Jayapura, Jubi – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM menyatakan kasus penembakan yang menyebabkan tiga warga sipil orang asli Papua meninggal dunia yang terjadi di Kabupaten Puncak Jaya, Provinsi Papua Tengah, pada 16 Juli 2024, merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Komnas HAM meminta adanya penegakan hukum yang adil dan transparan untuk memulihkan hak korban dan keluarga korban.
Hal itu dinyatakan Koordinator Sub Komisi Penegakan HAM Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing di Jakarta, Selasa (29/10/2024). Uli menyampaikan hal itu saat menjelaskan hasil pemantauan dan penyelidikan Komnas HAM yang dilakukan pada 31 Juli hingga 13 September 2024.
Uli mengatakan penembakan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap warga sipil di Kabupaten Puncak Jaya itu dilakukan tanpa alasan yang jelas, dan penembakan terjadi seketika, tanpa didahului perlawanan dari korban.
Menurut Uli, penembakan itu merupakan pelanggaran hak hidup. Ia juga menyebut korban jiwa yang terjadi dalam amuk massa yang menyusul penembakan itu juga melanggar hak hidup para korban. “Hak atas hidup hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun,” ujarnya.
Pada 16 Juli 2024, tiga warga sipil yakni Dominus Enumbi (Ketua Bamuskam asal Kampung Karubate), Pemerinta Morib (Kepala Kampung Dokome), dan Tonda Wanimbo (Bendahara Kampung Temu asal Distrik Ilamburawi) meninggal dunia karena terkena tembakan di Puncak Jaya. Ketiga warga sipil itu diduga ditembak prajurit Satgas 753, Maleo, dan Satgas Elang/BIN.
Uli mengatakan tiga korban penembakan adalah SW sebagai pegawai badan musyawarah kampung, DE sebagai bendahara kampung, dan PM sebagai kepala desa Desa Dokkome. Ketiganya tidak memiliki catatan kriminal atau status sebagai DPO (Daftar Pencarian Orang) dan tidak masuk dalam operasi oleh satgas.
“Target operasi aparat keamanan adalah TE yang berstatus sebagai Daftar Pencarian Orang atau DPO,” katanya.
Penembakan salah sasaran itu membuat marah keluarga korban. Pada 17 Juli 2024, Pemerintah Kabupaten Puncak Jaya menggelar dialog untuk meredam kemarahan warga. Upaya dialog itu malah berujung ricuh, karena keluarga korban tidak puas dengan penjelasan aparat keamanan.
Massa yang marah membakar sejumlah kendaraan. Amuk massa itu juga menyasar warga yang lain, termasuk Abdullah Jaelani (tukang ojek, meninggal dunia), Surati Nina (pemilik warung, terluka karena terkena panah di dada dan tangan putus), Sani Lololembang (aparatur sipil negara, luka tangan ditebas) Arief (luka tangan ditebas). Sebagian warga sempat mengungsi ke Markas Kodim 1714/ Puncak Jaya dan Markas Polres Puncak Jaya.
Belakangan, Pemerintah Kabupaten Puncak Jaya dengan membayar denda senilai Rp7,5 miliar kepada keluarga ketiga warga sipil yang ditembak prajurit TNI. Penjabat Bupati Puncak Jaya, Tumiran menyerahkan uang itu kepada keluarga di Lapangan Alun-alun Pagaleme, Puncak Jaya, pada 17 September 2024. Kini, Komnas HAM menyatakan bahwa penembakan ketiga warga sipil itu merupakan kasus pelanggaran HAM.
Tidak proporsional
Uli mengatakan SW dan DE ditembak ketika keduanya tidak membuat perlawanan. Ia menyatakan tindakan prajurit TNI menembak SW dan DE tidak proporsional. Terkait kematian warga bernama PM, Uli mengatakan penyebab kematian PM masih perlu penyelidikan lebih lanjut.
Menurut Uli, dalam penyelidikannya tim Komnas HAM mendatangi lokasi penembakan tersebut. “Komnas HAM juga menemukan bekas tembakan di sekitar lokasi kejadian, dan adanya keterangan dari beberapa pihak serta saksi-saksi maupun dokumen dalam peristiwa tersebut,” ujarnya.
Uli mengatakan peristiwa penembakan memicu aksi massa yang berujung pada kerusuhan, mengakibatkan pembakaran kendaraan milik aparat keamanan, dan korban luka-luka dari aparat keamanan serta warga sipil, dan satu orang non-OAP meninggal dunia.
Kerusuhan tersebut juga menimbulkan korban lain dan kerugian materiil. Di antaranya, korban dampak kerusuhan dan penyewa kios di lokasi amuk massa kehilangan barang dagangan dan dokumen penting seperti ijazah dan surat-surat lainnya, dan mengalami trauma psikologis.
Aparat keamanan menganiaya saksi
Uli mengatakan Komnas HAM juga menemukan dugaan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap para saksi. Uli mengatakan aparat keamanan setempat melakukan kekerasan terhadap sejumlah saksi, dan tindakan itu merupakan pelanggaran hak untuk bebas dari penyiksaan, perlakukan yang tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia.
Uli mengatakan keluarga korban dan saksi, baik dari pihak Orang Asli Papua (OAP) maupun non-OAP, perlu mendapatkan keadilan yang memadai. Penegakan hukum yang serius terhadap pelaku penembakan harus dilakukan, karena sejumlah pihak khawatiran akan terjadinya praktik impunitas.
Menurut Uli, penembakan itu juga menciptakan ketidaknyamanan di kalangan OAP maupun non-OAP. Para korban telah kehilangan keluarga, dan hak atas kepemilikan barang miliknya.
Komnas HAM mendesak agar setiap pelanggaran hak asasi manusia dalam rangkaian peristiwa itu di investigasi secara menyeluruh. Komnas HAM juga mendesak penegakan hukum terhadap semua pihak, termasuk Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) dan aparat keamanan, demi memulihkan hak-hak korban serta mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap negara.
Komnas HAM juga menekankan perlunya perlindungan hukum bagi para saksi dan korban peristiwa tersebut. Para saksi, dan korban tersebut perlu mendapatkan pemulihan atas trauma peristiwa tersebut. Komnas HAM juga mendesak agar adanya evaluasi penyaluran dana desa di wilayah Puncak Jaya.
Adili pelaku penembakan
Direktur PAHAM Papua, advokat Gustaf Kawer mengatakan para pelaku yang melakukan penembakan harus diproses hukum. Kawer mengatakan para pelaku harus mempertanggung jawab perbuatan mereka di pengadilan.
“Proses hukum sampai kemudian pelakunya terbukti, baru kemudian ada kompensasi, restitusi, rehabilitasi,” kata Kawer kepada Jubi melalui panggilan telepon, pada Rabu (30/10/2024).
Kawer mengkritik upaya untuk menutup kasus tersebut dengan proses pembayaran denda Rp7,5 miliar oleh Pemerintah Kabupaten Puncak Jaya. “Mereka mendahului [proses hukum dan membayar denda] dengan tujuan utama itu menutup kasus dan melindungi pelakunya, dalam hal ini aparat keamanan. Akhirnya itu membuat proses hukum tidak tersentuh,” ujarnya.
Kawer mengatakan pembayaran denda apa pun tidak menghilangkan tindak pidana penembakan terhadap warga sipil itu. Ia mengatakan praktik pembayaran denda adat itu akan menambah panjang daftar kasus impunitas bagi aparat keamanan.
“Kalau kesalahan dilakukan oleh militer atau polisi, itu tidak masuk ranah adat. Itu kaitan dengan pertanggungjawaban institusi. Jadi [seharusnya] tidak ada ganti rugi seperti begitu. Ganti rugi tidak menghilangkan pidana,” katanya.
Kawer juga mengatakan seharusnya Komnas HAM proaktif mengawal kasus hingga tuntas. Jika Komnas HAM menyatakan penembakan warga Puncak Jaya itu pelanggaran HAM, seharusnya Komnas HAM bisa menjalankan mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM.
“Kalau Komnas umumkan itu ada tindak pidana atau ada persoalan hukum, sebaiknya dia yang diselesaikan lewat mekanisme pelanggaran HAM. Setelah Komnas HAM [menjalankan wewenangnya], tindak lanjutnya [oleh] jaksa, dan kemudian pengadilan HAM. Jadi proses jalan, setelah jalan sampai di pengadilan, baru ganti rugi. Dalam putusan pengadilan tetap juga harus ada kompensasi, restitusi, dan reparasi bagi itu korban dan keluarganya,” ujarnya.
Saat ditanyai kasus penembak tersebut. Dandim 1714/Puncak Jaya, Letkol Inf Irawan Setya Kusuma mengatakan tidak terlibat dalam penanganan kasus penembakan ketiga warga sipil tersebut. Ia meminta Jubi menanyai kasus tersebut ke Komnas HAM RI dan pihak berwajib.
“Silakan tanya ke Komnas HAM dan pihak berwajib. Kami tidak menangani hal tersebut,” kata Irawan kepada Jubi melalui pesan whatsApp, pada Rabu.
Kabid Humas Polda Papua, Kombes Pol Ignatius Benny Ady Prabowo mengatakan Polres Puncak Jaya dan Satgas Damai Cartenz masih melakukan penyelidikan atas peristiwa itu. “Polres [Puncak Jaya] dan Satgas Damai Cartenz masih melakukan penyelidikan,” kata Benny kepada Jubi, pada Rabu.
Jubi berusaha menghubungi Kasatgas Humas Ops Damai Cartenz 2024, Kombes Pol Bayu Suseno terkait hasil penyelidikan mereka. Jubi juga menghubungi Kepala Penerangan Kodam atau Kapendam XVII/Cenderawasih Letkol Inf Candra Kurniawan terkait tindak lanjut kasus penembakan tersebut. Hingga berita ini diturunkan, pesan permintaan konfirmasi yang dikirim Jubi melalui layanan pesan WhatsApp tidak direspon. (*)