Jayapura, Jubi – Keinginan Pemerintah Indonesia memperluas pengaruh mereka di Kawasan Indo-Pasifik, harus dimulai dengan pemberdayaan di Tanah Papua. Keberhasilan dalam mengelola persoalaan ekonomi dan keamanan di Tanah Papua dapat menjadi kunci utama Indonesia untuk mengambil simpati negara-negara di Indo-Pasifik.
Pernyataan itu disampaikan pengamat hubungan internasional Edwin Martua Tambunan seusai menjadi pembicara pada Konvensi Nasional XV Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII), Jayapura, Rabu (9/10/2024). Dia menyatakan perubahan secara komperehensif dalam pendekatan ekonomi dan keamanan di Tanah Papua dapat memberi citra positif bagi Indonesia.
“Selama ini persoalan keamanan di Papua itu didefinisikan sebagai ancaman terhadap negara padahal masih banyak ancaman lain [bagi Indonesia]. Selain terhadap negara, ada ancaman langsung dirasakan masyarakat [Papua] berupa perubahan lingkungan, serta ketimpangan kesejahteraan dan teknologi,” kata Edwin.
Dia melanjutkan jika Pemerintah Indonesia mampu mengelola ancaman itu dengan baik, akan mendorong perubahan berarti di Tanah Papua. Hal tersebut pun dapat menyakinkan dunia internasional bahwa Indonesia bersungguh-sunguh dalam melaksanakan kewajiban konstitusional mereka terhadap masyarakat Papua.
“Itu mengapa saya katakan Papua menjadi kunci bagi Indonesia dalam memperluas pengaruhnya di Indo-Pasifik. Masyarakat dunia akan yakin Pemerintah Indonesia telah berhasi melakukan perubahan ke arah yang lebih baik [di Tanah Papua],” kata Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pelita Harapan, tersebut.
Edwin pun yakin Konvensi Nasional AIHII di Jayapura menjadi pembuka bagi para ilmuwan hubungan internasional untuk makin mencermati persoalan Papua. Mereka dapat mengkaji dan merumuskan rekomendasi akademik kepada Pemerintah Indonesia dalam memperbaiki pengelolaan persoalan di Tanah Papua.
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia Evi Fitriani mengatakan Indonesia masih memiliki kelemahan dalam membangun hubungan diplomasi di dunia internasional. Penyebab utamanya ialah ketersediaan anggaran.
“Coba cek angggaran Kemenlu [Kementerian Luar Negeri]. Itu [anggarannya] sangat terbatas. Jadi, kita [Indonesia] harus memilih pendekatan lain yang berdampak terhadap kepentingan nasional,” kata Evi, yang juga pembicara pada Konvensi Nasional AIHII di Jayapura.
Konvensi Nasional XV AIHII bertemakan Kontestasi Pendekatan Keamanan Tradisional dan Nontradisional di Kawasan Indo Pasifik. Universitas Cenderawasih (Uncen) menjadi tuan rumah konvensi yang berlangsung pada 9–11 Oktober mendatang tersebut.
“Konvensi Nasional XV AIHII ini merupakan momentum yang tepat bagi para peneliti dan praktisi untuk berkolaborasi. Forum ini dapat melahirkan gagasan-gagasan dan inovasi serta strategi bagi pengambil kebijakan,” kata Rektor Uncen Oscae O Wambrauw, saat pembukaan konvensi.
Konvensi Nasional XV AIHII diikuti sebanyak 74 pakar dan dosen Hubungan Internasional dari 55 perguruan tinggi di Indonesia. Jumlah peserta tersebut melampaui ekspektasi panitia.
“Tadinya, kami kuatir pesertanya di bawah 50 orang. Namun, ternyata jumlahnya mencapai 74 orang dari 55 perguruan tinggi,” kata Ketua Umum AIHII Agus Haryanto. (*)
Percuma pemerintah indonesia melakukan diplomasi di luar negeri kalo ketidak adilan masih saja terus terjadi terhadap orang papua. Pelanggaran ham, pelanggaran lingkungan hidup dan tanah adat, kekerasan oleh aparat keamanan tanpa prosedur peradilan yg benar, dll. Dunia sudah online, apapun yg terjadi di papua takkan bisa di sembunyikan lagi.