Jayapura, Jubi – Berdasarkan survei Sakernas pada Agustus 2023, Tingkat Pengangguran Terbuka atau TPT di Provinsi Papua berada pada posisi kedua terendah se-Indonesia. Survei tersebut mencakup 29 kabupaten dan kota di Provinsi Papua sebelum dimekarkan menjadi Daerah Otonomi Baru (DOB).
Hasil survei itu disampaikan Fransiska Engeline Moko, Statistisi Ahli Muda BPS (Badan Pusat Statistik) Papua saat Webinar Edukasi Statistik dengan topik “Pengangguran dan Tantangan Pembangunan Ketenagakerjaan di Provinsi Papua” pada Jumat (19/4/2024).
Fransiska Engeline Moko mengatakan dari 34 provinsi yang disurvei ternyata Tingkat Pengangguran Terbuka provinsi di Papua tergolong cukup rendah, yaitu menempati posisi kedua terbawah setelah Sulawesi Barat.
“Kalau kita lihat sekilas ternyata TPT atau orang-orang yang menganggur di Papua itu kecil. Bahkan TPT pada 2023 menurun dibanding 2022, dari 2,83 persen menjadi 2,67 persen,” kata Fransiska yang akrab dipanggil Imo.
Tingkat Pengangguran Terbuka di Papua itu dibagi beberapa karakteristik. Pertama, TPT menurut wilayah di Provinsi Papua, yaitu 29 kabupaten dan kota yang dibagi secara umum berdasarkan topografi di Papua, yaitu pesisir dan pegunungan.
Sebagian besar wilayah pesisir memiliki tingkat pengangguran di atas angka provinsi dan sebagian besar wilayah pegunungan memiliki TPT di bawah angka provinsi. TPT tertinggi berada di Kota Jayapura sebesar 10,76 persen, sedangkan TPT terendah berada di Kabupaten Nduga sebesar 0,05 persen.
“TPT kita di Papua rendah, terutama di wilayah pegunungan, kenapa? Karena orang-orang di wilayah pegunungan mayoritas bekerja sebagai pekerja keluarga tak dibayar,” ujar Imo.
Pekerja semacam itu dalam ekonomi dikategorikan berproduktivitas rendah atau tidak memberikan output untuk kegiatan ekonomi, walaupun mereka dikategorikan bekerja.
Karakteristik kedua adalah TPT menurut jenis kelamin. Meskipun TPT untuk laki-laki di Papua lebih tinggi dari perempuan, tetapi perbedaannya tidak mencolok. Pada Agustus 2023, TPT laki-laki sebesar 2,82 persen, sedangkan perempuan sebesar 2,44 persen dari seluruh angkatan kerja.
“Artinya, dari 100 orang angkatan kerja laki-laki yang ada di Provinsi Papua, dua atau tiga orang di antaranya menganggur, kira-kira seperti itu bila disederhanakan,” ujarnya.
Kemudian TPT berdasarkan share penganggur terhadap total pengangguran menurut jenis kelamin dan kelompok umur. Dari total angka pengangguran, persentase penganggur laki-laki jauh lebih tinggi sebesar 63,71 persen daripada perempuan. Ia mengumpamakan dari 100 penganggur, 63-64 orang di antaranya berjenis kelamin laki-laki. Lalu menurut kelompok umur, persentase penganggur terbanyak ada pada usia 20-24 tahun.
Imo mengatakan, kelompok umur menjadi salah satu karakteristik yang perlu diperhatikan. “Berbicara tenaga kerja, kelompok umur berhubungan erat dengan produktivitas. Jadi ketika orang yang berusia muda, kecenderungannya produktivitasnya tinggi dibanding orang-orang yang sudah berumur 45, 50, 60 tahun ke atas,” katanya.
Berikutnya TPT menurut jenjang pendidikan. TPT tertinggi berada pada pendidikan menengah, yaitu SMA umum dan kejuruan. Sedangkan TPT terendah berada pada penduduk berusia 15 tahun ke atas yang tidak atau belum menamatkan pendidikan SD.
“Dari hasil Sakernas, dari 100 angkatan kerja yang tamat SMA, enam di antaranya menganggur. Sebaliknya, TPT terendah adalah mereka yang tidak atau belum menamatkan pendidikan SD. Jadi, angkatan kerja yang tidak atau belum tamat SD itu sedikit yang menganggur,” ujarnya.
Salah satu faktor yang mempengaruhi hal tersebut, menurut Imo karena pendidikan rendah cenderung membuat orang tidak pilih-pilih pekerjaan dan cenderung banyak mengambil pekerjaan yang produktivitasnya rendah.
“Orang yang pendidikannya rendah, kecenderungannya produktivitasnya rendah, dan dia mau menerima pekerjaan apa saja yang tersedia di lapangan atau di pasar kerja. Selama dia masih bisa kerja, selama dia masih makan, dia mau melakukan apa saja, termasuk pekerjaan-pekerjaan yang produktivitasnya rendah, pekerja informal yang upahnya rendah dan waktu kerja cepat atau di bawah jam kerja normal,” katanya.
Sedangkan yang berpendidikan tinggi cenderung lebih punya posisi tawar sehingga memilih mencari pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka.
“Sehingga mereka menunda untuk mendapatkan pekerjaan sampai mereka dapat pekerjaan yang benar-benar diinginkan atau sesuai gajinya, pendidikannya, kondisi kerjanya. Itulah kenapa orang berpendidikan rendah, TPT-nya juga rendah,” katanya.
Selanjutnya, share penganggur menurut pendidikan. Persentase TPT tertinggi ada pada orang-orang yang berpendidikan SMA/sederajat. Dari 100 penganggur di Papua, 46-47 orang di antaranya berpendidikan SMA/sederajat. Hal ini sejalan dengan TPT tertinggi berada pada pendidikan menengah, begitu juga dengan share pengangguran menurut pendidikan.
Lalu, TPT penganggur muda. Hasil Sakernas menunjukkan TPT untuk penduduk berumur 15-24 tahun pada tahun 2023 di Papua mencapai 8,63 persen. Dari 100 angkatan kerja usia muda, ada sekitar 8-9 orang yang tidak bekerja atau sedang mencari kerja atau menganggur.
Sedangkan menurut jenis kelamin, TPT laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Namun selisihnya tidak terlalu jauh. TPT laki-laki usia 15-24 tahun pada 2023 mencapai 8,85 persen dan TPT perempuan usia 15-24 tahun 2023 mencapai 8,31 persen.
Selanjutnya, share terhadap total penganggur. Dari 100 penganggur di Papua, 49-50 orang berumur 15-24 tahun. Sementara share terhadap total penduduk muda, dari 100 penduduk berumur 15-24 tahun, sekitar 4-5 orang di antaranya merupakan penganggur.
Indikator lainnya adalah rasio TPT umur muda (15-24 tahun) terhadap TPT umur dewasa (25+ tahun). Hasil Sakernas Agustus 2023 menunjukkan rasio terhadap TPT usia muda sebesar 5,41 persen. Artinya, TPT kelompok umur muda lima kali lipat lebih tinggi daripada TPT dewasa.
“Jadi, cukup besar sumbangan penganggur muda terhadap penganggur di Provinsi Papua,” kata Imo.
Orang-orang yang setengah menganggur
Selain indikator pengangguran, ada pula indikator tingkat setengah pengangguran. Tingkat setengah pengangguran adalah orang yang bekerja, namun jam kerjanya di bawah 35 jam kerja normal dalam seminggu.
Imo mencontohkan orang bekerja yang merasa upahnya kurang, sehingga dia masih mencari pekerjaan lain. Lalu, ketika ada tawaran kerja yang datang kepadanya, ia bersedia bekerja.
Indikator tingkat setengah pengangguran bertujuan mengukur jumlah orang setengah menganggur dibandingkan dengan orang yang bekerja. Perbedaanya dengan TPT, yaitu pembandingnya adalah angkatan kerja, sedangkan tingkat setengah pengangguran pembandingnya adalah orang yang bekerja.
“Secara total angka setengah pengangguran di Provinsi Papua pada 2023 sebesar 4,39 persen, artinya dari 100 orang bekerja, sekitar 4-5 di antaranya setengah pengangguran. Persentasenya, untuk laki-laki yang bekerja sebesar 4,53 persen sedangkan perempuan sebesar 4,18 persen,” katanya.
Selanjutnya, share setengah pengangguran terhadap angkatan kerja sebesar 4,28 persen. Artinya dari 100 orang angkatan kerja di Papua, 4 orang di antaranya merupakan setengah penganggur. “Jadi mereka masih belum puas dengan pekerjaannya yang mereka lakukan sekarang,” ujar Imo.
Dilihat dari tingkat pendidikannya, lebih dari 60 persen setengah penganggur di Papua berpendidikan rendah. Rinciannya, pendidikan tinggi 7 persen, pendidikan menengah 30 persen, dan pendidikan dasar ke bawah 63 persen. (*)
Discussion about this post