Sentani, Jubi – Pasar Pharaa berdiri megah sejak tujuh tahun lalu di Sentani, Kabupaten Jayapura. Namun, keberadaannya masih menimbulkan keruwetan sedari awal berdiri.
Sejak diresmikan Presiden Joko Widodo pada 2017, pasar Pharaa masih terus bergelut dengan penataan lokasi berjualan. Penempatan kios berdasarkan jenis dagangannya itu tidak kunjung purna.
Tengoklah keberadaan lantai II. Bangunan teratas di area pasar tersebut sejatinya diperuntukan bagi pedagang kelontong, tetapi malah melompong.
Kepala Pengelola Pasar Pharaa Keliopas Mehue mengatakan lantai II sempat dihuni 290 pedagang nonhasil bumi semasa awal pasar itu berdiri. Namun, mereka tidak bertahan lama karena fasilitas penunjangnya sangat tidak memadai.
“Listrik, dan air bersih tidak tersedia. Banyak pedagang akhirnya mencari lokasi berjualan yang lebih baik [daripada di Lantai II Pasar Pharaa],” kata Mehue, Senin (20/5/2024).
Para pedagang harus menyiapkan sendiri kebutuhan listrik dan air bersih di Pasar Pharaa. Alhasil, sejumlah area berjualan pun menjadi remang saat menjelang sore karena tidak semua pedagang memiliki fasilitas penerangan listrik.
“Tempat berjualan di los B, dan los C misalnya, mulai gelap jika mendekati sore. Para pedagang akhirnya berjualan di parkiran,” ujar Mehue.
Minimnya penerangan dan fasilitas pendukung lain tersebut, jelas merugikan pedagang. Dagangan mereka tidak laku karena pembeli enggan menghampiri.
Kondisi itu, antara lain dialami Agustina Dike, 35 tahun. Pedagang hasil bumi di Los B Pasar Pharaa tersebut mengaku pendapatannya terus menyusut dari hari ke hari.
“Dahulu, pendapatan saya Rp500 ribu hingga Rp800 ribu sehari. Sekarang, menurun hingga menjadi Rp300 ribu sehari. Semua dagangan bahkan pernah tidak laku ,” ujar Dike.
Dike pun harus menghadapi ketatnya persaingan dengan pedagang di luar Pasar Pharaa. Menurutnya, banyak toko nonhasil bumi juga menyambi berdagang bahan-bahan natura di Sentani.
“Ada toko pakaian dan barang kelontong juga membuka pasar dadakan yang menjual bahan natura. Belum lagi, pedagang keliling yang berjualan hingga ke rumah-rumah warga. Dampaknya, kami tidak kebagian [pembeli],” kata Dike.
Kelabakan urus kebersihan
Pasar Pharaa terdiri atas lima bangunan permanen berlantai dua. Pusat perdagangan tradisional terbesar di Kabupaten Jayapura itu menempati lahan seluas 1 hektare dan menampung sekitar 2.000 pedagang.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jayapura membentuk unit pengelola untuk melayani dan mengawasi aktivitas perdagangan di Pasar Pharaa. Unit Pengelola tersebut mempekerjakan 15 petugas. Sebanyak delapan petugas, di antaranya mengurusi pungutan retribusi pasar, dan empat petugas lain menangani perpakiran.
Mehue mengatakan besaran retribusi bervariasi untuk setiap pedagang. Pedagang yang menempati kios atau lapak permanen dikenai sebesar Rp3.000 sehari. Adapun pedagang kecil dikenai Rp2000 sehari, dan pedagang musiman, Rp1.000 sehari.
Petugas menagih retribusi kepada setiap pedagang dan memberi karcis sebagai tanda pelunasan. Setiap petugas retribusi harus mencapai target pemungutan, yakni sebesar Rp300 ribu sehari.
“Ada juga pajak bulanan yang dikenakan bagi sekitar 200 pedagang pemilik kios permanen. Nilainya Rp200 ribu hingga Rp250 ribu,” ujar Mehue.
Pengelola pasar juga memberlakukan tarif parkir kepada pengunjung. Nilainya sebesar Rp5.000 untuk pengguna kendaraan bermotor roda empat, dan Rp2.000 kepada pengguna kendaraan bermotor roda dua.
Selain penataan, dan penempatan pedagang serta penyiapan fasilitas, pengelola Pasar Pharaa dihadapkan pada permasalahan kebersihan. Sampah pasar kerap menumpuk bahkan berserakan di depan parkiran dan setiap sudut pasar.
Pengelola pasar tidak memiliki armada khusus untuk mengangkut sampah. Mereka hanya mengandalkan armada dari Dinas Lingkungan Hidup padahal instansi tersebut hanya menangani persampahan di luar area pasar.
Mehue mengaku telah menyampaikan permasalahan itu kepada Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Jayapura sebagai atasan langsung mereka. Akan tetapi, pengadaan armada kebersihan tidak kunjung terealisasi.
Janji tata ulang
Pasar Pharaa menjadi salah satu penyumbang terbesar Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Jayapura. Berdasarkan data Disperindag Kabupaten Jayapura, hasil retribusi Pasar Pharaa mencapai Rp1,73 miliar pada tahun lalu. Nilai pungutan tersebut melampaui target yang ditetapkan Pemkab Kabupaten Jayapura, yakni Rp1,6 miliar.
Asisten Bidang Ekonomi dan Pembangunan Pemkab Jayapura Delila Giyai mengaku permasalahan di Pasar Pharaa menjadi perhatian serius mereka. Karena itu, Pemkab Jayapura segera menata kembali kondisi pasar supaya berfungsi dengan baik.
Menurutnya, mereka juga tidak tinggal diam dalam mengawasi aktivitas perdagangan di Pasar Pharaa. Salah satu yang kerap dilakukan Pemkab Jayapura ialah menggelar inspeksi mendadak atau sidak untuk memastikan pasokan dan stabilitas harga kebutuhan pokok, saat menjelang hari besar keagamaan .
“Ada bahan pokok dan hasil bumi dari luar Kabupaten Jayapura dijual pedagang di Pasar Pharaa. Saat sidak kemarin [menjelang Idulfitri], kami mendapati bahan rempah-rempah, seperti bawang, cabai, tomat didatangkan dari Koya [Kota Jayapura], Keerom, dan Sarmi,” kata Giyai.
Giyai juga mengaku mereka akan mengelar rapat koordinasi bidang ekonomi untuk membahas keberadaan pasar liar dan pedagang keliling yang dikeluhkan sejumlah pedagang di Pasar Pharaa. Dia berharap rapat tersebut menghasilkan solusi terbaik. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!