Jubi, Merauke – Mega proyek pemerintah bernama Merauke Integrated Rice Estate (Mire) pada 2007, dan Merauke Integrated Food And Energy Estate (Mifee) pada 2010 (era Presiden Bambang Susilo Yudhoyono) gagal dilaksanakan di Tanah Animha (Kabupaten Merauke) Provinsi Papua Selatan.
Program-program ambisius swasembada pangan dan energi dari ufuk timur Indonesia tidak berjalan mulus, tidak sesuai harapan dan tidak menghasilkan pangan/energi dalam jumlah besar. Namun justru meninggalkan luka bagi masyarakat adat Tanah Papua yang mana telah kehilangan hutan dan sumber kehidupannya.
Setelah Mire dan Mifee berlalu, pemerintah di bawah rezim Joko Widodo pada 2017 lalu menjalankan proyek pengembangan pangan skala besar (food estate), yang mana berambisi menjadikan Merauke sebagai daerah lumbung beras di Indonesia maupun di dunia. Ironis, program cetak sawah seluas 1,2 juta hektar ini juga belum menunjukan hasil yang diimpikan.
Belum selesai program cetak sawah, pemerintah di 2024 ini menelorkan kebijakan baru lagi yaitu membangun perkebunan tebu dan industri bioetanol di lahan seluas dua juta hektare di Kabupaten Merauke, Papua Selatan. Sejumlah kementerian, BUMN dan investor dilibatkan dalam mega proyek itu.
Pilot project proyek perkebunan tebu dilakukan oleh PT Global Papua Abadi di atas lahan seluas 506 hektare dengan nilai investasi Rp53.8 Triliun. Lokasi perkebunan berada di Kampung Ngguti Bob, Distrik Tanah Miring. Nantinya juga akan mencakup wilayah Distrik Jagebob dan sekitarnya.
Dengan adanya proyek perkebunan tebu seluas dua juta hektare ini, dapat dipastikan bahwa hutan di Merauke akan kembali “dinodai”. dan masyarakat adat mulai dihantui berbagai kekuatiran.
Walhi: pemerintah cenderung melihat tanah Papua sebagai lahan kosong
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia – Walhi Papua mengecam kebijakan pemerintah pusat membangun perkebunan tebu dan industri etanol di Kabupaten Merauke, Papua Selatan. Walhi Papua menganggap kebijakan itu sebagai bentuk kekerasan negara terhadap masyarakat pemilik ulayat, karena kebijakan yang diambil cenderung top down.
“Nah ini (kebijakan proyek perkebunan) sebenarnya mau menunjukkan bahwa pemerintah ini tidak menghargai masyarakat adat di Merauke. Karena kebijakan itu top down, tanpa persetujuan masyarakat adat selaku pemilik tanah ulayat dan hutan,” kata Direktur Walhi Papua, Maikel Primus Peuki kepada Jubi di Merauke dalam wawancara melalui telpon, Sabtu (18/5/2024).
“Kami melihat proyek-proyek strategis nasional di Papua menjadikan masyarakat adat itu sebagai korban. Proyek-proyek di Merauke dan sekitarnya seperti Mire, Mifee, dan Food Estate itu menunjukkan kegagalan pemerintah yang cukup besar. Dan itu merugikan negara dan masyarakat adat Papua yang telah kehilangan sumber-sumber kehidupannya,” sambung Maikel.
Dia mengatakan bahwa perkebunan tebu di Kabupaten Merauke akan membuat masyarakat adat semakin terpinggirkan. Hal ini berangkat dari pengalaman proyek Mire dan Mifee yang gagal, yang telah memberikan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat dan kerusakan hutan di selatan Papua.
Maikel Primus Peuki juga menyatakan proyek perkebunan tebu itu tidak menunjukkan gambaran positif ke depan, baik itu soal keuntungan negara, di mana pasarnya, keuntungan masyarakat termasuk perhitungan pendapatan nantinya untuk Pemprov Papua Selatan dan Pemerintah Kabupaten Merauke.
“Justru yang terjadi nanti masyarakat punya lahan yang begitu besar, hutan Papua Selatan semakin hari semakin dibabat terus. Ini merugikan masyarakat yang kehidupannya sangat tergantung dengan hutan dan alam. Karena terus menerus terjadi kerusakan lingkungan dan hutan di Papua Selatan,” ujar dia.
Menanggapi pernyataan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia soal tidak perlunya kajian sosio ekologi terkait pembangunan perkebunan tebu di Merauke, Maikel Primus Peuki menegaskan bahwa pendekatan yang dilakukan pemerintah justru brutal.
“Pemerintah cenderung melihat bahwa Papua itu sebagai tanah kosong, Papua itu sebagai lahan untuk mereka bisa menjadikan apa-apa tanpa melihat orang asli Papua atau masyarakat adat itu sebagai pemilik dan pewaris dalam wilayah yang dimaksud,” katanya.
“Itu menunjukkan kejahatan pemerintah seperti orang yang tidak berpendidikan atau seperti kehilangan arah dalam menempatkan proyek-proyek pembangunan tanpa melalui prosedur-prosedur yang harus ditempuh baik oleh pemerintah maupun perusahaan,”
“Kalau menyimak apa yang disampaikan Menteri Bahlil, saya pikir itu sangat keliru. Itu (pernyataan menteri) tidak menunjukkan bahwa pemerintah sebagai pengayom, pelindung dan pedoman bagi masyarakat. Menurut kami pemerintah pusat telah melanggar mekanisme investasi yang dibuat sendiri oleh pemerintah,” lanjut dia.
Maikel Primus Peuki mengatakan Walhi Papua dalam beberapa kesempatan memberikan rekomendasi kepada pemerintah daerah se-Tanah Papua, termasuk Kabupaten Merauke untuk berhenti memberikan ijin lokasi kepada perusahaan-perusahaan baru.
“Karena sepanjang pengalaman investasi yang ada di Tanah Papua ini tidak ada satu pun masyarakat adat Papua sebagai tuan dusun itu sejahtera. Mereka justru kehilangan sumber daya alam, hutan mereka dibabat, kayu-kayu mereka diambil. Masyarakat hidup dalam penindasan dan kemiskinan,” kata dia.
Walhi Papua juga merekomendasikan agar pemerintah pusat juga untuk mengakui keberadaan masyarakat adat Papua sebagai penyangga, penjaga, pelindung dan pewaris yang melestarikan hutan berkelanjutan di Tanah Papua. Karena hutan dan tanah bagi masyarakat adat Papua ibarat seorang mama yang menjadi sumber kehidupan.
“Kami juga merekomendasikan kepada pemerintah daerah se Tanah Papua, khususnya Pemprov Papua Selatan dan Pemkab Merauke untuk segera membuat peaturan daerah tentang hak ulayat dan hukum masyarakat adat. Perlu regulasi di daerah yang memproteksi hak-hak mereka,” ujar Maikel Primus Peuki.
“Juga perlu dilakukan pencadangan hutan di Kabupaten Merauke dan sekitarnya, karena hutan di wilayah selatan dibabat habis oleh investasi yang terjadi masif di sana,” ujarnya lagi.
Dia menambahkan bahwa investasi yang masuk ke Kabupaten Merauke dan sekitarnya menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang sangat besar. Baru-baru masyarakat Papua dihebohkan dengan peristiwa banjir di Salor, Distrik Kurik dan di Distrik Eligobel, Kabupaten Merauke.
“Beberapa tahun ke depan, banjir akan semakin parah jika hutan masih saja terus dibabat. Kami juga minta pemerintah pusat untuk berhenti memberikan ijin-ijin yang merampas ruang-ruang hidup di Tanah Papua,” tutupnya.
Ambisi ‘Selangit’ Pemerintah
Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia dalam kunjungannya di Merauke pada Jumat (15/5/2024), menyatakan pemerintah pusat mencanangkan proyek strategis nasional perkebunan tebu di Kabupaten Merauke dalam rangka swasembada gula dan bioetanol. Mega proyek itu diyakini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena akan menyerap tenaga kerja lokal dan adanya kerja sama melalui pola inti plasma.
Bahlil mengatakan untuk mencapai swasembada gula dan bioetanol dari Kabupaten Merauke, maka proyek seluas dua juta hektare perkebunan tebu di sana bakal dilakukan sepenuhnya dengan sistem mekanisasi dan teknologi.
Pemerintah optimistis bahwa investasi perkebunan tebu itu akan mendatangkan keuntungan yang luar biasa dari sektor pangan dan energi. Dengan lahan seluas dua juta hektare perkebunan tebu, pemerintah membayangkan tingkat produksi gula bisa mencapai 100 ton lebih per hektar.
“Sekarang produktivitas (gula) kalau di Australia itu 200 ton per hektar. Kalau di Jawa itu 65-70 ton. Nah kita pingin di Merauke itu kalau bisa rata-rata di atas 100 ton. Sekarang ini lagi dicari modifikasi oleh tim yang akan melakukan proses penelitian untuk itu (mendorong produktivitas),” kata Bahlil.
Ditanya sejauh mana kajian sosial ekologis perkebunan tebu di Merauke? Apakah telah dilakukan dan seperti apa hasilnya? Bahlil menyatakan bahwa sebenarnya tanpa dikaji pun, perkebunan tebu dapat berjalan. Sebab pada tahun 1920 silam, tanaman tebu pernah dibudidayakan di Merauke. Namun demikian, menurut dia, kajian sosial ekologis perkebunan tebu di sana harus tetap dilakukan.
“Tanpa kita kaji pun, kan 1920 barang ini (budidaya tebu) di sini sudah ada. Kita ini terlalu banyak kajian juga, tapi yang jelas kajiannya tetap jalan. Kajian penting, tapi secara kontur tanah, saya dijelaskan oleh tim perusahaan bahwa tanah di sini sangat cocok untuk tebu, hampir sama dengan Australia. Hanya kita butuh sistem drainase yang bagus, dan juga bibit yang cocok di Merauke,” katanya.
Menyoal dampak negatif alih fungsi hutan untuk perkebunan tebu? Bahlil menyatakan bahwa secara umum di Kabupaten Merauke didominasi oleh pohon kayu putih atau ekualiptus, rawa-rawa dan savana. Sedangkan pohon-pohon pelindung utama seperti Merbau dan pohon alami tidak ada.
“Mana ada hutan di tengah-tengah Merauke ini. Yang ada semua itu kayu putih, rawa-rawa, terus savana. Mana ada yang kita mau gusur. Justru dengan kehadiran tebu ini bikin drainase supaya bagus lingkungannya, terkecuali di situ masih ada kayu merbau, kayu-kayu alami, tumbuhan-tumbuhan besar, ini kan tidak ada. Jadi saya pikir tidak ada masalah,”
“Dan dalam rangka Amdalnya, wilayah-wilayah yang menjadi pusat pertumbuhan satwa, tumbuh-tumbuhan dan areal air itu tidak dijadikan sebagai bagian yang harus dipakai untuk kebun,” tutupnya.