Jayapura, Jubi – Pengenakan delik makar terhadap para aktivis Papua yang berdemonstrasi secara damai sudah kerap menimbulkan kritik, karena mengkriminalisasi ekspresi damai dengan delik makar yang seharusnya digunakan untuk menghukum pemberontakan bersenjata. Akan tetapi, pengenaan delik makar terhadap para aktivis Papua juga mengungkap hal lainnya—pengabaian hak tahanan dan warga binaan untuk ditahan/dipenjara secara layak, perlakuan diskriminasi, bahkan tindakan kekerasan.
Sejak ditangkap dan ditahan polisi gara-gara mengibarkan bendera Bintang Kejora, Melvin Yobe didera cemas memikirkan sakit TBC yang dideritanya. Yobe didiagnosa sakit Tuberkulosis (TBC) sejak 21 Agustus 2021, dan tengah menjalani pengobatan yang mewajibkan rutin meminum obat selama enam bulan, tanpa putus.
Tapi, di ruang tahanan Markas Kepolisian Daerah (Polda) Papua, Yobe mendapatkan sel yang tidak layak bagi orang dengan penyakit TBC seperti dirinya. “Waktu [di tahanan Polda Papua], kami tidur di lantai. Ruangnya padat, banyak yang suka merokok. Saya takut sakit saya kambuh lagi,” tutur Yobe kepada Jubi, pada Sabtu (15/10/2022).
Deraan hidup itu dialami Melvin Yobe setelah ia dan tujuh temannya mengibarkan bendera Bintang Kejora di GOR Cenderawasih, Kota Jayapura, pada 1 Desember 2021. Usai mengibarkan Bintang Kejora, Melvin dan tujuh temannya—Fernando Waine (25), Devio Tekege (23), Yosep Ernesto Matuan (19), Maksimus Simon Petrus You (18), Lukas Kitok Uropmabin (21), Ambrosius Fransiskus Elopere (21), dan Zode Hilapok (27)—berpawai dari GOR Cenderawasih menuju Kantor DPR Papua.
Saat melintas di depan Markas Polda Papua, Melvin dan teman-temannya menyanyikan yel-yel “Kami bukan Merah Putih, kami bukan Merah Putih, kami Bintang Kejora, baru-baru ko bilang Merah Putih.” Ia dan teman-temannya juga meneriakkan pekik “Papua merdeka, Papua merdeka”.
Sambil berpawai, mereka membentangkan dua spanduk bertuliskan “ Self Determination for West Papua, Stop Militerisme In West Papua” dan Indonesia Segera Membuka Akses Bagi Tim Investigasi Komisi Tinggi HAM PBB ke West Papua. Kedelapan pemuda itu akhirnya tak pernah sampai di Kantor DPR Papua, lantaran ditangkap polisi di depan Markas Polda Papua.
Sejak 2 Desember 2021, Melvin Yobe dan ketujuh temannya ditahan sebagai tersangka kasus makar di rumah tahanan Polda Papua yang pengab dan minim ventilasi udara. Penahanan di rumah tahanan Polda Papua itu berlangsung hingga 31 Maret 2022. “Ketika ditahan di Polda Papua, saya sampaikan ke pihak kepolisian saya harus minum obat. Saya sakit mulai Agustus 2021, saya pasien TBC” ujar Yobe.
Selama ditahan di ruang tahanan Polda Papua, Yobe berulang kali memohon izin untuk berobat. Namun permintaan itu tak segera dikabulkan.
Pada 16 Februari 2022, setelah tiga minggu terus mengajukan permintaan untuk ke rumah sakit karena obat TBC yang harus dikonsumsinya hampir habis, barulah Melvin Yobe diizinkan berobat ke Rumah Sakit (RS) Dian Harapan, Kota Jayapura.
“Jadi waktu itu dari bulan Februari saya sampaikan ke polisi yang jaga ‘Bapak saya sakit begini, jadi harus obat sudah berakhir kemarin, jadi saya harus periksa’. Saya diantarkan ke RS Dian Harapan dan foto dada bulan Februari 2022,” katanya.
Di bawah kawalan ketat anggota Polda Papua, Yobe diantar ke RS Dian Harapan. Namun, begitu ia selesai menjalani pemeriksaan, Yobe langsung dibawa kembali ke ruang tahanan Polda Papua. Ia bahkan belum mendapatkan hasil pemeriksaan kesehatannya, dan tidak tahu apakah ia harus mendapatkan obat lagi atau tidak.
“Entah positif atau negatif hasilnya tidak disampaikan. Sesudah 31 Maret 2022, kami dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Abepura. Itu pun tidak disampaikan hasil [pemeriksaan kesehatan saya], negatif atau positif [TBC], lanjut [minum obat] atau tidak, itu tak disampaikan,” katanya.
Jubi mendatangi RS Dian Harapan untuk mengecek pengakuan Melvin Yobe. Kepala Humas RS Dian Harapan, Edu Dumatubun menyampaikan bahwa Melvin benar melakukan pemeriksaan kesehatan di Dian Harapan pada 16 Februari 2022.
Dumatubun menyatakan waktu itu Yobe menjalani rontgen dada dan diperiksa oleh dokter penyakit dalam. Namun Dumatubun tidak bisa memberitahukan hasil pemeriksaan itu, karena alasan kerahasiaan pasien.
“Itu [riwayat kesehatan] kan rahasia pasien. Dia harus terima, tidak boleh orang lain. Kecuali ada perintah pengadilan, itu bisa [diberikan] sebagai barang bukti,” kata Dumatubun kepada Jubi.
Jubi kemudian menayanakan pernyataan Melvin Yobe yang hingga bebas setelah menjalani masa hukuman pada 27 September 2022 belum juga menerima hasil pemeriksaan kesehatan di RS Dian Harapan. “Dia kalau masih dalam tahanan [harus] ada polisi yang harus datang minta. Kami biasa kirimkan hasilnya. Tapi lihat situasinya. Saya sarankan, dia kan sudah keluar [bebas], dia [bisa] ke sini, cek dan tanya,” ujar Dumatubun.
Kepala Radiologi RS Dian Harapan, Herman Rumanus Hali juga mengonfirmasi bahwa Melvin Yobe menjalani rontgen pada 16 Februari 2022. Ia menyatakan sudah menerima informasi bahwa hasil pemeriksaan tersebut telah dikirimkan ke Polda Papua, tempat Melvin Yobe menjalani penahanan pada masa itu.
“Saya sudah sudah konfirmasi ke Humas [RS Dian Harapan], barang itu [hasil pemeriksaan] sudah dikirim ke Polda Papua,” kata Herman kepada Jubi di ruang Radiologi, pada 28 Oktober 2022.
Kasubdit 1 Keamanan Negara Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Papua, Kompol Sarraju membantah jika pihaknya mengabaikan kondisi kesehatan Melvin Yobe dan kawan-kawannya saat ditahan di Polda Papua. Ia menyatakan selama Melvin Yobe dan kawan-kawannya ditahan di rumah tahanan Polda Papua, kesehatan mereka selalu diperhatikan dan diperlakukan baik.
“Itu kan [mereka] ditahan di rumah tahanan Polda Papua. Kami ada poliklinik yang dekat untuk melakukan pengecekan [kesehatan] tahanan. Kalau ada yang sakit, pasti akan dirawat, bahkan dia tidak perlu menyampaikan. Kita bertanggung jawab atas kesehatan mereka,” kata Sarraju kepada Jubi, pada 28 Oktober 2022.
Sarraju membantah bahwa permintaan Melvin Yobe untuk berobat baru ditanggapi tiga pekan setelah Yobe mengajukan permintaan itu. Sarraju menyatakan sejak kali pertama Yobe melaporkan kondisinya yang sakit TBC, pihaknya langsung melakukan pengecekan ke rumah sakit Dian Harapan.
“Setelah ditahan, dia menyampaikan kalau dia sakit. Kami cek riwayat [kesehatan Melvin Yobe] ke RS Dian Harapan. Tetapi, sejak Agustus 2021 dia [Melvin Yobe] tidak lagi ikuti anjuran dokter untuk pengecekan di Rumah Sakit Dian Harapan,” ujar Sarraju.
Sarraju menyatakan pihak Rumah Sakit Dian Harapan mengirimkan riwayat pemeriksaan kesehatan Melvin Yobe yang terdahulu. “Ini dia punya surat dari Dian Harapan. Dia masuk [karena sakit pada] 21 Agustus 2021, dia keluar 26 Agustus 2021,” kata salah satu bawahan Sarraju menunjukkan surat riwayat pemeriksaan Melvin Yobe yang dimiliki polisi.
Sarraju menyatakan setelah pihaknya menerima salinan riwayat kesehatan Melvin Yobe dari RS Dian Harapan, pihaknya memeriksakan kondisi kesehatan Yobe di RS Bhayangkara. “Lalu kita bawa ke RS Bhayangkara. Tidak dirawat inap, dia hanya berobat saja,” ujar Sarraju menjelaskan penanganan kondisi kesehatan Melvin Yobe selama ditahan di rumah tahanan Polda Papua.
Kehilangan jatah makan di LP
Proses penyidikan polisi atas perkara Melvin Yobe, Fernando Waine (25), Devio Tekege (23), Yosep Ernesto Matuan (19), Maksimus Simon Petrus You (18), Lukas Kitok Uropmabin (21), Ambrosius Fransiskus Elopere (21), dan Zode Hilapok (27) yang dijadikan tersangka makar karena mengibarkan bendera Bintang Kejora di GOR Cenderawasih akhirnya selesai. Pada 31 Maret 2022, perkara makar Melvin Yobe dan kawan-kawan dilimpahkan ke Kejaksaan, dan sejak saat itu penahanan Melvin Yobe dan kawan-kawan pun dipindahkan dari rumah tahanan Polda Papua ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Abepura.
Di LP Abepura, Melvin Yobe berusaha memberitahukan kondisi kesehatannya itu kepada petugas dari Poliklinik LP Abepura. “Pada saat kita masuk itu kan dari poliklinik sempat tanya ada keluhan sakit apa? Jadi saya sampaikan keluhan [sakit TBC] ke petugas poliklinik Abepura,” ujarnya.
Yobe pun meminta Poliklinik LP Abepura mengecek hasil pemeriksaannya di Rumah Sakit Dian Harapan, termasuk soal perlu tidaknya ia menjalani pengobatan lanjutan atas sakit TBC yang dideritanya. Tapi, hingga tiga bulan berlalu, ia tak kunjung mendapatkan informasi tentang kondisinya.
Melvin Yobe kemudian kembali menyampaikan keluhannya kepada Petugas Dinas Kesehatan Kota Jayapura yang sedang melakukan penyuluhan kesehatan di Lapas Abepura pada September 2022. “Saya bilang, ‘saya ini pasien TBC yang tidak tahu hasil [pemeriksaan kesehatan saya]. Saya sudah periksa dari bulan Februari 2022, sampai sekarang tidak disampaikan hasilnya’,” tutur Yobe menceritakan upayanya.
Yobe juga berulang kali meminta petugas LP Abepura untuk menahannya secara terpisah, karena khawatir penyakit TBC itu tertularkan kepada kawan-kawannya. Permintaan itu disampaikan Yobe karena ia dan teman-temannya ditahan di ruangan yang sempit dan minim ventilasi udara. Kamar tahanan itu juga dinilai Yobe melebihi kapasitas, karena kamar tahanan yang seharusnya terisi 10 orang dipakai untuk menahan 20 orang.
“Saya sudah sampaikan [kepada] pihak LP Abepura untuk [membuat ruang tahanan] khusus [bagi tahanan] yang sakit TBC. Saya minta dipindahkan, karena takutnya penyakit itu tertular kepada teman-teman lain,” katanya.
Namun, permintaan Yobe tidak ditanggapi. Ia bahkan dituduh hanya mencari alasan-alasan untuk kenyamanan dirinya. “Petugas menanggapi ‘kok ini alasan tinggal sendiri’. Pokoknya, mereka menilai atau berpikir yang tidak-tidak begitu,” katanya.
Selain merasa kondisi kesehatannya diabaikan, Melvin Yobe juga merasa ia dan tujuh pengibar Bintang Kejora yang dijadikan tersangka makar telah didiskriminasi. Yobe mengaku pernah 12 hari tidak diberikan makan oleh petugas LP Abepura, gara-gara ia kehilangan ompreng atau wadah makannya.
“Itu kejadian akhir bulan April 2022. Saya hitung sampai dua belas hari tidak dikasih makan. Dong tidak mau kasih makan dari petugas dapur,” katanya.
Melvin menuturkan ompreng miliknya hilang usai makan pagi. Saat itu, setelah sarapan pagi di sebuah hari Sabtu, ia mencuci dan meletakkan ompreng di tempat biasa di dalam sel. Setelahnya, Yobe keluar beraktivitas di luar kamar. Menjelang makan siang ia kembali ke selnya, untuk mengambil ompreng yang ternyata sudah hilang.
“Setiap ompreng ditulis dengan nama masing-masing. Saya laporkan [kehilangan itu] ke pos. Dari pos sampaikan, ‘ini hari Sabtu, jadi Melvin ambil baskom, bawa ke dapur. Nanti hari Senin baru kita ganti ompreng baru’. Begitu,” katanya.
Yobe pun menuruti saran itu, dan mengantre makanan dengan baskom. Sabtu siang itu, ia mendapat jatah makan seperti biasa, petugas di dapur tak mempersoalkan Yobe yang mengantre makanan memakai baskom.
Menjelang makan malam, Yobe kembali melaporkan omprengnya yang hilang, karena sudah ada pergantian gilir jaga petugas LP. Sayangnya, petugas LP Abepura yang tengah gilir jaga tidak mengizinkan Yobe mengantre makanan dengan baskom. Petugas itu justru menyuruh Yobe kembali ke kamar, sehingga ia tidak mendapatkan jatah makan malamnya. “Dong suruh saya balik begitu,” ujarnya.
Esok harinya Melvin kembali melapor dan mengantre untuk mengambil makanan. Ia tidak digubris petugas, dan tidak mendapatkan jatah makanan. Yobe mengaku sempat melontarkan kalimat ia masuk penjara bukan karena ingin mencari makanan. “Saya masuk bukan karena makan,” katanya.
Yobe memilih menahan diri, selama 12 hari ia berbagi makanan dengan sesama tahanan dan warga binaan LP Abepura. Terkadang ia bahkan berpuasa. “Kalau makan itu teman-teman bagi begitu. Terkadang saya fokus doa dan puasa. Kalau makan teman-teman biasa kasih,” ujarnya.
Untuk sarapan pagi warga binaan mendapat jatah bubur, terkadang singkong, petatas dan jagung. Setiap warga binaan memperoleh satu buah singkong, petatas dan jagung. Sedangkan makan siang mendapat menu nasi, sayur terong, ikan asin, tahu, tempe, ayam. Sementara malam menunya ikan atau ayam. “[Kami] paling sering [dapat lauk] ikan asin,” katanya.
Akhirnya kesabaran Yobe habis, dan ia nekat membuat unggahan Facebook tentang jatah makan di LP Abepura. “Kami sampaikan ke media sosial, bahwa ada diskriminasi terjadi di LP Abepura. Dari situ, baru kami semua punya ompreng diganti baru,” ujarnya.
Yobe bukan satu-satunya tahanan pengibaran Bintang Kejora yang diabaikan. Zode Hilapok, salah satu teman Yobe yang ikut mengibarkan bendera Bintang Kejora di GOR Cenderawasih pada 1 Desember 2021 bernasib lebih buruk lagi. Sakit TBC yang diderita Hilapok bahkan semakin memburuk ketika ia ditahan di LP Abepura.
Lantaran karena terus sakit, oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jayapura pada 17 Mei 2022 memerintahkan berkas perkara Hilapok kemudian dipisahkan dari Melvin Yobe dan enam pengibar bendera Bintang Kejora lainnya.
Sementara Melvin Yobe dan enam pengibar bendera Bintang Kejora diperiksa di Pengadilan Negeri Jayapura, Zode Hilapok menjalani pembantaran untuk perawatan sakitnya di RSUD Dok 2 Jayapura. Namun, setelah dibantarkan kondisi Hilapok tidak kunjung membaik.
Kepala LP Abepura, Sulistyo Wibowo membantah pengakuan Melvin Yobe yang merasa kondisi kesehatannya diabaikan dan mengalami diskriminasi. Sulistyo menyatakan semua tahanan dan warga binaan diperlakukan sama, dan tidak ada yang diistimewakan.
Ia menyampaikan semua warga binaan mendapatkan jatah makanan. Sulistyo membantah pernyataan Yobe tidak diberikan makanan selama 12 hari. Menurut Sulistyo, apabila Yobe tidak diberikan makan selama itu, kemungkinan Yobe tidak akan bertahan di dalam LP Abepura.
“Itu tidak benar. Kalau tidak dikasih makan sampai dua belas hari dia [Melvin Yobe] bisa mati,” kata Sulistyo kepada Jubi, pada Selasa (25/10/2022).
Sulistyo menyampaikan pihaknya juga selalu memperhatikan kondisi kesehatan para tahanan dan warga binaan. Ia menyampaikan setiap tahanan dan warga binaan yang sakit akan ditempatkan di blok khusus dan ditangani dokter.
“Kami pisahkan yang sakit kemungkinan menular dengan yang tidak. Kami disini tetap memberikan pelayanan terbaik [bagi tahanan dan warga binaan]. Kalau ada kekurangan, pasti ada kekurangan. Tapi kami sedang membenahi,” kata Sulistyo.
Dipukul sipir mabuk
Pengabaian kondisi kesehatan yang dikeluhkan Yobe bukan satu-satunya deraan yang dialami para tahanan makar di Papua. Intimidasi, bahkan tindakan kekerasan, juga membayangi mereka.
Maksimus Simon Petrus You, salah satu pengibar bendera Bintang Kejora di GOR Cenderawasih, mengalami kekerasan secara fisik ketika ditahan di LP Abepura. Peristiwa pemukulan itu terjadi di dalam sel tahanan LP Abepura pada 29 Juli 2022.
Petang itu, sekitar pukul 18.00 – 19.00 WP, Maksimus Simon Petrus You pulang dari ibadah bersama para tahanan dan warga binaan lainnya. Seperti tahanan dan warga binaan lainnya, You pun digelandang kembali masuk ke dalam selnya.
“Waktu kejadian, kami selesai pulang ibadah. Kami dikunci kembali [di dalam sel]. Setelah pulang dari ibadah, tiba-tiba salah seorang petugas dari kamar tiga [masuk] ke kamar empat,” kata You menceritakan kembali peristiwa yang dialami kepada Jubi, pada Sabtu (15/10/2022).
Petugas diduga dalam pengaruh minuman beralkohol meneriaki You dan Tekege dari balik pintu sel. Petugas tersebut menuduh You dan Tekege mengisap ganja.
“Dia keluarkan bahasa ‘Kalian di dalam sini mau isap ganja kah?’ Saya langsung menjawab, ‘Bapak, kami ini selesai ibadah, jadi kami ini anak-anak suci’. Dengar bahasa begitu, petugas panggil petugas lain yang pegang kunci, buka pintu kami,” ujarnya.
You terus membantah tuduhan bahwa ia menghisap ganja. Petugas itu akhirnya memasuki sel You, dan memukulnya. Akibat pukulan itu, pelipis mata kanan Maksimus You bengkak, dan bibirnya terluka.
“Bapak dia masuk, langsung pukul saya. Kepala belakang saya terbentur dan bibir saya ada pecah, dia pukul saya satu kali. Saya cium bau alkohol dari mulut petugas,” kata You. Butuh dua minggu baru bekas pukulan sembuh.
Kepala LP Abepura, Sulistyo Wibowo menyampaikan pemukulan terhadap You itu dilakukan oleh petugas LP Abepura berinisial RM. Menurut Sulistyo, RM dalam pengaruh minuman beralkohol saat memukul You.
Sulistyo menyatakan RM telah diberikan sanksi dengan ditarik dari tugas pengamanan di Lembaga Pemasyarakatan Abepura. “Kami ajukan pindah tempat tugas ke Kantor Wilayah Kemenkumham Papua,” kata Sulistyo kepada Jubi, pada Selasa (25/10/2022).
Divonis bersalah
Proses persidangan perkara makar Melvin Yobe dan kawan-kawannya di Pengadilan Negeri Jayapura pun berjalan alot. Sidang berulang kali tertunda gara-gara kondisi kesehatan Zode Hilapok yang terus memburuk. Proses persidangan baru bisa dilanjutkan setelah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jayapura pada 17 Mei 2022 memerintahkan berkas perkara Hilapok kemudian dipisahkan dari Melvin Yobe dan enam pengibar bendera Bintang Kejora lainnya.
Dengan penetapan itu, Melvin Yobe menjalani persidangan bersama Fernando Waine, Devio Tekege, Yosep Ernesto Matuan, Maksimus Simon Petrus You, Lukas Kitok Uropmabin, Ambrosius Fransiskus Elopere. Sementara Zode Hilapok tidak ikut menjalani persidangan, dan Majelis Hakim yang diketuai RF Tampubolon SH bersama hakim anggota Iriyanto T SH dan Thobias B SH memerintahkan pembantaran Hilapok untuk dirawat di rumah sakit.
Pasca itu, sidang beberapa kali tertunda lagi, karena Jaksa Penuntut Umum kerap kali tidak menghadirkan Melvin Yobe dan keenam pengibar bendera Bintang Kejora di ruang sidang. Melvin Yobe dan kawan-kawan hanya bisa mengikuti persidangan itu secara daring dari LP Abepura.
Melvin Yobe dan kawan-kawan mengeluh tidak bisa menyimak keterangan para saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum. Majelis Hakim yang diketuai RF Tampubolon SH bersama hakim anggota Iriyanto T SH dan Thobias B SH sampai harus memindahkan persidangan ke LP Abepura, demi memastikan Melvin Yobe dan kawan-kawan bisa mengikuti persidangan dan mendengar keterangan para saksi jaksa.
Dalam sidang pemeriksaan terdakwa pada 4 Agustus 2022, Melvin Yobe menyatakan tujuan aksi mereka adalah menyampaikan pesan bahwa ada konflik yang sedang terjadi di Papua, dan hal itu membutuhkan perhatian agar konflik ini dapat segera diselesaikan. Aksi pengibar Bintang Kejora juga untuk memperingati hari kemerdekan bangsa Papua.
Melvin Yobe bersama kawan-kawanya mengibarkan Bintang Kejora karena bendara itu merupakan simbol budaya bangsa Papua. Ia mengatakan bendera Bintang Kejora juga diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua Lama).
Bagi Melvin Yobe dan kawan-kawannya, dengan mengibarkan Bintang Kejora, mereka hendak menunjukan bahwa Papua harus merdeka, karena Indonesia telah merampas hak-hak bangsa Papua secara sembunyi-sembunyi. “Dengan mengibarkan bendera Bintang Kejora kami ingin Papua merdeka,” kata mereka.
Usai mengibarkan Bintang Kejora, Melvin Yobe dan kawan-kawanya kemudian berpawai menuju Kantor DPR Papua dengan membawa bendera Bintang Kejora dan dua spanduk yang telah disiapkan. Saat diperiksa majelis hakim, Maksimus Simon Petrus You mengatakan bahwa ia dan teman-temannya berpawai sambil menyanyikan yel-yel “Kami bukan Merah Putih, kami bukan Merah Putih, kami Bintang Kejora, baru-baru ko bilang Merah Putih”. Ia dan teman-temannya juga meneriakkan pekik “Papua merdeka, Papua merdeka”.
Melvin Yobe dan kawan-kawannya pun menegaskan bahwa aksi mereka adalah aksi damai, dan mereka tidak membawa senjata apapun dalam menjalankan aksinya. “Kami berjejer di bahu jalan dan tidak macet. Tidak ada tindakan [kami yang] anarkis, [kami] tidak menyerang aparat,” kata Yobe.
Pada 29 Agustus 2022, Majelis Hakim yang dipimpin RF Tampubolon SH menyatakan Melvin Yobe dan enam kawannya terbukti bersalah melakukan makar. Mereka masing-masing dihukum 10 bulan penjara, dan diwajibkan membayar uang pengganti kerugian negara senilai Rp5.000.
Majelis hakim menyatakan aksi Melvin Yobe dan kawan-kawannya mengibarkan bendera Bintang Kejora dan berpawai ke DPR Papua sambil meneriaki pekikan “Papua Merdeka” dan “Kami bukan Merah Putih, kami bukan Merah Putih. Kami Bintang Kejora. Baru-baru ko bilang Merah Putih” telah memenuhi unsur tindak pidana makar sebagaimana melanggar Pasal 106 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Tindakan Melvin Yobe dan kawan-kawan membentangkan spanduk bertuliskan “Self Determination For West Papua Stop Militerisme West Papua dan “Indonesia Segera Membuka Akses Bagi Tim Investigasi Komisi HAM PBB ke West Papua” juga dinilai memenuhi unsur tindak pidana makar.
“Maka para terdakwa sudah mempunyai niat melepaskan wilayah Papua dan Papua Barat dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Para terdakwa sudah melakukan permulaan pelaksanaan sebagaimana definisi makar dalam Pasal 87 KUHP,” kata Tampubolon membacakan putusan tersebut.
Ketujuh mahasiswa pengibar Bintang Kejora akhirnya bebas setelah menyelesaikan masa hukuman 10 bulan penjara pada 27 September 2022. Hingga hari kebebasannya, Melvin Yobe tetap tidak tahu apa hasil pemeriksaan kesehatannya di Rumah Sakit Dian Harapan pada 16 Februari 2022. Maksimus Simon Petrus You juga tak tahu pasti apa hukuman yang diberikan kepada sipir penjara yang telah memukulnya.
Akan tetapi, yang lebih pahit lagi adalah nasib Zode Hilapok. Ia tetap tidak bisa menjalani persidangan, karena kondisi kesehatannya terus memburuk karena sakit TBC.
Zode Hilapok akhirnya meninggal dunia saat menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Yowari, Kabupaten Jayapura pada 22 Oktober 2022. Sejak menahan Zode Hilapok pada 2 Desember 2021, aparat penegak hukum dari setiap tingkatan gagal memberikan pelayanan kesehatan yang memadai untuk kesembuhan Zode Hilapok, sehingga perkara yang didakwakan kepadanya tidak pernah diadili.
Melanggar Hak Asasi Manusia
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih, Prof Melkias Hetharia SH MH menyatakan pengenaan pasal makar terhadap aktivis Papua pada prinsipnya telah melanggar Hak Asasi Manusia, khususnya hak kebebasan berpikir dan berekspresi. Pasal makar yang dikenakan terhadap Melvin Yobe dan ketujuh kawannya itu adalah pasal buatan Kerajaan Belanda untuk melindungi pemerintahan dan negara Belanda terhadap serangan kudeta dan revolusi, dan dibuat berdasarkan pengalaman revolusi Rusia.
Hetharia menyatakan bahwa pemberlakuan KUHP Belanda di Indonesia berdasarkan asas konkordansi yang kemudian disahkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, mengikuti ketentuan aturan peralihan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pemberlakuan KUHP warisan Hindia Belanda itu tidak mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan filsafat bangsa Indonesia.
“Sejarah pembentukan pasal-pasal makar dalam KUHP Belanda yang menjadi KUHP Indonesia yang tidak mempertimbangkan aspek Hak Asasi Manusia, khususnya hak kebebasan berpikir dan berekspresi. Sehingga penerapan pasal-pasal makar tersebut menindas kepribadian manusia, sekaligus mencederai rasa keadilan,” kata Hetharia kepada Jubi pada 31 Oktober 2022.
Hetharia menyatakan istilah makar yang diatur pada pasal 104, 106, 107, 108, dan 110 KUHP tersebut dalam Bahasa Indonesia telah diartikan sangat luas dan tidak sejalan dengan arti aanslag seperti yang dimaksudkan dalam bahasa Belanda, yang artinya serangan. Serangan dalam pengertian itu sudah tentu menggunakan kekuatan penuh untuk merebut kekuasaan.
“Apabila istilah makar pada pasal-pasal tersebut dimaknai bukan sebagai aanslag atau serangan, maka pasal-pasal tentang makar itu memang bertentangan dengan HAM yang dijamin dan dilindungi dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” ujarnya.
Nyatanya, Melvin Yobe, Zode Hilapok, dan keenam teman mereka bukan satu-satunya aktivis Papua yang berunjuk rasa secara damai namun dijerat dengan pasal makar. Sejak 2013 hingga 2022 setidaknya 44 aktivis Papua didakwa pasal makar. Di antaranya dari data Pengadilan Negeri Jayapura sejak 2013 hingga 2022 berjumlah 31 orang, sedangkan di Pengadilan Negeri Balikpapan pada 2020 ada 7 orang dan Pengadilan Jakarta Pusat pada 2019 terdapat 6 orang.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Papua, Emanuel Gobay yang juga menjadi kuasa hukum bagi Melvin Yobe dan kawan-kawan menilai tuduhan makar yang diberikan kepada aktivis Papua merupakan bagian dari kriminalisasi yang dilakukan secara sistematik dan struktural. “Mayoritas mereka yang mendapat tuduhan makar ini, mereka kan background aktivis HAM, aktivis politik dan lain-lain,” kata Gobay kepada Jubi, pada Selasa (11/10/2022).
Gobay menyatakan bendera Bintang Kejora merupakan simbol budaya orang Papua. Menurut Gobay simbol-simbol budaya itu dijamin dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua). Ia menyatakan salah salah satu lambang budaya orang Papua adalah bendera Bintang Kejora.
“Itu dijamin dalam UU Otsus Papua yang memberikan orang Papua untuk memilih simbol-simbol tertentu yang menjadi lambang budaya. Berkaitan dengan lambang budaya salah satunya adalah bendera Bintang Kejora,” ujarnya.
Gobay menyampaikan pengibaran Bintang Kejora yang dilakukan Mervin Yobe bersama teman-temannya maupun aktivis Papua yang lain merupakan bagian dari desakan agar pemerintah menyelesaikan persoalan politik Papua. “Ini kan mereka sedang meminta Negara segera menjalankan perintah Undang-Undang Otonomi Khusus,” kata Gobay.
Atas dasar itu, Gobay menilai pemakaian pasal makar Pasal 106 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Kedua Pasal 110 ayat (1) KUHP untuk menjerat aktivis Papua merupakan bentuk kriminalisasi. Ia juga menegaskan dari pengibaran Bintang Kejora yang dilakukan Melvin Yobe dan kawan-kawan tidak secara otomatis membuat Papua terlepas dari NKRI, sehingga unsur makar tidak terpenuhi.
Terlepas dari kontroversi pengggunaan pasal makar bagi aktivis Papua yang menyatakan pendapatnya secara damai, perlakuan yang diterima oleh tahanan kasus makar juga dinilai Gobay tidak layak. Gobay yang kerap memberikan pendamping hukum terhadap para aktivis Papua yang disangka atau didakwa makar menyebut kerap kali kliennya diperlakukan secara buruk.
Gobay menuturkan kondisi kesehatan Zode Hilapok paling parah dibandingkan tujuh pengibar Bintang Kejora lainnya, karena sejak ditahan di rumah tahanan Polda Papua hingga dipindahkan ke LP Abepura, Hilapok terus keluar-masuk rumah sakit. Gobay menyatakan selama ditahan di LP Abepura, kondisi kesehatan Hilapok memburuk, berat badannya menurun dengan cepat, dan kurus.
Gobay menyatakan LP Abepura tidak layak menjadi tempat penahanan tahanan yang memiliki riwayat sakit TBC, sebagimana yang diderita Melvin Yobe dan Zode Hilapok. “Setelah kami survei dan membandingkan [kondisi LP Abepura dan] Peraturan Menteri Kesehatan tentang pendoman penangan pasien TBC, [LP itu] tidak termasuk [kategori layak menampung tahanan yang sakit TBC],” katanya.
Gobay menyebut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pendoman Pengobatan Pasien Tuberkulosis menyatakan tempat perawatan pasien tuberkulosis harus terbuka. Tempat itu juga harus memiliki sirkulasi udara dan pencahayaan matahari yang baik.
Gobay menyatakan Permenkes itu juga mengatur agar dinas kesehatan setempat dan maupun rumah sakit menyediakan unit khusus untuk merawat pasien Tuberkulosis. “Kami mengharapkan hakim, jaksa, dan pihak rumah sakit bisa mempraktikkan Permenkes Nomor 67 Tahun 2016,” ujarnya. (*)
Liputan ini didukung Transparency International Indonesia (TII), The European Union dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam program Residen Antikorupsi “Mewartakan Jurnalisme Hukum”.