Jayapura, Jubi – Masyarakat adat Awyu, Distrik Fofi, Kabupaten Boven Diogel, Provinsi Papua Selatan melayangkan gugatan izin lingkungan hidup terhadap Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu atau DPMPTSP Provinsi Papua ke Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN Jayapura.
Gugatan ini menyangkut izin lingkungan hidup yang dikeluarkan DPMPTSP Papua untuk perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari atau PT IAL.
Pemimpin marga Woro–bagian dari Suku Awyu, Hendrikus Franky Woro, menyatakan mengajukan gugatan ini lantaran pemerintah daerah diduga menutup informasi tentang izin-izin PT IAL yang konsesinya akan mencaplok wilayah adat mereka.
“Kami masyarakat adat Awyu secara khusus marga Woro di wilayah kami terancam oleh investasi perkebunan kelapa sawit sehingga kami datang untuk memasukan gugatan sehingga pemerintah bisa membantu kami mencabut izin-izin itu,” kata Woro kepada wartawan di Kota Jayapura, pada Senin (13/3/2023).
Franky menyatakan bersama komunitas Cinta Tanah Adat–komunitas paralegal yang beranggotakan warga Suku Awyu–telah meminta penjelasan dari sejumlah dinas, baik di Kabupaten Boven Digoel maupun Provinsi Papua.
Pada Juli 2022, Franky menyampaikan permohonan informasi publik untuk mengetahui perizinan PT IAL. DPMPTSP Papua tak memberikan informasi yang diminta.
“Sehingga dengan harapan kami pemerintah bisa membantu kami untuk mencabut izin perusahaan kelapa sawit sehingga kami bisa hidup aman dan damai,” ujarnya.
Franky khawatir dengan kehadiran perkebunan sawit akan berdampak buruk terhadap kehidupan masyarakat adat Awyu. Menurut Woro, tanah dan hutan merupakan sumber penghidupan bagi masyarakat adat Awyu yakni tempat mencari sumber pangan, obat-obatan, dan penghasilan ekonomi, tapi juga habitat bagi flora dan fauna endemik Papua.
“Ketika hutan kami digusur habis, kami mau kemana. Karena hanya lewat itu kami bisa hidup. Karena tanah adalah nomor rekening abadi kami, tanah adalah identitas jadi diri kami, tanah sumber kehidupan bagi masyarakat adat kami,” katanya.
Franky menyatakan masyarakat adat tidak pernah menolak kehadiran pembangunan di wilayah mereka. Namun, menurut Franky kehadiran PT IAL di wilayah adat mereka tidak pernah melibatkan masyarakat baik itu soal sosialisasi perusahan maupun penyusunan AMDAL.
“Dalam proses AMDAL kami pemilik hak adat tidak pernah dilibatkan. Kami merasa sakit hati. Kami bukan menolak segala bentuk pembangunan namun kami minta kepada investasi atau perusahan datang dengan cara-cara bermartabat,” ujarnya.
Pada November 2021 Dinas Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu Provinsi Papua mengeluarkan izin kelayakan lingkungan untuk perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari atau PT IAL. Izin kelayakan lingkungan hidup itu untuk rencana pembangunan kelapa sawit dengan kapasitas 90 ton TBS/jam seluas 36.096,4 ha oleh PT Indo Asiana Lestari atau PT IAL di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi Kabupaten Boven Diogel, Provinsi Papua Selatan.
Namun, dalam Laporan Greenpeace Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua mencatat, PT IAL mengantongi izin lokasi perkebunan kelapa sawit seluas 39.190 hektar sejak 2017. Perusahaan ini diduga dikendalikan oleh perusahaan asal Malaysia All Asian Agro, yang juga memiliki perkebunan sawit di Sabah di bawah bendera perusahaan East West One. PT IAL memperoleh lahan tersebut dari PT Energy Samudera Kencana, anak perusahaan Menara Group yang sempat bakal menggarap Proyek Tanah Merah di Boven Digoel.
Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua yang mendampingi Marga Woro, Tigor Hutapea, menyatakan izin kelayakan lingkungan hidup dikeluarkan berdasarkan AMDAL yang bermasalah, mengabaikan keberadaan masyarakat adat sebagai pemilik wilayah adat, dan cacat substansi karena tak disertai analisis konservasi.
Menurut Hutapea ini bisa mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup dan hilangnya hak-hak masyarakat adat.
Anggota Tim Kuasa Hukum Advokasi Selamatkan Hutan Papua, Emanuel Gobay, menyatakan sudah ada sejumlah contoh hilangnya hutan-hutan adat di Papua karena pemerintah memberikan izin untuk perkebunan sawit dan industri kayu. Pola-pola seperti ini semestinya dihentikan, karena hanya akan semakin meminggirkan masyarakat adat Papua secara khusus masyarakat adat Awyu.
“Pada prinsipnya yang terlanggar pengakuan atas eksistensi masyarakat adat Awyu dan hak-hak untuk didengar pendapat mereka. Dalam UU Otonomi Khusus Papua itu mengakui eksistensi hak-hak masyarakat adat. Yang terjadi tidak ada pelibatan, tidak ruang perlindungan bagi masyarakat adat,” kata Gobay kepada wartawan.
Sekar Banjaran Aji dari Greenpeace Indonesia menyatakan penerbitan izin kelayakan lingkungan hidup PT IAL diduga melanggar peraturan perundang-undangan, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyusunan AMDAL, dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Menurut Sekar pemberian izin untuk perusahaan sawit ini juga tak sejalan dengan janji pemerintah mengatasi perubahan iklim.
Sekar menyatakan dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC), pemerintah berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 persen dengan kemampuan sendiri dan 43,20 persen dengan dukungan internasional pada 2030. Sementara berbagai informasi resmi menyatakan, salah satu sumber emisi terbesar Indonesia berasal dari alih fungsi lahan dan deforestasi.
“Izin lingkungan PT IAL diperkirakan akan memicu deforestasi di area yang mayoritas lahan hutan kering primer seluas 26.326 hektar. Potensi emisi karbon yang lepas jika deforestasi itu terjadi yakni setidaknya sebesar 23 juta ton CO2. Ini akan menyumbang lima persen dari tingkat emisi karbon pada 2030,” ujarnya.
Sekar menyatakan saat ini marga Woro sedang berjuang bukan hanya untuk mereka tetapi masyarakat adat Papua dan untuk dunia. Ia menyatakan masyarakat adat Awyu tidak hanya berdiri untuk diri sendiri tapi berdiri untuk dunia untuk melawan perubahan iklim.
“Hari ini masyarakat adat melawan investasi yang semena yang ditaruh di atas tanah adat mereka. Ini kontribusi besar bagi penyelamatan dunia mengingat hari ini kita sedang melawan perubahan dunia,” kata Sekar. (*)