Jayapura, Jubi – Dua buaya air asin berukuran besar tinggal di dalam lubang kandang berisi sampah di belakang sebuah kafe di Kepulauan Solomon. Kedua buaya yang dikenal dengan sebutan buaya muara itu akan segera dipindahkan oleh lembaga amal hewan Selandia Baru dengan bantuan Kebun Binatang Australia yang melakukan “penangkaran buaya”.
“Kokonut Café Crocs” di Honiara itu telah tinggal di dalam lubang dekat kafe Kokonut selama 12 tahun. Lokasinya terletak di belakang Kantor Perdana Menteri, demikian dikutip jubi.id dari RNZ Rabu (5/2/2025).
Pendiri sekaligus kepala eksekutif Helping You Help Animals (HUHA), Carolyn Press-McKenzie, berada di Honiara untuk kampanye pengebirian anjing ketika mereka menemukan buaya setelah diberi tahu oleh penduduk setempat.
“Ketika kami menemukannya, keadaannya benar-benar menyedihkan,” kata Press-McKenzie.
“Tidak ada air di sana; sampah di mana-mana,”tambahnya. “Kami diberi tahu bahwa penduduk setempat tidak terlalu mempermasalahkan buaya, jadi buaya-buaya itu dilempari benda-benda bahkan ditusuk, lalu buaya-buaya itu akan masuk ke dalam lubang yang cukup dalam, mungkin sekitar enam kaki di bawah, dan ternyata itu adalah buaya-buaya besar,”katanya.
Press-McKenzie mengatakan mereka tinggal di lubang beton kecil berukuran sekitar lima kali empat meter dan hanya mengandalkan air hujan. Menurutnya buaya-buaya itu milik tuan tanah Koconut Café yang sudah tua, yang dulu menggunakan lokasi itu semasa mudanya untuk membesarkan dan menjual bayi lumba-lumba dan elang.
“Semua hal itu sudah masa lalu dan kini sama sekali tidak pantas, untungnya buaya-buaya itu kuat dan tampaknya mampu bertahan dari apa pun, jadi mereka bertahan dan mereka masih ada di sana,”katanya.
“Pemilik lama yang memiliki properti itu, saya rasa dia tidak menginginkannya lagi, dia tidak ingin bertanggung jawab atas siapa pun yang terluka karena buaya-buaya itu, jadi dia membiarkan mereka begitu saja di dalam lubang.”tambahnya.
Serangan buaya cukup sering terjadi di Kepulauan Solomon dan salah satu tugas polisi setempat adalah memburu dan membasmi reptil bermasalah.
Press-McKenzie mengatakan pemilik tanah telah menandatangani pengalihan kepemilikan buaya tersebut kepada HUHA. Ia menyebutkan Kebun Binatang Australia gembira menyambut buaya yang akan menjadi bagian dari penampungan mereka.
“Mereka sebenarnya pernah melihat buaya beberapa tahun lalu, tetapi tidak tahu bagaimana cara membawa mereka ke suatu tempat,”katanya.
“Mereka akan mengangkat buaya, menaikkannya ke bak truk pikap, lalu mengantar mereka ke lokasi baru,”tambahnya.
Buaya-buaya itu akan tetap berada di Kepulauan Solomon tetapi akan dipindahkan ke tempat perlindungan pribadi milik seseorang yang memiliki tiga buaya. “Tempatnya benar-benar bagus, dan saya katakan kepadanya mungkin dia ingin membeli yang ini, jika kami bisa membayar kandang baru. Jadi, saat ini kami sedang menggalang dana untuk membangun habitat bagi kedua buaya ini,”katanya.
HUHA telah menyiapkan halaman donasi yang meminta sumbangan sebesar NZ$45.000 untuk menutupi biaya habitat baru, saat ini mereka telah mengumpulkan dana sekitar NZ$3000.
Serangan buaya air asin terhadap warga Solomon

Sebuah laporan baru menemukan bahwa serangan buaya terhadap orang-orang di Kepulauan Solomon telah meningkat secara signifikan selama dekade terakhir dan akan terus meningkat jika tidak ada yang dilakukan.
Dirilis belum lama ini ‘Konflik manusia-buaya di Kepulauan Solomon’ sebuah laporan survei nasional yang dilakukan oleh Program WorldFish di 234 desa di seluruh Kepulauan Solomon antara April dan Agustus 2023.
Laporan tersebut mendokumentasikan total 225 serangan buaya terhadap manusia.
Salah satu penulisnya, ilmuwan Belanda Jan van der Ploeg, mengatakan jumlah serangan sebenarnya kemungkinan lebih tinggi karena banyak desa dan bahkan seluruh pulau tidak dapatndikunjungi.
Dalam periode 20 tahun dari 1998 hingga 2017, total 194 serangan dilaporkan. Sepertiga dari serangan ini mengakibatkan kematian: total 83 orang tewas, 31 di antaranya anak-anak.
Beberapa kisah yang terekam dalam laporan itu sungguh mengerikan.
“Pada 2008, Don Ricky sedang bermain di laut bersama beberapa anak dari desanya, New Land di Laguna Marovo, Provinsi Barat. Saat senja, anak-anak lainnya pulang ke rumah, tetapi bocah lelaki berusia enam tahun itu kembali ke laut untuk mengambil bolanya. Tiba-tiba seekor buaya menariknya ke bawah. Penduduk desa tidak pernah menemukan jasadnya,” demikian laporan ilmuwan asal Belanda itu.
Jan van der Ploeg, menghubungkan peningkatan serangan dengan populasi buaya yang berkembang pesat sejak pemerintah melarang ekspor kulit buaya pada 1993 sebagai bagian dari upaya global untuk mencegah kepunahan reptil tersebut.
“Dan ketika mereka berhenti berburu, populasinya sangat kecil tetapi mereka merespons dan pulih dengan sangat cepat,” kata Tn. van der Ploeg.
Diperkirakan sekarang ada sekitar 1.400 hingga 2.300 buaya air asin di negara ini.
“Jadi jumlah buaya saat ini semakin banyak dan buaya yang lebih besar dibandingkan 20, 25 tahun yang lalu, dan hal itu menyebabkan semakin banyaknya serangan. Dan salah satu temuan utama laporan kami adalah jumlah serangan juga meningkat dan hal itu sungguh mengkhawatirkan,” katanya.
Namun ini merupakan masalah yang rumit untuk diatasi di Kepulauan Solomon.
Membunuh buaya dilarang di banyak budaya lokal dengan cerita adat atau cerita rakyat yang menggambarkannya sebagai hewan tabu, suci, atau roh leluhur seperti dalam laporan yang diringkas ini. Atau dalam istilah antropolog dianggap totem di mana diceritakan pada leluhur bahwa hewan itu merupakan asal usul mereka atau dalam klan tertentu sehingga mereka tidak boleh membunuh atau pun memakan daging buaya.
“Dahulu kala salah satu leluhur kami memiliki seorang putra. Ia dan istrinya sangat menyayangi putra mereka. Namun suatu hari mereka melihat putra mereka memiliki ekor… suatu hari seorang kerabat dekat dari desa lain mengunjungi mereka. Ia berteriak kepada anak laki-laki itu dan mengusirnya, sehingga anak laki-laki itu pergi ke Sungai Wairaha dan sejak saat itu sungai itu menjadi rumahnya. Itulah awal mula suku kami.” Demikian laporan tersebut yang dilansir dari RNZ Pasifik.
Menurut laporan itu, setidaknya lima orang per tahun terbunuh oleh buaya di Kepulauan Solomon selama satu dekade terakhir. Dalam beberapa bulan pertama tahun 2018 saja, terjadi 13 serangan, tiga di antaranya berakibat fatal.
Tahun ini Kepolisian Kepulauan Solomon telah menerima beberapa laporan tentang buaya yang bermasalah. Di Malaita, tim menangkap dan membunuh tiga hewan setelah menyerang seorang gadis berusia 12 tahun pada Hari Tahun Baru. Anak itu selamat tetapi mengalami luka serius di kakinya.
Tn. Van der Ploeg mengatakan laporan tersebut merekomendasikan peningkatan kewaspadaan keselamatan bagi masyarakat yang tinggal di dekat habitat buaya yang diketahui, lebih banyak pelatihan dan bantuan bagi polisi untuk memburu buaya pembunuh, serta melegalkan penjualan produk buaya di Kepulauan Solomon.
“Jadi, kami memastikan bahwa warga di desa-desa menerima informasi lebih lanjut tentang cara menangani masalah buaya. Dan jika warga memiliki masalah serius dengan buaya dan tidak dapat menyelesaikannya, Kepolisian Kerajaan Kepulauan Solomon dapat datang untuk membantu,”tulis laporan itu.
Namun demikian, Tn. Van der Ploeg mengatakan menurutnya penting diingat bahwa penduduk Kepulauan Solomon telah hidup berdampingan dengan buaya selama puluhan ribu tahun dan telah mengembangkan tindakan pencegahan sendiri seperti selalu memancing dalam kelompok besar atau memastikan Anda memiliki senter yang terang saat mendekati air di malam hari.
Mengenai penerapan rekomendasi laporan tersebut di masa mendatang, Tn. Van der Ploeg mengatakan staf dari Kementerian Perikanan dan Kementerian Lingkungan Hidup Solomon sedang menyusun strategi pengelolaan buaya baru yang mereka rencanakan untuk diserahkan kepada pemerintahan baru PM Jeremiah Manele.
Fakta menarik

Buaya air asin (Crocodylus porosus) adalah reptil hidup terbesar di dunia, dengan buaya jantan yang tercatat memiliki panjang lebih dari 6m dan berat lebih dari 1000kg. Buaya air asin terbesar yang tercatat di Kepulauan Solomon adalah 5,9m, di Isabel.
Predator puncak yang besar dan oportunis ini memburu berbagai macam hewan, termasuk ikan, kepiting lumpur, kura-kura, rubah terbang, anjing, dan babi. Mangsa biasanya disergap di dalam atau di tepi air. Hewan kecil ditelan utuh, sementara yang besar diseret ke air dalam, ditenggelamkan, lalu dicabik-cabik.
Buaya air asin dewasa yang besar juga akan menganggap manusia sebagai mangsa.
Manusia dan buaya air asin telah hidup berdampingan di Kepulauan Solomon selama 30.000 tahun, dan buaya memainkan peran utama dalam sejarah budaya negara tersebut.
Hal ini mungkin paling baik diilustrasikan oleh fakta bahwa buaya ditampilkan secara mencolok pada lambang Kepulauan Solomon, di samping predator pemakan manusia lainnya di pulau tersebut, hiu.
Buaya muara, buaya terbesar di dunia
Dikutip dari Wikipedia.org, menyebutkan bahwa buaya muara atau buaya bekatak adalah jenis buaya terbesar di dunia. Dinamai demikian karena buaya ini hidup di sungai-sungai dan di dekat laut. Buaya ini juga dikenal dengan nama buaya air asin, buaya laut, dan nama-nama lokal lainnya. Berat buaya muara jantan berkisar antara 200 kg untuk bayi sampai dengan 1.100 kg dewasa sedangkan buaya muara betina dari 76 kg sampai dengan 100 kg dewasa.
Kecepatan dalam muara sungai mencapai 24-29 km/jam di dalam air dengan jarak dekat. Jadi kecepatan menerkam mangsa dalam jarak dekat langsung mematikan sehingga hewan lain termasuk manusia bisa menjadi mangsanya. Buaya muara ini juga punya panjang sekitar 3,5-6 meter untuk jantan dan betina dari 2,7 sampai 3,4 meter.
Dalam bahasa Inggris, dikenal dengan nama Saltwater crocodile, Indo-Australian crocodile, dan Man-eater crocodile. Nama umumnya, Man-eater = “pemakan manusia”, karena buaya ini pernah (atau sering) memakan manusia dan babi di wilayahnya. Buaya ini tersebar di seluruh perairan dataran rendah dan perairan pantai di daerah tropis Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Australia (Indo-Australia).
Buaya muara memiliki wilayah perantauan mulai dari perairan Teluk Benggala (Sri Lanka, Bangladesh, India) hingga perairan Polinesia (Kepulauan Fiji dan Vanuatu). Sedangkan habitat favorit untuk mereka adalah perairan Indonesia dan Australia.

Di Indonesia, buaya muara di Kabupaten Mimika sepanjang tujuh meter pernah menerkam seorang warga di Kampung Atuka Mimika Timur Jauh pada Jumat (21/1/2022) seperti dilansir antara.com. Orang itu tewas di dalam perut buaya muara di Mimika.
Warga yang bernama Damianus Yauta, seorang pencari kepiting bakau asal Kampung Tipuka dinyatakan hilang saat hendak membersihkan kepiting bakau yang didapatnya di Sungai Ayuka, tepatnya sekitar satu kilometer dari jembatan pertama menuju Kargodok Pelabuhan Amamapare milik PT Freeport Ind.
“Korban ditemukan oleh tim pencari, masyarakat dan keluarga korban yang saat itu melakukan penyisiran di lokasi kejadian. Saat ditemukan, tubuh korban masih berada dalam mulut buaya sehingga masyarakat memutuskan harus membunuh buaya tersebut dengan cara ditombak beramai-ramai agar jenazah korban bisa dikeluarkan.” (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!