkungan di Kabupaten Tambrauw yang sengaja dipelihara oleh Pemkab Tambrauw. Selama bertahun-tahun di wilayah Kebar Raya sendiri mendapat ancaman serius terhadap tanah milik masyarakat adat. Kerusakan lingkungan yang dialami masyarakat adat di Lembah Kebar Raya selama dua kali berturut-turut oleh PT BAPP & PT Nuansa Lestari Sejahtera.
Tidak terlepas dari operasi PT BAPP yang telah merusak hutan adat berhektare-hektare. Ada beberapa pohon seperti pohon kayu besi, kayu merbau, kayu matoa, pohon sagu dan lain sebagainya, yang jadi korban akibat penggusuran hutan adat.
Keterlibatan pemerintah dalam mendukung investor menyebabkan kerusakan lingkungan skala luas di Tambrauw. Sejak awal hadirnya PT BAPP atas dukungan pemerintah, maka mahasiswa menilai bahwa pemerintah sebagai pelaksana konservasi, dan pemerintah harus melindungi masyarakat Tambrauw, sebab Kabupaten Tambrauw itu hadir karena adanya masyarakat dan wilayah.
Mahasiswa menduga beberapa perusahan di Distrik Kebar Raya diboncengi oleh Pemkab Tambrauw, sehingga menyebabkan mahasiswa memprotes kepada Pemkab Tambrauw untuk menolak perusahan PT NLS dan PT BAPP pada 19 Mei 2022 dan 11 Juli 2022. Mahasiswa juga menilai masyarakat tidak mendapatkan keadilan di tanahnya sendiri. Sebab Pemkab Tambrauw tidak mempedulikan sura-suara masyarakat.
Tokoh perempuan adat, Mama Veronika Manimbu selama delapan tahun angkat bicara soal tanah adat yang dikelola oleh PT BAPP. Beliau pernah bercerita bahwa dalam proses advokasinya beliau sering mencucurkan air mata. Namun beliau tidak pernah menyerah untuk memperjuangkan hak adatnya.
Mama Veronika didukung oleh komunitas lingkungan hidup, untuk mengadvokasi soal tanah adatnya yang digusur oleh PT BAPP. Seluruh komunitas lingkungan hidup angkat bicara soal kerusakan lingkungan tersebut. Mereka juga menolak dalam bentuk pernyataan sikap terhadap PT BAPP yang beroperasi di Lembah Kebar.
Perjuangan Mama Veronika bersama aktivis lingkungan hidup membuahkan hasil. Tahun 2022, Menteri Dalam Negeri meresponsnya melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Nomor:sk.01/menlhk/setjen/kum.1/1/2022 tentang pencabutan izin konsesi kawasan hutan dan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Tahun 2011 Kabupaten Tambrauw dijadikan sebagai wilayah konservasi dan hutan lindung. Kemudian turunan Peraturan Bupati Tambrauw Nomor 23 tahun 2018, Perda Tambrauw No.5/2018 dan Perda No 6 /2018 tentang Tambrauw sebagai wilayah konservasi dan masyarakat adat. Dari 19.368,77 hektare yang direncanakan oleh PT BAPP untuk operasi pangan jagung dikurang menjadi 2.300 hektare yang sudah di-AGU-kan.
Berdasarkan hasil kajian soal kerusakan lingkungan di Distrik Kebar Timur, pemkab setempat mesti mencabut kembali PT BAPP, dan bersihkan seluruh investor di Kabupaten Konservasi Tambrauw. Pemerintah juga tidak diperbolehkan untuk menyebutkan alang-alang di Lembah Kebar sebagai lahan tidur, sebah di Lembah Kebar sebagai tempat berlindungnya rumput Kebar, yang dijuluki sebagai rumput penyubur kandungan perempuan.
Pernyataan sikap mahasiswa
Pertama, Pemkab Tambrauw segera mencabut PT BAPP dari tanah ulayat Wasabiti, Amawi, Arumi, Ariks, dan Kebar; berdasarkan aksi penolakan yang dilakukan oleh masyarakat Kebar Raya tahun 2018 dan Aliansi Mahasiswa Tambrauw bersama masyarakat adat tahun 2022 di Mes Kebar;
Kedua, Pemkab Tambrauw tidak boleh terlibat dalam investor di Tambrauw; Ketiga, Pemkab Tambrauw harus melindungi tanah adat di dataran Lembah Kebar Tambrauw; Keempat, Pemkab Tambrauw patut menghormati tanah adat milik masyarakat adat di Tambrauw;
Kelima, Pemkab Tambrauw harus menjunjung tinggi nilai-nilai konservasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan menghormati Perda Kabupaten Tambrauw Nomor 5/36 Tahun 2018 tentang Kabupaten Tambrauw sebagai Kabupaten Konservasi. (*)
*Penulis adalah mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ)