Jayapura, Jubi – Pasca pemekaran provinsi, Provinsi Papua kehilangan banyak Produk Domestik Regional Bruto atau PDRB. Pemerintah Provinsi Papua dan pemerintah kabupaten/kota didorong untuk lebih inovatif dalam memacu pertumbuhan ekonomi Papua dengan memberdayakan berbagai potensi yang tersisa di wilayahnya.
Kepala Pusat Studi Pembangunan Ekonomi Inklusif dan Pengentasan Kemiskinan Papua, Lembaga Peneliti dan Pengabdian Masyarakat LPPM Universitas Cenderawasih, Prof Dr Julius Ary Mollet SE MBA MTDev DipLED PhD mengatakan ada beberapa hal yang harus dibenahi, khususnya mencari lokomotif baru untuk memacu pertumbuhan ekonomi di Provinsi Papua. Hal itu penting untuk menggantikan kontribusi sektor pertambangan terhadap PDRB Papua yang hilang karena lokasi wilayah kerja PT Freeport Indonesia yang kini masuk dalam wilayah Provinsi Papua Tengah.
“Kita bisa membuat exit strategy [dari sektor] yang selama ini kita banggakan [sebagai penopang PDRB Papua], yaitu pertambangan. Coba kita gali sektor-sektor lain, salah satunya kembali ke jati diri yaitu pertanian,” kata Profesor Julius di Kota Jayapura, Senin (1/7/2024).
Data Badan Pusat Statistik atau BPS Provinsi Papua menunjukkan nilai PDRB Papua 2023 (atas dasar harga konstan 2010) hanya mencapai Rp49.552,73 miliar. Angka itu turun drastis dibandingkan nilai PDRB Papua 2022 (atas dasar harga konstan 2010) yang mencapai Rp172.907,29 miliar.
Nilai PDRB Papua 2023 itu bahkan lebih kecil dibandingkan nilai PDRB Papua 2019 (atas dasar harga konstan 2010) yang mencapai sebesar Rp134.565,89 miliar. Gara-garanya, pemekaran Provinsi Papua membuatnya kehilangan kontribusi sektor pertambangan PT Freeport Indonesia, salah satu penyumbang terbesar PDRB Provinsi Papua sebelum pemekaran provinsi pada 2022.
Produk Domestik Regional Bruto atau PDRB pada tingkat regional (provinsi) menggambarkan kemampuan suatu wilayah untuk menciptakan output (nilai tambah) pada suatu waktu tertentu. Dengan kata lain, kinerja perekonomian Provinsi Papua saat ini berada pada level yang jauh lebih rendah dibandingkan periode 2022. Masalah itu hanya dapat diatasi jika Pemerintah Provinsi Papua bisa menumbuhkan berbagai sektor perekonomian baru, sesuai potensi yang tersisa di wilayahnya.
Pertanian, kelautan, pariwisata
Profesor Julius menyatakan potensi Papua untuk mengembangkan sektor pertanian sangat menjanjikan. Akan tetapi, upaya memacu pertumbuhan sektor pertanian berhadapan dengan masalah klasik di Papua, yaitu supply chain atau rantai pasok.
Menurutnya, Pemerintah Provinsi Papua bisa mengembangkan green economy atau ekonomi hijau dengan mencari komoditas unggulan yang dapat mendongkrak perekonomian di Papua. “Apabila para gubernur baik di provinsi induk dan Daerah Otonom Baru berdiskusi dalam satu bahasa, [mereka bisa menyepakati] bagaimana produksi pertanian berkelanjutan, bagaimana mama-mama Papua jual kopi, olahan sagu mampu diterima hingga ke konsumen akhir,” katanya.
Sektor kelautan di Provinsi Papua juga bisa dikembangkan lebih lanjut, khususnya di kawasan Kabupaten Biak Numfor dan sekitarnya. Sektor pariwisata juga bisa menjadi penggerak baru pertumbuhan ekonomi Papua.
Julius mengusulkan agar Pemerintah Provinsi Papua memadukan berbagai perhelatan pariwisata di Provinsi Papua, demi memudahkan wisatawan yang ingin berkunjung ke Papua. Menurutnya, jadwal iven pariwisata di Papua sangat berjauhan, sehingga mengurangi daya tarik orang yang potensial berwisata ke Papua.
Festival Danau Sentani (FDS) dapat dikelola secara terpadu dengan Biak Sail misalnya. Jadwal pelaksanaan kedua iven itu dapat dibuat berdekatan, atau bahkan kedua iven itu ditawarkan sebagai satu paket wisata ke Provinsi Papua.
“[Itu] bisa membuat orang dari luar Papua tidak harus mengeluarkan uang banyak [jika] ingin menyaksikan festival budaya di Papua, hanya karena jadwalnya yang terlalu berjarak. Orang luar negeri sangat menghargai sesuatu yang orisinal, makanya mereka lebih berkaca ke Papua,” katanya.
Ia juga menyarankan Pemerintah Provinsi Papua terus mendorong pertumbuhan industri kreatif yang berbasis Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). “Contoh saja dalam pengelolaan [kerajinan] kulit kayu, saya lihat saat pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional XX Papua saja, Mama-mama Papua mendapat binaan dari perbankan,” katanya.
Menurut Profesor Julius tidak ada “jalan ajaib” dalam meningkatkan ekonomi Provinsi Papua. Seberapa besar PDRB Papua akan bergantung kepada seberapa besar konsumsi dan investasi yang ada di Papua.
Artinya, jika banyak pabrik di Papua orang bisa bekerja di dalamnya, masyarakat juga mendapat penghasilan. Namun memang untuk menuju investasi itu, ada dua hal yang membuat sedikit tersendat yaitu ongkos produksi dan juga hak ulayat.
“Tentunya untuk mendatangkan investasi harus dibenahi dulu mengenai hak ulayat. Kalau kita mau ekonomi Papua maju selain [dengan] bergantung kepada [sektor] tambang, investasi harus dibuka. Masalah yang paling serius [yang dihadapi untuk mendorong] investasi [adalah] mengenai sumber daya manusia. Yang penting, investasi harus ada, ditopang oleh tenaga kerja yang profesional di Papua,” katanya.
Ia juga menekankan bahwa perekonomian Provinsi Papua tetap bisa tumbuh kendati kehilangan kontribusi sektor tambang yang signifikan. Kuncinya, memastikan sumber daya manusia di Papua siap mengelola berbagai potensi alam selain tambang.
“Ketika buka investasi, sumber daya manusianya ada tidak, jangan sampai mengambil tenaga dari luar Papua lagi. [Jika itu terjadi lagi], itu yang akan terus menjadi persoalan,” katanya.
Optimis bakal lebih baik
Masalahnya, pemekaran Provinsi Papua pada 2022 bukan hanya membuat PDRB Papua anjlok. Pemekaran itu juga membuat besaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Papua dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) anjlok.
Data laman internet resmi Pemerintah Provinsi Papua, noken.papua.go.id menunjukkan APBD-Perubahan Provinsi Papua tahun 2021 mematok target Pendapatan Daerah senilai Rp14,675 triliun, dan berhasil terealisasi Rp13,886 triliun. Kini, Pendapatan Daerah dipatok “hanya” Rp2,739 triliun (realisasi sampai Mei 2024 Rp700,6 miliar).
Hal serupa juga terjadi pada PAD Papua. APBD-Perubahan Provinsi Papua tahun 2022 mematok target PAD Rp2.115 triliun, dan terealisasi realisasi Rp2,226 triliun. Kini, APBD Provinsi Papua 2024 mematok target PAD “hanya” Rp565 miliar (realisasi hingga Mei 2024 Rp276,35 miliar).
Pengembangan berbagai sektor non tambang untuk memacu PDRB membutuhkan rangsangan berupa proyek ataupun program yang bakal memacu pertumbuhan ekonomi sektor pertanian, kelautan, maupun pariwisata. Tapi itu tidak mudah, karena pemekaran Provinsi Papua juga membuat kemampuan anggaran Pemerintah Provinsi Papua anjlok.
Ketua DPR Papua, Jhony Banua Rouw mengakui jika pemekaran membuat nilai transfer daerah dari pemerintah pusat kepada Pemerintah Provinsi Papua berkurang drastis. Gara-garanya, transfer daerah itu kini harus dibagi pula ke Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan—tiga provinsi baru hasil pemekaran Papua.
Menurut Jhony Banua Rouw, Provinsi Papua memang sedang kekurangan pembiayaan. Namun ia meyakini persoalan itu akan teratasi pada 2025. Beban Pemerintah Provinsi Papua antara lain akan berkurang karena adanya transfer Aparatur Sipil Negara (ASN) kepada pemerintah provinsi baru.
“Sampai dengan tahun ini memang perekonomian Papua belum begitu stabil, masih banyak kekurangan sehingga kita usahakan di tahun depan. Di tahun ini juga kita rencanakan akan menggunakan dana cadangan untuk menjaga atau menyelesaikan masalah-masalah yang ada di provinsi induk selama ini,” katanya.
Jhony menyatakan DPR Papua mendorong APBD Papua 2025 untuk fokus memberdayakan ekonomi dan pendidikan. Dana cadangan senilai Rp300 miliar pun didorong untuk dibelanjakan demi mengungkit ekonomi dan pendidikan di Papua.
“Kita sedang menunggu pihak eksekutif menghitung di anggaran perubahan nanti, namun pada prinsipnya kami dengan pemerintah daerah sedang berkomunikasi,” katanya.
Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Papua, Adriana Helena Carolina mengatakan anjloknya PDRB Papua pasca pemekaran justru bisa dijadikan peluang bagi Papua untuk mengembangkan sektor perekonomian non tambang. “Setelah pemekaran Provinsi Papua, mungkin di Papua Tengah perekonomiannya tinggi karena ada tambang. Tetapi di Papua juga tumbuh dengan sektor-sektor yang selama ini dikelola,” kata Adriana usai menyampaikan rilis data ekspor-impor Papua di Kantor BPS Papua, Kota Jayapura, Papua, Rabu (19/6/2024).
Provinsi Papua memiliki perkebunan kelapa sawit, berbagai ternak, sektor perikanan, juga penggalian batu, maupun sektor konstruksi.
“Sektor industri di Papua juga lumayan banyak, industri kayu, olahan pangan, UMKM, semua itu mendorong industri. Begitu juga air minum dalam kemasan, dan sektor kehutanan sebagai produksi hutan, ekspor, hingga jasa. Ada nilai jual dan nilai tambah [di berbagai sektor itu],” kata Adriana. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!