Oleh: Florentinus Tebai*
Papua tanah damai yang diimpikan oleh berbagai pihak, termasuk orang asli Papua atau OAP, belum dicapai. Pertanyaannya adalah, mengapa orang asli Papua belum merasakan kedamaian, kebahagiaan, keadilan, dan kesejahteraan?
Pokok pertanyaan seperti ini menjadi pertanyaan paling penting bagi penulis. Tetapi juga bagi pembaca, dalam usaha menulis dan memahami persoalan OAP. Dan eksistensi orang asli Papua di tanah leluhurnya yang dikenal sebagai “Pulau Surga” tetapi kini berubah menjadi “Pulau Neraka” karena konflik dan pelanggaran HAM.
Berkaitan dengan fenomena penderitaan orang asli Papua pada masa kini, maka penulis melihat bahwa aktor utama atau penyebab pertama yang menyebabkan OAP masih hidup dalam kungkungan penderitaan, ketidakadilan, ketidaksejahteraan, ketidakbahagiaan di tanah leluhurnya adalah satu penyebab utama. Yakni integrasi atau aneksasi melalui Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) oleh pemerintah Indonesia atas orang asli Papua pada 1 Mei 1963. Sejak Papua bergabung dengan Republik Indonesia, 1 Mei 1963 pelanggaran HAM terhadap masyarakat sipil terjadi hingga saat ini atas orang asli Papua di Tanah Papua (Magai, 3: 2020).
Penulis hendak mengetengahkan bahwa fenomena konflik dan pelanggaran HAM di Tanah Papua itu tidak hanya dialami oleh OAP pada masa kini. Namun, fenomena penderitaan itu sudah dialami oleh OAP sejak 1963.
Fenomena penderitaan dan penyiksaan, pembunuhan, penangkapan, ketersingkiran, ketidakadilan dan fenomena penderitaan lainnya itu, juga masih dialami oleh orang asli Papua hingga saat ini.
Penulis hendak mengajak pembaca untuk melihat fenomena penderitaan yang dialami oleh orang asli Papua hari-hari terakhir ini. Kita sebut saja beberapa kasus penembakan yang terjadi di Wamena.
Penembakan oleh TNI/Polri terhadap sembilan warga sipil OAP. Kita juga ingat penembakan di Intan Jaya oleh TNI/Polri terhadap warga sipil, yakni Nopelius Sondegau, Yoakim Majau, dan Emeliana Duwitau. Mereka adalah korban penembakan pada operasi militer tahun 2019-2021 yang mengakibatkan konflik pelanggaran HAM. Dan pembunuhan secara brutal dan membabi buta terhadap rakyat sipil OAP dan anak-anak di bawah umur.
Fenomena konflik pelanggaran HAM dan penderitaan OAP yang sudah terjadi maupun yang sedang terjadi ini, hemat penulis, disebabkan karena dua sebab. Pertama, orang asli Papua tidak menganeksasikan diri ke dalam bingkai NKRI atau menolak aneksasi ke dalam pemerintah Indonesia, sehingga menyebabkan berbagai konflik pelanggaran HAM.
Orang asli Papua tidak mengintegrasikan dirinya ke dalam bingkai NKRI, maka orang asli Papua mengambil sikap untuk menentukan sikap dan penentuan nasib sendiri bagi masanya. Sikap inilah yang menjadi titik temu pro-kontra antara pemerintah Indonesia dan orang asli Papua.
Yang kedua, adalah orang asli Papua tidak percaya penuh (full believe) kepada pemerintah Indonesia, sebab, dalam banyak hal tidak memberikan kebahagiaan dan kenyamanan dalam kehidupan orang asli Papua. Kita sebut saja di sini bahwa orang asli Papua, walaupun sudah diberikan Otonomi Khusus berjilid-Jilid, Jilid I-II, masih saja mengalami fenomena penderitaan dalam berbagai bidang dan segi kehidupan. Misalnya, dalam bidang ekonomi, kemiskinan masih dirasakan oleh orang asli Papua.
Dalam bidang kesehatan, fasilitas dan tenaga medis yang kurang memadai. Demikian juga dalam bidang lain seperti pendidikan. Hari ini wajah pendidikan di Papua semakin memburuk dan tidak berjalan secara efektif.
Hukum dan peraturan perundang-undangan NKRI yang tidak memihak kepada orang asli Papua di atas tanah Papua. Kita bisa lihat contoh terdekat yang dialami oleh Viktor Yeimo dan Lukas Enembe Gubernur Provinsi Papua.
Untuk menangani dan menyelesaikan konflik di Tanah Papua ini, maka ada beberapa upaya yang sudah dilakukan oleh berbagai lembaga kemanusiaan, misalnya, ULMWP, dialog dan rekonsiliasi sistem, alam, leluhur, dan manusia. Juga dengan Tuhan yang sudah diupayakan oleh Tim JDRP II yang didorong oleh Tuan Selpius Bobii.
Berkaitan dengan itu, akhir dari tulisan ini penulis juga memberikan dukungan positif dan humanis kepada lembaga-lembaga kemanusiaan yang sudah berjuang. Dalam hal inilah penulis mengajak juga kepada pembaca, terutama pihak NKRI, agar bisa mungkin membuka ruang dialog untuk menyelesaikan konflik pelanggaran HAM yang sudah dan sedang terjadi di atas tanah Papua ini.
Dialog dan rekonsiliasi itu mesti dimediasi dan ditangani oleh pihak ketiga yang netral, seperti PBB, dalam hal ini Dewan HAM PBB untuk menyelesaikan konflik pelanggaran HAM di Papua dan Duta Vatikan untuk Indonesia, dalam hal ini yang bekerja dalam bidang komisi Rekonsiliasi dan Perdamaian Dunia dan bangsa-bangsa yang berkedudukan di Negara Kepausan Roma-Vatikan. (*)
*) Penulis adalah alumnus Sekolah Tinggi Filsafat (STFT) Fajar Timur, Abepura, Jayapura, Papua, yang sedang mengikuti Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Paroki Salib Suci Madi-Paniai
Discussion about this post