Jayapura, Jubi – Sinode Gereja Bethel Gereja Pentakosta (GBGP) di Tanah Papua, meminta hasil seleksi anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) khusus keterwakilan atau kelompok kerja (Pokja) agama dibatalkan.
Tokoh Pemuda GBGP Di Tanah Papua, Jack Jodzoon Puraro mengatakan, pihaknya menolak hasil seleksi anggota MRP, khusus untuk keterwakilan lembaga keagamaan atau kelompok kerja (Pokja) agama, karena tidak ada keterwakilan Sinode GBGP.
Padahal GBPB lahir di Papua sejak 17 Oktober 1956 atau hampir 67 tahun, sama seperti Gereja Kristen Injili (GKI) Di Tanah Papua, yang lahir pada 26 Oktober 1956.
“Kami keberatan dengan penetapan ini. Kami tolak dan kami sudah menyurat ke Kemendagri, meminta ditinjau ulang, proses pelantikan untuk anggota MRP dari Pokja Agama dibatalkan, dan berkas sinode-sinode gereja diverifikasi ulang. Gereja yang paling tua di Papua itu GBGP dan GKI. GKI tiga kursi kami GBGP tidak ada kursi padahal kami sama dengan GKI yang sudah hampir 67 tahun di Papua sama seperti GKI,” kata Jack Puraro, Jumat (14/7/2023).
Jack Puraro yang juga Ketua Paguyuban Pemuda Nusantara Papua Republik Indonesia (PPNP RI) itu mengatakan, pihaknya akan menempuh jalur hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Kami akan tempuh jalur hukum di PTUN. Seluruh pelaku-pelaku yang melecehkan konstitusi dalam mereka melanggar konstitusi. Kami akan daftarkan ke PTUN. Siapapun penyelanggara yang terlibat kita akan ketemu di PTUN,” ucapnya.
Pihaknya menilai calon tetap dan calon terpilih anggota MRP periode 2023-2028 khusus Pokja Agama yang telah diumumkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua telah melenceng dari Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Provinsi Papua, Nomor 14 Tahun 2016 tentang cara pemilihan anggota MRP.
Katanya, dalam Pasal 23 Perdasus Nomor 14 Tahun 2016 ada beberapa poin yang mengatur tata cara pemilihan angggota MRP dari unsur atau lembaga keagamaan.
Syarat lembaga keagamaan di tingkat provinsi berhak mengajukan bakal calon anggota MRP mewakili agama, yakni melakukan kegiatan keagamaan paling kurang 50 tahun, berbadan hukum, memiliki kantor pusat atau sekretariat berkedudukan di Provinsi Papua.
Memiliki jemaat yang tersebar paling kurang 50 persen dari jumlah kabupaten/kota di Provinsi Papua dan terdaftar di Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Papua.
“[Makanya saya bilang] penetapan anggota MRP menurut saya menciderai konstitusi, karena melenceng dari Perdasus Nomor 14 Tahun 2016. Saya menduga ada konspirasi yang dibangun sehingga melenceng dari konstitusi,” ujarnya.
Menurutnya, ada beberapa sinode gereja yang mengirim keterwakilannya ke MRP, namun tidak sesuai prosedur atau mekanisme. Beberapa sinode gereja yang utusannya lolos seleksi anggota MRP dianggap tidak memenuhi persyaratan yang ada dalam Pasal 23 Perdasus Nomor 14 Tahun 2016.
Beberapa sinode gereja itu dinilai belum genap 50 tahun melakukan kegiatan keagamaan di Provinsi Papua, tidak memiliki penyebaran jemaat hingga 50 persen di Provinsi Papua, dan ada yang kantor sinodenya tidak jelas serta berada di luar Papua.
“Beberapa sinode gereja yang muncul, pertama Persekutuan Gereja Baptis West Papua. Ada di mana kantor sinodenya dan berapa persen penyebarannya di Tabi dan Saireri, kedua Gereja Persekutuan Alkitab Indonesia, di mana Sinodenya dan berapa persen penyebarannya di Provinsi Papua,” ucapnya.
Selain itu, ada Gereja Kalvari Pentakosta Misi di Indonesia. Gereja ini dinilai belum sampai 50 tahun di Papua dan tidak jelas di mana kantor Sinodenya, serta berapa persen penyebarannya di Papua. Begitu pula Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) yang majelis pusatnya atau setara dengan Sinode ada dj Jakarta, namun keterwakilannya lolos seleksi MRP.
“Kemudian Gereja Pentakosta di Papua. Ini baru kemarin saja dia keluar dari GPDI. Pecahan dari GPDI keluar. Baru beberapa tahun saja ini. Kalau saya hitung baru sekitar 16 tahun belum sampai 50 tahun sudah ada keterwakilannya. Kalau mau benar-benar mau jeli Advent pun tidak masuk karena Sinodenya tidak ada di Papua. Katolik juga Sinodenya bukan di Papua,” ujar Jack Puraro.
Jack Puraro mengatakan, apabila mekanisme seleksi anggota MRP dilakukan sesuai aturan, keterwakilan umat muslim juga tidak masuk. Sebab di wilayah adat Tabi dan Saireri, Provinsi Papua tidak ada satu kampung yang orang asli Papuanya muslim.
Situasi ini berbeda dengan Provinsi Papua Barat, Papua Barat Daya dan Papua Pegunungan. Di Papua Barat, ada banyak warga asli Papua yang muslim di Kabupaten Fakfak, di Papua Barat Daya warga asli Papua di Misol, Kabupaten Raja Ampat banyak yang muslim dan di Papua Pegunungan, warga asli Papua di Walesi, Kabupaten Jayawijaya mayoritas muslim, sehingga wajar apabila ada keterwakilan muslim duduk di lembaga MRP di provinsi itu.
“Karenanya kami juga keberatan kalau ada keterwakilan dari muslim [di MRP]. MRP inikan lembaga kultur. Kalau bicara lembaga seperti DPR Papua, kita tidak larang. Meski muslim silahkan, bisa jadi anggota dewan. Kami bicara fakta-fakta agar masyarakat tahu dan penyelenggara tahu. Jangan karena mendapatkan sesuatu dari sekelompok orang sehingga Pansel diintervensi,” katanya.
Dalam situasi ini menurut Jack Puraro, Panitia Seleksi (pansel) mestinya melakukan verifikasi berkas atau kelengkapan administrasi dari sinode-sinode itu.
Namun katanya, pansel tidak berdaya dalam memutuskan sinode-sinode gereja mana saja yang mengusulkan anggota MRP keterwakilan pokja atau unsur) agama.
“Terkesan ada segelintir orang yang menseting dan membuat daftar nama-nama anggota MRP perwakilan Pokja agama.
Makanya kami sangat kecewa dan keberatan dengan hasil keputusan ini. Kami tolak dan minta dibatalkan, khusus untuk Pokja Agama,” ucapnya.
Alasan lain pihaknya menolak hasil seleksi MRP khusus Pokja agama, sebab hanya beberapa orang yang merupakan orang dari wilayah adat Tabi dan Saireri yang merupakan wilayah adat di Provinsi Papua.
Padahal lanjutnya, MRP adalah lembaga kultur. Jika sudah bicara lembaga kultur, baik itu Pokja adat, perempuan dan agama benar-benar harus mencerminkan keterwakilan dari wilayah adat di Provinsi Papua.
“Tetapi yang hari ini kita lihat dari Pokja agama benar-benar menciderai konstitusi. Sebagian besar adalah saudara-saudara kita dari Lapago dan ada juga ada dari Domberay. Mestinya mereka dari wilayah adat lain [di luar Provinsi Papua] tidak boleh ada di MRP di Provinsi Papua, karena di provinsi mereka juga ada MRP di sana. [Misalnya di Lapago yang merupakan wilayah Provinsi Papua Pegunungan dan Bomberay yang masuk wilayah Papua Barat Daya],” ujarnya.
Ia mengingatkan mereka yang dari provinsi lain dan namanya lolos sebagai anggota MRP dari Pokja agama sebaiknya kembali ke wilayah adat atau provinsi masing-masing dan menjadi anggota MRP di sana. Sebab masyarakat adat di wilayah adat Tabi dan Saireri juga punya SDM memadai untuk keterwakilan dari lembaga keagamaan.
“Pernyataan ini secara khusus saya tujukan kepada Pansel, PGGP, FKUB sebagai mitra Pansel. Mereka kan mestinya lebih tahu mana gereja yang betul-betul, pertama sinodenya ada di Tanah Papua, kemudian penyebarannya minimal 50 persen. Saya ingatkan juga, yang bukan orang Tabi dan Saireri kembali ke daerahnya masing-masing,” katanya.
Saah satu pengurus Sinode GBGP, Juliana J Waromi menambahkan, pihaknya sangat kecewa dengan penetapan anggota MRP periode 2023-2028.
“Kami Sinode GBGP Di Tanah Papua ini sudah di atas 50 tahun dan saya harap hasil ini ditinjau kembali. Jangan dibiarkan kami akan tempuh jalur hukum karena kami sangat dirugikan,” kata Juliana J Waromi.
Menurutnya, mestinya dari 14 kursi anggota MRP keterwakilan lembaga keagamaan minimal ada satu atau dua orang keterwakilan Sinode GBGP.
“Ya minimal ada satu atau dua keterwakilan kami di MRP. Kami harap khusus Pokja agama MRP, hasilnya dibatalkan,” ucapnya.
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!