*Oleh: Boban Abdurazzaq Sanggei
Papua merupakan salah satu pulau terbesar di dunia setelah Greenland dan Kalimantan. Dengan wilayah seluas itu Papua memiliki banyak sumber daya alam, mulai dari kekayaan mineral, laut, dan hasil bumi. Hal ini yang membuat orang-orang menganggap bahwa Papua adalah surga kecil yang jatuh ke bumi.
Tulisan ini akan fokus membahas seputar Tanah Papua, pangan dan proyek “infrastruktur” yang diagung-agungkan pemerintah sekarang.
Pada umumnya orang Papua bekerja sebagai petani. Tanaman yang ditanam cukup bervariasi, seperti, keladi, pisang, sawi, dan sayuran-sayuran lainnya.
Orang Papua juga sering mengonsumsi sagu yang tumbuh di hutan-hutan. Untuk menambah asupan proteinnya, penduduk pribumi di gunung-gunung dan pantai memiliki cara berbeda. Mereka yang ada di gunung memiliki ternak sendiri. Atau biasanya berburu di hutan. Sedangkan mereka yang hidup di pantai mencari ikan di laut atau sungai.
Dari sini bisa diketahui bahwa pribumi Papua memiliki cara sendiri, untuk hidup dan mendapatkan kebutuhannya. Namun, wilayah yang sangat luas dan sumber daya alam yang melimpah ini bisa membuat orang pribumi Papua khawatir. Karena sejak Orde Baru, tahun 1990, pemerintah memberikan izin pelepasan lahan untuk transmigrasi dan perkebunan, dengan luas sekitar 163 ribu hektare. Luas kawasan ini meningkat seiring bergantinya presiden.
Izin pelepasan lahan ini hanya menguntungkan para pebisnis dan perusahaan perkebunan, karena masyarakat pribumi sebagian besar hidup bergantung pada hutan. Ketika hutannya diratakan, maka masyarakat pribumi akan susah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pemerintah sepertinya menganggap bahwa bisnis ini akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat, karena menambah pendapatan negara. Tentunya pribumi akan dijanjikan pembangunan infrastruktur dan lain-lain. Ini bisa berdampak baik jika pemerintah mengawasi dengan ketat pelaksanaan dan kegiatan perusahaan.
Akan tetapi, faktanya perusahaan melakukan hal-hal curang terhadap masyarakat. Contohnya, mereka menyuap warga setempat dengan uang, serta membawa preman berpakaian tentara atau polisi, untuk mengintimidasi demi mendapat lahan lebih. Hal ini terbukti pada wawancara yang dilakukan pada film dokumenter pendek garapan The Gecko Project.
Masalah ini yang menyebabkan banyak masyarakat pribumi tidak merasa aman. Sehingga banyak dari mereka yang palang jalan atau menghentikan proses kerja perusahaan. Akibatnya, masyarakat kerap kali dianiaya oknum-oknum aparat. Hingga pada akhirnya perusahaan tetap mendapatkan apa yang diinginkannya.

Dari gambaran di atas mungkin kita dapat mengetahui, bahwa masyarakat pribumi Papua sedang mengalami penindasan. Yang disebabkan oleh kurangnya keterbukaan dari pemerintah terkait proses izin pelepasan lahan.
Masalah ini sangat rentan dengan deforestasi yang bisa mengakibatkan banyak hal, misalnya, pemanasan global, punahnya flora dan fauna di Papua, serta tersingkirnya pribumi dari tanah mereka sendiri. Dan ini bisa menjadi salah satu masalah yang harus kita selesaikan, karena kalau kita melihat kajian FWI (Forest Watch Indonesia) periode 2013-2017 angka deforestasi hutan alam Indonesia sebesar 5,7 juta hektare. Menurut saya angka ini terus bertambah hingga tahun 2022.
Ini adalah suatu masalah yang seharusnya kita pelajari dan teliti. Karena dari sudut pandang lain ada yang menganggap bahwa pelepasan lahan ini akan membuat wilayah itu berguna untuk bangsa dan negara. Akan tetapi, dari sudut pandang yang lain menganggap bahwa hutan adalah komponen penting bagi manusia dan makhluk hidup lainnya.
Dan pemerintah akan lebih memakai sudut pandang yang pertama, karena negara Indonesia sangat membutuhkan pendapatan dan tidak lain untuk mengurangi hutang dan meningkatkan pembangunan infrastruktur.
Kalau kita melihat dunia sekarang ini semua negara dengan semangatnya ingin membangun negaranya menjadi negara maju yang memiliki gedung yang tinggi, jalan raya dimana-mana, dan polusi. Otomatis untuk merealisasikannya negara membutuhkan lahan. Hutan di Papua pun menjadi sasaran empuk untuk diratakan.
Indonesia sendiri dikenal sebagai paru-paru dunia. Namun, belakangan terjadi perubahan iklim seiring dengan pelepasan lahan ini.
Pelepasan lahan di Papua akan berdampak besar. Apalagi bagi masyarakat pribumi, yang seiring waktu akan tersingkir dari tanahnya sendiri.
Pemerintah seharusnya lebih peduli terhadap hak dan kebutuhan mereka. Dan lebih mencari cara lain untuk menghasilkan pendapatan negara, daripada meratakan hutan untuk memperkaya perusahaan.
Kalau bisa pemerintah lebih menaati Inpres Nomor 6 Tahun 2017 Tentang Tata Kelola Pemberian Izin Baru di hutan alam primer dan tanah gambut. Kalau tidak permasalahan ini tidak akan selesai sampai hutan di Papua habis.
Dalam Inpres Nomor 6 tahun 2017 sudah dijelaskan, bahwa pemerintah memiliki hak untuk menunda izin baru pelepasan lahan. Dan mengawasi jalannya perusahaan bila terjadi pelanggaran dalam ekspansi lahan terhadap hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi.
Jadi, pemerintah memiliki wewenang lebih terhadap izin pelepasan lahan ini, tetapi yang disayangkan banyak pelanggaran yang dibuat oleh pemerintah dalam menjalankan tugasnya, baik untuk kepentingan negara, maupun untuk kepentingan pribadinya.
Contohnya, kasus di Boven Digoel beberapa tahun lalu sempat mengguncangkan Indonesia, karena perusahaan Korsel dengan sengaja membakar lahan untuk memperluas lahan sawit. Ini sudah diberikan pernyataan dari kepolisian dan Greenpeace, bahwa faktanya perusahaan telah membuat pelanggaran. Tahun 2021 akhirnya Forest Stewardship Council mencabut lisensi merek dagang perusahaan kelapa sawit Korea Selatan untuk sementara.
Setelah melihat berbagai dinamika ini, apa yang didapatkan orang Papua? Perusahaan ekstraktif dimana-mana dan terjadi pembungkaman suara manusia Papua yang melawan perusahaan. Apakah itu yang ingin diberikan negara atau negara ingin meredupkan minat pendidikan manusia Papua atau mungkin keduanya?
Jadi, intinya izin pelepasan lahan ini jika tidak dikontrol dengan baik bisa berdampak buruk bagi masyarakat pribumi dan alam Papua beserta segala isinya. Pemerintah harus lebih mengenal budaya dan pola hidup masyarakat setempat.
Jika pemerintah ingin mengambil tindakan, setidaknya didiskusikan terhadap masyarakat setempat, apakah nanti merugikan mereka atau tidak. Akan tetapi, itu harus berdasarkan etika lingkungan dan adat setempat.
Pembangunan infrastruktur seperti jalan kelihatannya lebih menguntungkan perusahaan ketimbang masyarakat, karena yang memakai jalan itu sepertinya hanya dari pihak perusahaan. Sehingga pembangunan infrastruktur ini tidak akan dimanfaatkan secara baik dan adil. Dari sini timbullah pertanyaan “pembangunan di Papua untuk siapa?”. (*)
*Penulis adalah mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur
