Jayapura, Jubi – Kasus pelemparan bom molotov di pelataran depan rumah jurnalis senior Papua yang juga Pemimpin Umum Jubi, Victor Mambor, beberapa waktu lalu memasuki babak baru.
Satu di antara jurnalis senior yakni Paskalis Keogap mengatakan ledakan bom molotov yang terjadi tahun lalu itu sebenarnya sudah dilaporkan langsung oleh kemudian Victor Mambor ke Polsek Jayapura Utara dengan laporan polisi LP/B/20/I/2023/SPKT/Polsek Jayapura Utara/Polresta Jayapura Kota/Polda Papua, tertanggal 23 Januari 2023.
Namun belakangan, penyidikan perkara tersebut dihentikan oleh kepolisian dengan alasan tak cukup bukti.
“Memang tadi dalam penjelasan termohon dalam sidang itu, termohon bilang bahwa ada CCTV tapi gambar atau rekaman di lokasi kejadian kurang jelas atau blur, lalu kemudian dikatakan juga tidak cukup bukti sehingga kejadian itu tidak masuk dalam tindak pidana. Ini bom yang meledak bilang tidak cukup bukti, memangnya itu balon gas yang meledak ka?” kata Keogap usai menggelar aksi bisu di depan Pengadilan Negeri Jayapura, Kota Jayapura, Papua, Senin (1/7/2024).
Kasus yang dialami Victor Mambor ini kata dia, merupakan bentuk teror, intimidasi dan kekerasan serta ancaman terhadap kebebasan pers di Tanah Papua.
Keogap dan sejumlah jurnalis lain juga mengatakan, itu kasus ini juga menambah daftar panjang kasus ancaman kebebasan pers di Tanah Papua.
“Teman kita di Merauke dulu dibunuh dan sampai hari ini kasus tidak pernah diselesaikan. Kemudian kasus-kasus teror, intimidasi, kekerasan fisik pers di Jayapura atau secara umum di Tanah Papua itu penanganannya tidak jelas. Kita ditahun lalu jurnalis asli Papua Lucky Ireeuw (Pemred Cepos dan Ketua AJI Jayapura) dan Victor Mambor itu mengalami tindakan teror di mana mobil dirusak orang tak dikenal. itu kasus yang tidak pernah diselesaikan,” kesalnya.
Anggota Aliansi Jurnalis Independen atau AJI Jayapura itu mengatakan bom yang meledak di dekat rumah Victor Mambor dan telah dilaporkan ini harusnya diusut tuntas. Menurutnya, keamanan diri dan keluarga Mambor tidak terjamin dan kenyamanannya terganggu. Upaya melaporkan ke polisi sebenarnya adalah upaya mencari rasa aman, namun yang terjadi kasusnya menguap begitu saja.
“Tapi polisi tiba-tiba bisa mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau SP3 terkait kasus itu. Ini polisi serius? dan apakah ada polisi menganggap bahwa daripada bikin beban kerja polisi terlalu banyak, mending sudah lepaskan atau kasih tinggal saja sudah begitu?” ujar Keogap yang juga Redaktur Media Suara Perempuan Papua itu.
Paskalis Keagop mengatakan persidangan kedua praperadilan itu harusnya mendengarkan tanggapan dari termohon atas laporan pemohon. Kemudian pada selasa nanti, sidang untuk pemohon menghadirkan bukti surat dan saksi. Di sini akan membuktikan bahwa kalau sidang praperadilan itu termohon menolak dan pengadilan seakan mengamininya. Padahal, sidang praperadilan kasus bom molotov di depan rumah Victor Mambor ini sangat penting untuk kebebasan pers di Papua.
“Karena ini bukan atas nama lembaga atau individu tetapi ini kasus pers secara umum di Papua. Kalau polisi menolak atau menghindari penanganan kasus ini, kita jurnalis cari perlindungan ke mana? Tidak adakan, cuma polisi untuk kita bisa mengadu. Jadi kasus ini menjadi penting untuk jadi perhatian bagi pers untuk menjaga kenyamanan diri. Ini persoalan serius bagi keselamatan pers di Papua,” katanya.
Keogap juga menyampaikan dampak jangka panjang jika kasus ini dihentikan penyidikannya. Menurutnya, kasus ini menjadi pengingat bagi setiap wartawan di Papua bahwa untuk selalu mawas diri dalam melaksanakan tugas. Misalnya dulu ada kasus pembunuhan wartawan di Merauke sampai hari ini tidak pernah tuntas polisi mengungkap pelakunya. Kasus bom molotov di depan rumah Victor Mambor ini menjadi peringatan bagi kita setiap individu yang bekerja sebagai wartawan untuk selalu menjaga diri.
“Kasus ini membuktikan secara lembaga kepolisian itu berkewajiban menjaga kenyamanan setiap warga negara, tapi kemudian hari ini dia memberhentikan penyidikan kasus ledakan bom, itu artinya kita pers tidak perlu lagi berharap pergi minta polisi menjamin keselamatan,” ujarnya.
Ia berharap hakim memenangkan aduan dari pihak pemohon agar kasus ini dibuka kembali, karena teror bom ini kasus yang serius yang perlu penanganan polisi untuk memberi kenyamanan bagi pers di Papua.
“Pada kenyataannya kan ada ledakan bom dan ada CCTV di situ, jadi jangan serta merta mungkin ketidaksukaan polisi terhadap individu atau lembaga tertentu kemudian menutup kasus dengan alasan tidak cukup bukti itu yang tidak boleh,” ujarnya.
Sementara, Ketua Asosiasi Wartawan Papua atau AWP, Elisa Sekenyap mengatakan, jika dilihat dari bukti bukti CCTV, lalu serpihan ledakan bom atau bukti-bukti lain seharusnya hal itu masih bisa ditelusuri lagi, tetapi kemudian ada surat SP3 yang dikeluarkan, ini menjadi tidak tepat.
“Tadi termohon sampaikan kasus ledakan bom itu terjadi di jalan jauh dari rumah, jadi itu tidak ditujukan ke rumah dalam hal ini jurnalis Senior Victor Mambor. Kami mau ini perlu dicek secara pasti. Kalau mereka sampaikan seperti itu mereka harus memastikan apakah itu hanya sekadar di jalan atau ditujukan kepada siapa? Harus mengecek secara pasti,” kata Elisa yang juga sebagai koordinator pengawalan sidang praperadilan itu.
Elisa Sekenyap mengatakan, solidaritas wartawan di Tanah Papua akan tetap mengawal kasus praperadilan ini.
“Kalau jurnalis sekelas Victor Mambor saja diteror begitu, apalagi dengan kami yang lain. Kami wartawan Papua dukung dan bersama-sama kawal kasus ini, seperti persidangan pertama lakukan aksi bisa dan sekarang juga sampai pada putusan praperadilan nanti,” ujarnya.
Ia berharap proses prapradilan ini berjalan tanpa intervensi pihak lain dan berharap kepada hakim agar setelah menganalisa semua keterangan dalam persidangan betul-betul memutuskannya sesuai dengan hati nurani, agar proses penyelidikannya bisa dilanjutkan.
“Ini dilakukan supaya tidak terjadi lagi kasus-kasus serupa. Dan tidak boleh terjadi pembiaran dan pengabaian seperti itu,” ujarnya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!