Jayapura, Jubi – Persetujuan masyarakat adat merupakan syarat mutlak untuk penerbitan izin kegiatan usaha yang dilakukan di wilayah ulayat masyarakat adat. Pendapat itu disampaikan Dr Totok Dwi Diantoro SH MA LLM selaku saksi ahli pihak penggugat dalam sidang gugatan Suku Awyu terhadap izin kelayakan lingkungan yang diterbitkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu atau DPMPTSP Papua untuk PT Indo Asiana Lestari di Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN Jayapura, Kota Jayapura, Papua, pada Kamis (5/10/2023).
Dr Totok Dwi Diantoro SH MA LLM yang merupakan dosen Hukum Lingkungan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang dihadirkan kuasa hukum masyarakat adat Suku Awyu sebagai pihak penggugat dalam perkara itu. Totok menjelaskan prinsip dasar persetujuan masyarakat adat memiliki unsur prior atau utama, sehingga persetujuan masyarakat adat harus sudah ada sebelum pejabat Tata Usaha Negara menerbitkan izin seperti izin kelayakan lingkungan.
[Persetujuan masyarakat adat] sifatnya awal, prior. Itu harus sudah clear and clean sejak awal, sebelum [pejabat Tata Usaha Negara] menerbitkan izin. Jadi, persetujuan [dari masyarakat adat] sudah harus ada sejak awal, dan menjadi dasar [menyatakan] bahwa masyarakat yang akan terkena dampak sudah memahami dan menyadari konsekuensi dari kegaiatan yang akan dilakukan memiliki akibat terhadap kehidupan mereka,” kata Totok dalam sidang Kamis.
Perkara itu terkait izin kelayakan lingkungan yang diterbitkan DPMPTSP Papua untuk perkebunan kelapa sawit PT Indo Asiana Lestari atau PT IAL. Izin yang digugat masyarakat adat Suku Awyu itu mencakup rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit seluas 36.096,4 hektare di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan. Masyarakat adat Suku Awyu selaku penggugat menyatakan izin itu diterbitkan tanpa sepengetahuan mereka.
Gugatan TUN atas izin kelayakan lingkungan perkebunan kelapa sawit itu terdaftar di PTUN Jayapura dengan nomor perkara 6/G/LH/2023/PTUN.JPR. Perkara ini diperiksa dan diadili majelis hakim yang dipimpin Merna Cinthia SH MH bersama hakim anggota Yusuf Klemen SH dan Donny Poja SH.
Saat menyampaikan keterangan sebagai saksi ahli dalam perkara itu, Totok Dwi Diantoro menyatakan persetujuan masyarakat adat itu merupakan prinsip dasar Deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Hak-Hak Masyarakat Adat pada 13 September 2007. Deklarasi itu menyatakan prinsip dasar Free, Prior and Informed Consent atau FPIC sebagai hak masyarakat adat yang berhadapan dengan kegiatan baru yang dilakukan di wilayah ulayat mereka.
“Itu kaitannya dengan eksistensi masyarakat adat atau masyarakat hukum adat yang wilayah adatnya atau ruang hidupnya akan digunakan untuk kebutuhan lain seperti bisnis, usaha, atau sektor pemerintahan. Ketika itu akan terjadi, penting untuk menerapkan prinsip FPIC, ada persetujuan dengan informasi [perkiraan dampak], dan masyarakat adat memberikan persetujuan,” kata Totok.
Totok juga menjelaskan bahwa unsur bebas tanpa paksaan (free), diutamakan (prior), dan persetujuan didasarkan informasi yang layak (informed consent) merupakan satu kesatuan dalam penerapan prinsip FPIC. “Asumsinya [jika persetujuan diberikan oleh pihak yang] diintimidasi dengan ancaman kekerasan, maka prinsip bebas tidak terpenuhi,” kata Totok.
Totok juga menguraikan prinsip dasar penyusunan dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Menurutnya, sebagai dokumen ilmiah yang mengkaji berbagai kemungkinan dampak dari kegiatan/usaha yang direncanakan, penyusunan AMDAL harus dilakukan dengan prinsip kejujuran, validasi data, dan obyektifitas.
Ia menegaskan bahwa penyusun dokumen AMDAL tidak boleh menyembunyikan fakta adanya masyarakat di lokasi yang menolak rencana kegiatan/usaha/proyek. Jika penyusun AMDAL menyembunyikan fakta adanya penolakan masyarakat di lokasi terhadap rencana kegiatan/usaha/proyek, maka prinsip partisipasi dalam penyusunan dokumen AMDAL tidak terpenuhi.
“Asas partisipasi itu berkaitan dengan pembangunan proyek kegiatan atau usaha pada lingkungan akan memiliki konsekuensi yang harus diketahui masyarakat yang akan terkena dampak. Masyarakat harus didengar, diberi ruang untuk mendapatkan tanggapan, dan harus bisa mendapatkan penjelasan. Jika sejak awal [aspirasi yang menolak proyek] dikeluarkan [dari proses penyusunan dokumen AMDAL, tentu aspirasi itu tidak akan diakomodasi. Jika tidak ada ruang partisipasi, tentu [dampaknya] akan lebih buruk,” kata Totok.
Totok juga menegaskan bahwa pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang menilai dokumen AMDAL harus cermat dalam menilai dokumen AMDAL yang diajukan pemrakarsa. “Kalau pejabat Tata Usaha Negara yang memiliki kewenangan untuk memberikan justifikasi rekomendasi AMDAL tidak mencermati dan hanya sekadar memberi persetujuan, maka tidak ada upaya memenuhi prinsip kehati-hatian,” kata Totok.
Dalam persidangan pada Kamis itu, tim kuasa hukum masyarakat adat Suku Awyu juga menambahkan sejumlah alat bukti berupa dokumen. Salah satu alat bukti yang diserahkan adalah bukti P 100 A berupa transkrip video sosialisasi rencana pembukaan perkebunan sawit PT Indo Asiana Lestari kepada masyarakat adat Suku Awyu pada 19 Agustus 2017. Saat itu, sejumlah tokoh adat Suku Awyu telah menyatakan penolakan terhadap rencana perkebunan kelapa sawit PT Indo Asiana Lestari, sehingga terjadi perdebatan dalam sosialisasi itu.
Tim kuasa hukum penggugat juga menyerahkan bukti P 100 B berupa transkrip video yang diambil pada malam hari setelah sosialisasi tanggal 19 Agustus 2017. Dalam video itu, penggugat mendapat ancaman dari pihak lain, sehingga terjadi keributan. Tim kuasa hukum penggugat menyatakan kedua alat bukti yang diserahkan Kamis itu memperkuat kesaksian Rikarda Wome, salah satu penggugat dalam perkara itu.
Majelis hakim kemudian menunda sidang hingga 19 Oktober 2023. Agenda sidang berikutnya adalah pembacaan kesimpulan. (*)