Jayapura, Jubi – Sebanyak 14 musisi muda Indonesia memperkenalkan budaya Papua pada sebuah sarasehan, dengan menghadirkan antropolog dan kurator Museum Universitas Cenderawasih (Uncen), Enrico Kondologit.
Publicist untuk Temu Seni Musik Papua, Ajeng Campagnita mengatakan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui Direktorat Perfilman, Musik, dan Media, Direktorat Jenderal Kebudayaan menggelar temu seni di Kota Jayapura, Papua, 11 hingga 17 Juli 2022.
Dia bertutur, 14 seniman dari berbagai latar genre musik dan tempat di Indonesia itu hadir di Kota Jayapura untuk silaturahmi, apresiasi dan jejaring musik, sekaligus memperkenalkan Indonesia Bertutur 2022 di daerah cagar budaya di Indonesia.
“Kegiatan Temu Seni ini merupakan salah satu rangkaian dari Festival Mega Event Indonesia Bertutur 2022 yang dihelat menjadi bagian dari perhelatan akbar Pertemuan Menteri-Menteri Kebudayaan G20 (G20 Ministerial Meeting on Culture), dilaksanakan di Kawasan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, September mendatang,” kata Ajeng Campagnita dalam siaran pers yang diterima Jubi di Jayapura, Rabu (12/7/2022).
Ajeng Campagnita mengatakan, rangkaian awal agenda program temu seni menghelat Sarasehan Budaya Papua, yang menghadirkan antropolog, peneliti dan kurator seni budaya Museum Uncen, Enrico Yory Kondologit.
“Digelar di Club Pecinta Alam Hirosi di daerah Cycloop, Sentani, Sarasehan Budaya Papua di ajang Temu Seni ini memberikan kesempatan bagi 14 musisi muda Indonesia peserta Temu Seni untuk mendapatkan cakrawala pengetahuan dan pemahaman utuh tentang kekayaan seni dan budaya Papua,” kata Ajeng Campagnita.
Antropolog dan pemberi materi dalam Sarasehan Budaya Papua, Enrico Yory Kondologit dikutip dari siaran pers yang sama menyampaikan bahwa Tanah Papua begitu kaya. Sekitar 250-an etnik/suku bangsa dan bahasa mendiami Tanah Papua di tujuh wilayah adat. Secara tradisional, kesenian tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan orang asli Papua. Pengalaman, rasa, dan ide orang-orang asli Papua disampaikan melalui kesenian.
“Dalam kesenian terdapat simbol-simbol yang dianggap sakral dan penuh makna yang kerap dikatakan sebagai rahasia hidup orang Papua,” kata Enrico Kondologit.
Kondologit menjelaskan bahwa orang Papua dapat dikenali dari aspek budayanya. Salah satu dari beberapa aspek yang digunakan adalah konsep mengenai pembagian atau pengklasifikasian wilayah budaya di Tanah Papua ada sejak tahun 1983 oleh Don A.L. Flassy.
Konsep pembagian wilayah budaya menurut Don Flassy merujuk pada 7 aspek etnografi dan corak seni budaya di Tanah Papua, serta dihubungkan dengan beberapa penelitian antropolog barat seperti J.G. Held (1979) tentang “Cultuur Provincies” (Provinsi Kebudayaan) dan oleh A.A. Gerbrands (1979) tentang “Art Style Areas” (Wilayah Gaya Seni).
Flassy membagi wilayah budaya Papua ke dalam 14 bagian, antara lain; Wilayah Budaya Tabi, Saireri, Doberai, Bomberai, Ha Anim, La Paqo, dan Meepago.
Kondologit melanjutkan, sejak otonomi khusus (otsus) di Papua, Papua mengalami pembangunan fisik dan ekonomi yang pesat. Namun, otsus juga berdampak pada masyarakat adat di Papua yang kehilangan tanah dan tempat-tempat sakral.
Dia mencontohkan Kota Jayapura sebagai pusat pemerintahan Provinsi Papua dari 10 suku yang tidak ditemukan lagi rumah adatnya. Perahu tradisi, benda budaya materi, bahkan aksesoris tarian adatnya pun telah tergantikan dengan yang bangunan modern.
“Untuk itu perlu adanya usaha mempertahankan eksistensi budaya orang Papua lewat seni yang ada saat ini, sehingga dapat menjadi warisan bagi generasi Papua di masa yang akan datang,” ujarnya.
Direktur Perfilman, Musik, dan Media, Kemendikbud Ristek RI, Ahmad Mahendra, dalam rilis yang sama menyampaikan bahwa kegiatan temu seni ini dihelat tidak hanya untuk menjadi wadah pertemuan para praktisi seni kontemporer dari berbagai wilayah di Indonesia, tetapi juga dapat menjadi sarana berbagi, diskusi, kolaborasi dan ajang bertukar pikiran antara seniman-seniman muda Indonesia.
“Kami harapkan juga akan terbangun jejaring baru di antara para seniman muda ini, yang nantinya akan muncul dukungan terhadap satu sama lain, serta menjadi salah satu jalan pembuka terciptanya pengembangan karya–karya seni baru,” kata Ahmad Mahendra.
Sebanyak 14 musisi muda Indonesia peserta ajang Temu Seni menikmati sajian apik dua tarian khas Papua, yaitu tarian penyambutan dan drama tari yang dipentaskan dengan begitu indah oleh para penari dari sanggar seni budaya Rey May, Sentani Jayapura, bagian dari CPA Hirosi yang diasuh oleh Marshall Suebu.
Temu Seni Jayapura, Papua melibatkan 14 peserta dari berbagai provinsi, 2 fasilitator, yaitu maestro musik Indonesia yang telah mendapat berbagai penghargaan nasional dan internasional; Sutanto atau Tanto Mendut dan Joko Suranto (Gombloh), serta 2 narasumber yang merupakan antropolog, praktisi, peneliti seni, dan dosen; Enrico Yosi Kondologit dan Prof. DR. Djohan Salim, serta bekerja sama dengan komunitas seni lokal yang berperan penting untuk merancang pelaksanaan Temu Seni, yaitu Action Papua.
Empat belas musisi muda Indonesia yang turut serta dalam Temu Seni antara lain, Wahyu Thoyyib Pambayun, Rani Jambak, Halida Bunga Fisandra, Sraya Murtikanti, I Gede Yogi Sukawiadnyana, Presley Talaut, Christian Setyo Adi, Melfritin Waimbo, Yudhi Kalwa, Bastian Marani, Purwoko Ryan Ajayanto, Sri Hanuraga, Ana Adila Putri, dan Yuddan Fijar SugmaTimur.
Temu Seni Musik menjadi topik utama yang akan diangkat pada pelaksanaan di Jayapura. Hal ini mengingat bahwa seni musik di Indonesia perlu diperhatikan dan dikembangkan sebagai salah satu objek pemajuan kebudayaan. Peserta akan saling berbagi metode, praktik, dan gagasan serta mengikuti diskusi kelompok bersama fasilitator.
Program Temu Seni ini dihelat sejalan dengan program Direktorat Jenderal Kebudayaan untuk lebih mengaktifkan cagar budaya, karena kegiatan ini mengangkat kesenian tradisional yang ada di sekitar cagar budaya salah satunya di Papua. Program ini juga dirancang dengan mengutamakan peristiwa pertemuan, pertukaran, dan jejaring.
Dengan menerapkan konsep Laboratorium Seni yang terbuka, kegiatan ini akan mengangkat topik sesuai dengan apa yang dipilih yang menjadi kesepakatan bersama antarseniman yang terlibat melalui diskusi-diskusi terpumpun sesuai konteks ekosistem dan perkembangan kolektif masing-masing bidang. (*)
Discussion about this post