Makassar, Jubi – Pengadilan Hak Asasi Manusia Makassar mulai menyidangkan kasus pelanggaran HAM berat Paniai Berdarah, Rabu (21/9/2022). Mayor (Purn) Isak Sattu menjadi terdakwa tunggal tragedi Paniai Berdarah. Tim Jaksa Penuntut Umum yang dipimpin Erryl Prima Putera Agoes mendakwa Isak Sattu dengan dua delik kejahatan terhadap kemanusiaan yang diancam hukuman terberat pidana mati, dan hukuman teringan pidana 10 tahun penjara.
Sidang pertama kasus Paniai Berdarah yang digelar di Ruang Sidang Bagir Manan Pengadilan Negeri Makassar Kelas IA Khusus itu dihadiri sekitar 100 orang, Sebagian besar pengunjung sidang itu adalah para aktivis lembaga atau organisasi yang bergerak dalam isu Hak Asasi Manusia (HAM) dan peduli dengan kasus Paniai Berdarah. Namun tidak ada keluarga korban tragedi Paniai Berdarah yang tampak menghadiri persidangan itu.
Perkara itu diperiksa dan akan diadili majelis hakim yang dipimpin Hakim Ketua Sutisna Sawati, dengan didampingi Abdul Rahman, Siti Noor Laila, Robert Pasaribu, dan Sofi Rahman Dewi sebagai hakim anggota. Saat membuka sidang, Hakim Ketua Sutisna menjelaskan bahwa majelis hakim akan berburu waktu menyelesaikan pemeriksaan kasus Papua Berdarah. Menurutnya, majelis hakim harus menjatuhkan putusan atas kasus pelanggaran HAM berat Paniai Berdarah pada 7 Desember 2022.
Ia kemudian memeriksa identitas Isak Sattu, seorang purnawirawan TNI berpangkat Mayor yang dijadikan terdakwa tunggal dalam perkara nomor 1/Pid.Sus-HAM/2022/PN Mks itu. Isak Sattu yang mengenakan pakaian batik lengan panjang berwarna biru dan bermotif burung cenderawasih menunjukkan KTP miliknya kepada majelis hakim, dan menyatakan ia dalam kondisi sehat.
Hakim Ketua Sutisna menyatakan Isak Sattu tidak ditahan karena dianggap kooperatif. Akan tetapi, ia mengingatkan bahwa sewaktu-waktu Isak Sattu bisa ditahan jika dinilai tidak kooperatif menjalani proses persidangan kasus Paniai Berdarah itu. Isak menyatakan siap mengikuti persidangan tersebut.
Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dipimpin Erryl Prima Putera Agoes lantas membacakan dakwaan mereka. Dalam dakwaan yang dibacakan sekitar 1 jam itu, JPU menguraikan bahwa Isak Sattu pada saat tragedi Paniai Berdarah terjadi pada 8 Desember 2014 merupakan perwira dengan pangkat tertinggi yang mengkoordinir kegiatan Koramil 1705-02/Enarotali, yang wilayahnya mencakup Lapangan Karel Gobay di Kampung Enarotali, Distrik Paniai, Kabupaten Paniai, Papua.
Pemukulan di Pondok Natal
Surat dakwaan JPU itu menyatakan bahwa kasus penembakan Paniai Berdarah yang terjadi pada 8 Desember 2014 bermula dari kasus pemukulan yang dilakukan sejumlah prajurit TNI terhadap Benyamin Kudiai, Yosafat Yeimo, Noak Gobai dan Oktofince Yeimo. Pemukulan itu terjadi di Pondok Natal Gunung Merah, Jalan Enarotali – Madi Kilometer 4, pada 7 Desember 2014 petang, sekitar pukul 17.30 WP.
Pemukulan itu membuat kerabat para korban marah. Pada 8 Desember 2014 pagi sekelompok orang melakukan pemalangan jalan di depan Pondok Natal Gunung Merah.
Sejumlah aparat Kepolisian Resor (Polres) Paniai yang dipimpin Kabag Ops Polres Paniai, Kompol Sukapdi mendatangi Pondok Natal Gunung Merah sekitar pukul 09.00 WP. Pada saat yang bersamaan, sekitar delapan prajurit TNI Rider/Timsus 753/Batalyon 753/AVT Nabire. Surat dakwaan JPU menyatakan saat itu sudah ada 100 orang warga yang berkumpul di Pondok Natal Gunung Merah dengan membawa senjata tajam berupa kampak, parang, panah, juga batu dan kayu.
Massa kemudian menyerang mobil polisi yang dibawa Kompol Sukapdi. Sukapdi urung turun dari mobil, dan melaporkan situasi itu kepada Wakil Kepala Polres Paniai, Kompol Hanafiah. Hanafiah lalu memerintah Sukapdi agar menarik mundur semua polisi dan prajurit TNI dari Pondok Natal Gunung Merah.
Akan tetapi, prajurit TNI menyatakan tetap akan bertahan di sana. Sukapdi mengulang perintahnya kepada para prajurit TNI, “mundur, hargai pimpinan”.
Surat dakwaan JPU menyebut pada saat yang bersamaan juga ada 100 orang yang berkumpul di Lapangan Karel Gobay yang berjarak sekitar 6 kilometer dari Pondok Natal Gunung Merah. Massa di Lapangan Karel Gobay itu membawa berbagai macam senjata tradisional seperti panah, busur, kayu, kampak dan batu, serta melakukan waita (tarian yang dilakukan massa dengan berlari berkeliling bersama-sama, membentuk pusaran manusia yang berputar cepat) di sana.
Kompol Hanafiah menemui massa, mencoba melakukan negosiasi, namun massa semakin tidak terkendali. Surat dakwaan menyebut, kala Hanafiah sedang bernegosiasi dengan warga yang marah, salah satu anggota TNI justru berteriak kepada massa, mengatakan “cukimai anjing babi kau, saya bikin kau seperti tadi malam.”
Pada saat yang bersamaan, terdengar rentetan tembakan dari arah bawah Lapangan Karel Gobay. Massa akhirnya berhamburan mendatangi arah asal suara tembakan itu. Surat dakwaan menyatakan massa merusak mobil yang dikendarai Komandan Kompi Yonif 753/AVT, Lettu Prasenta Imanuel Bangun, dan mencoba merebut senjata api yang dibawa Prasenta. Prasenta melepaskan tembakan ke udara. Kompol Hanafian kemudian mendatangi Prasenta, memintanya berhenti menembak.
Surat dakwaan JPU menyatakan massa kemudian terpecah, sebagian kembali menuju Lapangan Karel Gobay dan sebagian lainnya kembali ke Pondok Natal Gunung Merah. Hanafiah kemudian bertemu dengan Wakil Bupati Paniai, Yohanis Youw, memintanya membantu menenangkan massa di Lapangan Karel Gobay.
Ada penembakan, ada penusukan
Surat dakwaan JPU merinci lini masa Paniai Berdarah. Saat Hanafiah dan Yohanis Youw tiba di Lapangan Karel Gobay, massa sedang melakukan waita, dan lantas berlari melintasi Markas Koramil 1705-02/Enarotali. Surat dakwaan JPU menyatakan bahwa terdakwa Isak Sattu sebagai perwira dengan pangkat tertinggi di Markas Koramil itu memerintahkan prajuritnya menutup gerbang markas. JPU menyatakan Isak Sattu melihat prajuritnya mengambil senjata api dan peluru tajam dari gudang senjata, dan tidak mencegah hal itu.
Seorang anggota Koramil 1705-02/Enarotali juga meminta warga yang memanjat pagar Markas Koramil turun, namun orang itu tetap memanjat pagar dan berteriak, “tembak sudah saya, karena itu senjata bukan milik kalian, tetapi milik negara”. Prajurit TNI itu lantas membuang tembakan peringatan, sembil berteriak kepada Isak Sattu, “Komandan, kami mohon petunjuk, kantor kita sudah diserang.”
Surat dakwaan JPU menyatakan beberapa saat kemudian anggota Koramil 1705-02/Enarotali menembak ke arah massa. Anggota Koramil 1705-02/Enarotali dan juga mengejar massa yang berhamburan, dan menikam sejumlah warga itu dengan sangkur. Terdakwa Isak Sattu dinyatakan JPU “tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasannya untuk mencegah atau menghentikan tindakan anggota yang melakukan penembakan dan kekerasan sehingga mengakibatkan 4 (empat) orang meninggal dunia. Keempat korban yang meninggal dunia itu adalah Alpius Youw, (luka tembak di punggung belakang sebelah kiri), Alpius Gobay (luka tembak di perut kiri yang tembus di pinggang kanan), Yulian Yeimo (luka di perut sebelah kiri dan tembus di pinggang sebelah kanan), dan Simon Degei (luka tusuk pada dada kanan).
Dalam dakwaan pertamanya, JPU menyatakan Isak Sattu mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa pasukannya sedang melakukan atau baru saja melakukan kejahatan kemanusiaan dalam bentuk serangan yang meluas atau sistemik berupa pembunuhan terhadap penduduk sipil. JPU menyatakan Isak Sattu dalam tragedi Paniai Berdarah telah melanggar ketentuan Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM). Hal itu diancam dengan dengan pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 25 tahun dan paling singkat 10 tahun.
Dalam dakwaan keduanya, JPU menguraikan bahwa Isak Sattu mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa pasukannya sedang melakukan atau baru saja melakukan kejahatan kemanusiaan dalam bentuk serangan yang meluas atau sistemik berupa penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang dilarang menurut hukum internasional. Dalam dakwaan kedua itu, JPU menyatakan Isak Sattu dalam peristiwa Paniai Berdarah telah melanggar ketentuan Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 UU Pengadilan HAM, dan terancam hukuman pidana penjara paling lama 20 tahun dan paling singkat 10 tahun.
Usai mendengar pembacaan dakwaan itu, Isak Sattu berkonsultasi dengan tim penasehat hukumnya yang dipimpin advokat Syahrir Cakkari. Syahrir Cakkari menyatakan pihaknya tidak akan mengajukan eksepsi atas dakwaan JPU, dan mempersilahkan majelis hakim melanjutkan persidangan ke pokok perkara. “Kami sudah mendengarkan dengan baik dan mencermati dengan baik, oleh karena itu, sekaitan dengan eksepsi kami tidak akan lakukan,” kata Syahrir.
Akan tetapi, Syahrir menyatakan pihaknya belum menerima salinan berkas perkara itu, khususnya Berita Acara Pemeriksaan para saksi maupun terdakwa Paniai Berdarah. “Sampai saat ini, yang kami terima baru salinan dan turunan dari surat dakwaan. Kami belum menerima salinan berkas yang lain. Untuk keseimbangan posisi, untuk kepentingan pembelaan nanti, kami meminta majelis untuk memerintahkan saudara jaksa memberikan Berita Acara Pemeriksaan kepada kami,” katanya.
Majelis hakim kemudian memberi kesempatan bagi Isak Sattu untuk menanggapi dakwaan JPU terkait peristiwa Paniai Berdarah itu. Isak pun menanggapinya, menyatakan peristiwa Paniai Berdarah itu tidak direncanakan. “Saya ingin menyampaikan, kalau dikatakan dalam dakwaan bahwa sistematik, itu berarti sudah direncanakan. Padahal tidak demikian ….”
Hakim Ketua Sutisna Sawati memotong tanggapan Isak, menjelaskan bahwa argumentasi Isak itu sudah memasuki pokok perkara kasus Paniai Berdarah, dan tidak bisa disampaikan dalam sidang pembacaan dakwaan. “Itu sudah masuk materi perkara. Jadi nanti saudara diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menyampaikan, apa yang saudara ketahui, saudara lihat,” kata Hakim Ketua Sutisna.
Tim JPU menyatakan telah menyiapkan 52 orang saksi dari unsur masyarakat, TNI, dan Polri. Tim JPU juga menyiapkan enam orang saksi ahli yang akan diupayakan hadir dalam ruang persidangan. Hakim Ketua Sutisna kemudian menunda sidang hingga 28 September 2022 dengan agenda pemeriksaan saksi. (*)