Jayapura, Jubi – Dewan Adat Papua versi Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua IV mendorong pemerintah pusat untuk berani melakukan dialog damai di Tanah Papua. Dialog damai itu penting untuk menyelesaikan segala persoalan yang dialami Orang Asli Papua.
Ketua Umum Dewan Adat Papua versi Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua IV, Mananwir Yan Pieter Yarangga mengatakan pihaknya belum melihat adanya keseriusan maupun keberanian pemerintah pusat untuk melakukan dialog secara terbuka demi menyelesaikan persoalan di Papua. Yarangga mengatakan pemerintah pusat terkesan hanya maju berdialog dengan pihak yang bisa mengikuti kemauan pemerintah pusat.
“Di kalangan kami, [Dewan Adat Papua] belum melihat ada keberanian pemerintah untuk mendorong segala persoalan di Papua diselesaikan dalam suatu dialog yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, demokratis, [dan] berdasarkan hukum,” ujar Yarangga di Kota Jayapura, Sabtu (14/5/2022).
Yarangga mengatakan kecenderungan pemerintah pusat yang hanya mau berdialog dengan pihak yang mau mengikuti keinginan pemerintah pusat terlihat dalam proses pemekaran yang sedang didorong pemerintah pusat. Pemerintah pusat hanya melibatkan elit politik lokal yang menginginkan pemekaran Papua.
Ia menegaskan akar persoalan Papua hanya bisa diselesaikan dengan dialog damai yang melibatkan semua pihak yang bermasalah. Dialog itu nantinya juga harus bisa disaksikan semua Orang Asli Papua, baik di tingkat daerah, tingkat nasional, dan di tingkat internasional.
Tokoh masyarakat adat Nabire, Herman Sayori mengatakan pemerintah pusat harus segera membuka ruang dialog guna mencari solusi atas persoalan yang terjadi di Tanah Papua. Menurutnya, masyarakat adat di Papua sudah merindukan kedamaian di Tanah Papua, agar mereka bisa hidup sejahtera.
“Kami semua merindukan keamanan, kami semua merindukan ketenangan. Jangan sampai kita semua ada dalam satu ketidaktenangan yang diatur, diskenariokan, dimainkan seperti drama,” katanya.
Sayori mengatakan dialog damai Papua harus membicarakan masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia, dan pembahasannya harus dilakukan secara terbuka. Menurutnya, persoalan pelanggaran Hak Asasi Manusia bukan sebatas pelanggaran dalam bentuk kekerasan terhadap warga, namun juga perampasan tanah dan sumber daya alam.
“Apa pun itu, dialog nanti harus [menjadi] dialog yang bersifat terbuka dan representasi. Jangan hanya dua atau tiga orang baku bicara seperti [orang bicara] di pinggir pantai saja, terus [mengatur] ‘nanti ko bilang ini’ [atau] ‘bilang begitu’,” ujarnya. (*)
Discussion about this post