Makassar, Jubi – Pengadilan Hak Asasi Manusia Makassar menggelar sidang lanjutan perkara dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia berat Paniai Berdarah di Makassar, Kamis (3/11/2022). Saat diperiksa sebagai terdakwa kasus Paniai Berdarah, Mayor (Purn) Isak Sattu menegaskan dia tak pernah sekalipun memerintahkan penggunaan senjata terhadap massa.
Perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat Paniai Berdarah adalah kasus penyerangan yang diduga dilakukan para prajurit TNI AD terhadap massa yang berunjuk rasa di Enarotali, ibu kota Kabupaten Paniai, pada 8 Desember 2014. Sebanyak tiga siswa meninggal karena luka tembak, dan seorang siswa lainnya meninggal karena luka tusuk. Sementara sepuluh warga lainnya terluka, tujuh diantaranya mengalami luka tembak, dan tiga orang lainnya mengalami luka lebam.
Sidang ini diperiksa dan akan diadili majelis hakim yang dipimpin Hakim Ketua Sutisna Sawati bersama Hakim Anggota Abdul Rahman, Siti Noor Laila, Robert Pasaribu, dan Sofi Rahman Dewi. Isak Sattu yang merupakan Perwira Penghubung di Enarotali saat tragedi Paniai Berdarah terjadi didakwa dengan dua delik kejahatan terhadap kemanusiaan yang diancam hukuman terberat pidana mati, dan hukuman teringan pidana 10 tahun penjara.
Pemeriksaan Isak Sattu sebagai terdakwa tunggal kasus Paniai Berdarah berlangsung sejak pukul 10.00 hingga pukul 14.00 WITA. Isak Sattu yang menggunakan celana hitam dan baju batik mengungkapkan bahwa penyerangan terhadap massa yang berdemonstrasi di Lapangan Karel Gobay pada 8 Desember 2014 dalah insiden yang terjadi dengan spontan.
Isak bersaksi bahwa ia menyaksikan massa berkumpul di Lapangan Karel Gobay sekitar pukul 09.00 WP. Sejumlah orang melumuri wajahnya dengan lumpur. Mereka juga membawa senjata tajam, seperti anak panah, batu, kayu, serta kapak.
Menurut Isak, massa terbagi dalam beberapa kelompok, terpencar di depan Markas Kepolisian Sektor Paniai Timur, dan beberapa lainnya berada di depan Markas Komando Rayon Militer atau Koramil 1705-02/Enarotali.
Saat itu, Isak bersama tiga anggota Koramil lainnya menemui massa, dan meminta penjelasan atas demonstrasi yang akan dilakukan. Akan tetapi, kata Isak Sattu, massa saat itu hanya mengungkapkan jika akan melakukan tarian Waita. “Dalam proses negosiasi itu, tiba-tiba ada teriakan muncul dari kerumunan, ‘bunuh Koramil, bunuh Polsek’,” kata Isak.
Ungkapan itu, kemudian menyulut reaksi massa. Isak melihat keadaan mulai tak terkendali, dan memutuskan untuk masuk ke halaman Markas Koramil Enarotali. Ia lalu menutup pagar.
Massa semakin gaduh, lalu lemparan batu melayang memasuki halaman Koramil. Anggota Koramil berlindung, Isak tak ketinggalan ikut berlindung dan menyempil di sisi tembok.
Saat berlindung, Isak menelfon Komandan Distrik Militer (Kodim) 1705/Paniai di Nabire, tapi tidak terhubung. Ia lalu berusaha menelfon ke Kepala Staf Kodim, namun juga tidak terhubung.
Ia akhirnya berhasil menelepon Pas Intel Kodim, dan melaporkan jika massa menyerang dan melempari kantor Koramil Eranotali dengan batu. Isak Sattu meminta laporan itu diteruskan kepada pimpinan di Nabire.
Saat itu pula, Isak melihat beberapa anggota Koramil Enarotali telah memegang senjata api. “Saya perintahkan untuk amankan senjata, dan menembak ke [arah] atas saja,” katanya.
“Saya juga tidak tahu, bagaimana senjata itu keluar dari gudang. Siapa yang membuka dan mengambil,” ujar Isak Sattu dalam persidangan.
Majelis hakim sempat bertanya, apakah dalam situasi genting dan ribut seperti itu, perintah Isak Sattu akan didengar oleh anggota Koramil Enarotali. “Didengar. Karena saya dekat dengan mereka, dan saya teriak,” kata Isak.
Menurut Isak, sebelum ada anggota Koramil Enarotali yang melepaskan tembakan, ia sudah mendengar suara tembakan yang berasal dari arah Polsek Paniai Timur. Suara tembakan itulah yang kemudian diikuti tembakan dari halaman Markas Koramil Enarotali. Akan tetapi, Isak mengatakan ia tak melihat siapa saja anggota Koramil yang menembak, karena saat itu masih sibuk menghubungi pimpinan Kodim di Nabire.
Keterangan Isak berlawanan dengan keterangan beberapa saksi dalam persidangan Paniai Berdarah. Dalam persidangan kasus Paniai Berdarah sebelumnya, saksi menyatakan salah satu korban tragedi itu jatuh tertembak tepat di depan pagar Markas Koramil Enarotali. Penembakan itulah yang membuat massa mundur dan menjauhi Markas Koramil Enarotali.
Isak menyatakan hal itu tidak mungkin. Menurut Isak, sekitar 30 menit aksi massa di Lapangan Karel Gobay berubah menjadi amuk, anggota Koramil berdiri di halaman markas dan melihat keadaan.
Isak menyatakan dia bahkan melihat tiga korban digotong beberapa orang menuju tiang bendera. “Korban itu diangkat dari sudut lapangan lainnya. Tidak berdekatan dengan Koramil,” katanya.
“Kalau anggota Koramil menembak lurus, saya yakin bukan satu korban, akan banyak korban. Jadi itu tidak masuk akal,” lanjutnya.
Isak Sattu juga menjelaskan perihal Komandan Koramil Eranotali Mayor Inf (Purn) Junaid yang tak berada di tempat pada saat tragedi Paniai Berdarah terjadi. Isak Sattu membenarkan jika Junaid yang kala itu masih berpangkat Kapten berpamitan untuk pergi melayat keluarganya di Nabire. “Sebelum dia berangkat, dia hanya bilang, ‘Bang, saya mau ke Nabire, dan sudah dapat izin. Mohon lihat-lihat anggota’,” kata Isak.
Penyampaian itu, kata Isak, bukanlah perintah atau pendelegasian wewenang komando Koramil Enarotali, namun hanyalah sebatas penghargaan karena Isak memiliki pangkat yang lebih tinggi dari Junaid.
Penjelasan Isak itu langsung dicecar oleh tim Jaksa Penuntut Umum (JPU). “Tapi saat peristiwa terjadi, hanya saudara hanya saudara terdakwa yang perwira, dan pangkat paling tinggi,” kata JPU.
“Benar. Tapi apakah pasukan bisa dengar perintah saya, bisa tidak, bisa iya. Karena memang saya tidak punya garis perintah ke mereka. Saya bukan anggota Koramil,” kata Isak Sattu.
Isak Sattu menjelaskan dirinya bertugas secara aktif di Paniai sekitar Oktober 2014. Sebelumnya, dia bertugas di daerah Intan Jaya. Kemudian, atas perintah Komandan Kodim Paniai, dia berpindah ke Eranotali sebagai Perwira Penghubung. Sebagai Perwira Penghubung, Isak Sattu menjadi penyambung komunikasi Komandan Kodim dengan perangkat daerah Pemerintah Kabupaten Paniai.
Di Paniai, Isak juga juga bertugas untuk berkoordinasi dengan tiga Komandan Koramil. Komandan Kodim kemudian menunjuk Koramil Enarotali menjadi tempatnya untuk beraktivitas.
Di sana, Isak tak punya kantor khusus, hanya bilik kecil bersama anggota Koramil lainnya untuk tinggal. “Jadi tugas utamanya dengan Danramil. Bukan berkantor [di] Koramil Enarotali,” katanya.
Pabung tak dilibatkan
Isak Sattu juga menyatakan ia tidak mengikuti apel pagi anggota Koramil 1705-02/Enarotali yang dipimpin Bintara Tinggi Tata Urusan Dalam (Batituud), sebab ia tidak masuk dalam struktur Koramil Enarotali.
Setelah apel, dia bersama dua anggota Koramil Enarotali bersiap pergi ke Madi, wilayah pusat pemerintah Kabupaten Paniai, untuk menghadiri pertemuan yang akan membahas perayaan Natal. Menurut Isak Sattu, mereka akan menggunakan mobil milik Koramil Eranotali yang disiapkan oleh Batituud.
Saat Isak dan timnya hendak berangkat ke Madi, mereka menerima informasi mengenai pemalangan jalan di Gunung Merah, tempat dibangunnya Pondok Natal oleh warga. Beberapa saat kemudian, Isak Sattu melihat massa dari arah Gunung Merah turun ke Lapangan Karel Gobay yang terletak tepat di depan Markas Koramil Enarotali. Isak Sattu akhirnya membatalkan rencana perjalanannya ke Madi.
Menjelang pukul 10.00 WP, massa mulai dibubarkan oleh polisi. Disaat itulah Isak baru mendapatkan informasi jika pada 7 Desember 2014 telah terjadi pemukulan terhadap sejumlah anak yang berjaga di Pondok Natal Gunung Merah. Isak Sattu baru memahami bahwa pemukulan itu diduga dilakukan oleh prajurit TNI itulah yang memicu massa berkumpul di Lapangan Karel Gobay, hingga berujung kepada Tragedi Paniai Berdarah.
Isak menyatakan setelah massa di Lapangan Karel Gobay dibubarkan, ia dan para anggota Koramil Enarotali tetap berjaga di halaman Markas Koramil Enarotali. Mereka menjaga kemungkinan serangan lanjutan, meski kemudian tak terjadi.
JPU sempat bertanya, apakah Isak Sattu memeriksa senjata pasca terjadinya penyerangan terhadap massa pada 8 Desember 2014. “Apakah ada pemeriksaan senjata yang dilakukan saudara, sebagai perwira berpangkat paling tinggi setelah itu?,” kata salah seorang JPU.
“Tidak. Karena itu bukan tugas saya,” kata Isak.
Menurut Isak Sattu, pada 8 Desember 2014 sekitar pukul 18.00 WP, Dandim, Danramil Enarotali, dan dan Sub-Denpom tiba di kantor Koramil Enarotali. Malam itu, Dandim mengambil komando, dan meminta keterangan dari semua anggota Koramil, satu per satu.
Sattu juga menjelaskan beberapa bulan setelah peristiwa Paniai Berdarah itu dia menjalani pemeriksaan oleh tim Mabes TNI. Akan tetapi, Isak Sattu tidak mengetahui hasil pemeriksaan itu.
“Saya tidak tahu hasilnya. Karena memang semua diserahkan ke Komandan. Jadi tidak ada hasil yang diberikan ke saya, bagaimana dan apa hasilnya,” kata Isak. (*)