Jayapura, Jubi – Provinsi Papua membutuhkan sistem jaminan sosial yang berbasis komunitas masyarakat adat. Hal itu penting untuk memastikan adanya jaring pengaman bagi masyarakat adat yang kehilangan lahan karena kepentingan investasi, sehingga mereka tetap bisa memenuhi kebutuhan dasar, serta mempertahankan identitas dan jati dirinya sebagai masyarakat adat.
Hal itu dikatakan antropolog Universitas Cenderawasih, Hanro Yonathan Lekitoo selaku narasumber lokakarya Jaminan Sosial Bagi Masyarakat Adat Korban Investasi Lahan yang diselenggarakan Jaringan Kerja Rakyat Papua atau Jerat Papua di Kota Jayapura, Provinsi Papua, pada Kamis (6/3/2025). Ia menegaskan jaminan sosial berbasis masyarakat adat dibutuhkan, karena masyarakat yang kehilangan tanah adat/tanah ulayatnya telah kehilangan mata pencaharian mereka.
“Perlindungan sosial yang diberikan kepada masyarakat adat betul-betul untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup komunitas yang layak. Sumber daya alam, seperti tanah, hutan, air, dan segala sumber daya di dalamnya, itu yang menjadi identitas dan jati diri sumber ekonomi, sosial, budaya, politik, sumber pengetahuan, dan sumber teknologi. [Semua sumber daya itu merupakan] harapan hidup komunitasnya, namun [tanah masyarakat adat] telah dialihfungsikan menjadi lahan investasi,” kata Lekitoo.
Menurutnya, komunitas masyarakat adat adalah masyarakat suku yang terdiri dari klan, keret, dan marga yang memiliki hak atas tanah adat dan sumber daya alam sebagai kekayaan material dan non material di dalamnya. Tanah ulayat itu menjadi tempat tinggal sekaligus sumber pencaharian ekonomi seperti meramu, bercocok tanam, berburu, menangkap ikan.
Lahan ulayat juga menjadi sumber obat-obatan tradisional dan lahan juga sebagai peralatan hidup. Teknologi dan sumber kesenian masyarakat adat juga dipengaruhi relasi mereka dengan tanah ulayatnya.
Lekitoo menjelaskan fungsi tradisional lahan masyarakat adat sangat banyak, termasuk menjadi pengikat genealogi dari kelompok klen/kelompok etnik tertentu. Solidaritas klen dan etnik dibangun karena adanya kesadaran dalam pemanfaatan lahan. Itulah mengapa perampasan tanah adat atau tanah ulayat untuk dijadikan konsesi investasi berdampak sangat buruk kepada masyarakat adat.
“Selain sebagai kekuatan klen dalam politik di tingkat lokal, tanah juga sebagai kekayaan komunal yang tidak ternilai harganya. Karena tanah diperoleh dari perjuangan perebutan dan pengorbanan nyawa,” kata Lekitoo.
Dimodali investor dan pemerintah
Menurutnya, harus ada sistem jaminan sosial berbasis masyarakat adat yang bisa melindungi masyarakat adat dari berbagai dampak pengalihan lahan mereka untuk kepentingan investasi. Lekitoo berpendapat investor perlu menjamin keberlangsungan masyarakat adat, memberikan jaminan hidup, jaminan terhadap pemenuhan pangan, jaminan pemenuhan pendidikan, kesehatan, sosial, dan budaya.
Lekitoo menyatakan ada sejumlah syarat penting dalam menjalankan sistem jaminan sosial berbasis komunitas masyarakat adat. Antara lain, harus ada pemetaan tanah ulayat/tanah masyarakat adat yang telah disahkan melalui surat keputusan kepala daerah.
Selain itu, penerima manfaat jaminan sosial berbasis masyarakat adat adalah kelompok masyarakat adat yang terdampak langsung dari penggunaan lahan untuk investasi, dan kelompok masyarakat adat yang tidak terdampak langsung dari aktivitas investor itu.
Lekitoo menyatakan para investor yang menggunakan lahan masyarakat adat harus menjadi salah satu pihak yang membiayai modal sistem jaminan sosial masyarakat adat itu, misalnya dengan menggunakan dana Corporate Social Responsibility (SCR). Pemerintah juga harus memodali sistem jaminan sosial berbasis masyarakat adat itu, misalnya dengan menyisihkan Pajak Bumi Bangunan atas lahan masyarakat adat yang digunakan bukan oleh masyarakat adat, termasuk transmigran.
Lekitoo menjelaskan sistem jaminan sosial berbasis komunitas masyarakat adat hanya dapat diselenggarakan jika ada regulasi yang jelas dan rinci, misalnya melalui Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Khusus.
“Perlu kolaborasi untuk kajian akademik penyusunan peraturan daerah dari para pihak seperti Majelis Rakyat Papua, DPR Papua, DPR kabupaten/kota, pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, dan lembaga agama. Untuk mewujudkan jaminan sosial bagi masyarakat adat, perlu pergerakan dalam memperjuangkan regulasi di tingkat daerah untuk melindungi hak-hak masyarakat adat,” kata Lekitoo.
Mewakili Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Papua sebagai narasumber dalam lokakarya yang sama, Ratna Abdul Kadir menjelaskan Bappeda Papua telah mengelola pendapatan daerah untuk kesejahteraan sosial. Dana kelolaan untuk kesejahteraan sosial itu antara lain bersumber dari pajak daerah yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Papua, sebagaimana diatur Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) Papua nomor 1 tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Perdasi itu antara lain mengatur 10 persen pendapatan dari Pajak Kendaraan Bermotor menjadi pendapat daerah Pemerintah Provinsi Papua. “10 persen itu dialokasikan untuk pembangunan dan pemeliharaan jalan, serta peningkatan modal dan sarana transportasi umum,” kata Ratna. Menurut Ratna, 50 persen dari hasil penerimaan pajak pokok telah dialokasikan untuk mendanai pelayanan kesehatan untuk masyarakat.
Ratna juga menjelaskan keterkaitan penggunaan tanah adat/tanah ulayat untuk kepentingan investasi dengan pendapatan daerah. Menurutnya, tanah adat/tanah ulayat yang digunakan untuk kepentingan investasi akan mengalmai peningkatan nilai ekonomi dengan pengembangan lahan, yang nantinya akan diikuti dengan pengembangan fasilitas.
Selain itu, penggunaan lahan untuk kepentingan investasi akan membuat kegiatan ekonomi meningkat, dan menghasilkan pendapatan bagi daerah. Pendapatan pajak daerah akan meningkatkan, antara lain dari sektor properti dan pajak lainya yang terkait dengan kegiatan ekonomi yang berkembang.
“Yang ketiga itu meningkatkan infrastruktur dan fasilitas publik. Infrastruktur yang lebih baik dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan membuka peluang ekonomi baru. Tapi dengan kegiatan investasi, banyak [yang] memberi kami masukan terkait dengan jaminan sosial bagi masyarakat adat korban investasi. Itu akan menjadi bahan evaluasi Bappeda Provinsi Papua untuk pengelolaan pendapatan daerah,” katanya. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!