Jayapura, Jubi – Polemik pelantikan 34 anggota Majelis Rakyat Papua atau MRP pada 7 November 2023 di kantor Gubernur Papua oleh Wakil Menteri Dalam Negeri, Wempi Wetipo, hingga kini masih menjadi perdebatan karena munculnya argumentasi masih bermasalah bagi delapan anggota lainnya yang belum dilantik.
Pasalnya, kata Wamendagri, delapan anggota MRP terpilih tersebut bertentangan dengan Pasal 5 Ayat (1), 2, dan 3 Peraturan Daerah Provinsi atau Perdasi 5/2023 tentang tata cara pemilihan anggota MRP, serta terhadap dua orang lainnya yang tidak dilantik yakni Orpa Nari dan Beny Sweny dengan alasan keduanya ikut terlibat dalam penolakan Otsus.
Hal itu pun menjadi perhatian Aliansi Demokrasi untuk Papua atau AlDP yang menganggap hal itu membuktikan bahwa pemerintah telah terjebak dalam ketakutannya sendiri terhadap MRP sebagai lembaga kultural yang memiliki energi politik yang tinggi.
Direktris Aliansi Demokrasi untuk Papua, Latifah Anum Siregar, dalam siaran pers yang diterima Jubi, Jumat (10/11/2023), mengatakan alasan pertama tidak dilantiknya delapan anggota MRP diperuntukan bagi perwakilan agama dengan alasan mereka bukan berasal dari wilayah adat Tabi dan Saireri.
Salah satu contohnya yang dialami oleh satu-satunya wakil agama Islam yang tidak ikut dilantik sebagai anggota MRP, padahal telah memenuhi syarat mengikuti tahapan dan dinyatakan sebagai calon tetap dan calon terpilih yakni ustadz Saiful Islam Al Payage.
“Apabila mengacu pada Pasal 5 Perdasi Nomor 5 Tahun 2023, yang disebut sebagai wilayah pemilihan adalah untuk anggota MRP wakil adat dan perempuan. Adapun untuk wakil agama dilaksanakan di tingkat provinsi,” kata Anum Siregar.
Menurutnya, hal itu sebenarnya sudah disebutkan sebelumnya pada Pasal 1 angka 10, 11, dan 12 yaitu wilayah pemilihan tahap pertama adalah wilayah penyelenggaraan pemilihan anggota MRP untuk wakil adat dan wakil perempuan di kabupaten/kota di Provinsi Papua.
Wilayah pemilihan tahap kedua adalah wilayah penyelenggaraan pemilihan anggota MRP untuk wakil adat dan wakil perempuan yang terdiri atas gabungan beberapa kabupaten/kota yang ditetapkan oleh panitia pemilihan tingkat provinsi sebagai wilayah pemilihan. Wilayah pemilihan wakil agama adalah wilayah penyelenggaraan pemilihan anggota MRP di tingkat provinsi.
Bahkan dipertegas pula pada pasal 7 ayat (1) yakni kuota kursi masing-masing lembaga keagamaan ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah pemeluk agama di provinsi, serta Pasal 20 ayat (1) lembaga keagamaan di tingkat provinsi [lah] yang berhak mengusulkan bakal calon anggota MRP wakil agama.
“Sehingga argumentasi yang menyebutkan keterwakilan wilayah adat menjadi dasar untuk pemilihan wakil agama, jelas bertentangan dengan Perdasi itu sendiri bahkan UU Otsus sebagai induk dari lahirnya MRP,” katanya.
Sejalan dengan itu muncul juga pada pasal 3 tentang persyarataan dimana pada ayat (1) huruf p menyebut untuk wakil agama, merupakan pemeluk agama tertentu di provinsi.
Alasan kedua, kedua calon lainnya yakni Orpa Nari dan Beny Sweny terlibat menolak Otsus, ini juga kekeliruan yang telah dilakukan oleh pemerintah.
Ia menjelaskan yang dilakukan MRP periode sebelumnya dengan mengajukan permohonan pengujian pasal 38 ayat (2), pasal 59 ayat (3), pasal 76 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) undang-undang 2/2021 serta pasal 77 undang-undang 21/2001 ke Mahkamah Konstitusi, membuktikan MRP sedang menjalankan tugasnya sebagaimana amanat pasal 20 ayat (1) huruf e Undang-Undang 21/2001 atau pasal 20 Ayat (1) huruf d Undang-Undang 2/2021 tentang Otsus yakni salah satu tugas MRP untuk memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan, dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak orang asli Papua, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya.
Saat rencana revisi Undang-Undang Otsus akan dilakukan oleh pemerintah dan muncul sejumlah respons dari masyarakat, maka sebagai penyalur aspirasi orang asli Papua (OAP), MRP menyalurkan aspirasi tersebut juga dalam rangka mendorong negara agar memaksimalkan upaya untuk mewujudkan perlindungan dan pemihakan terhadap OAP sebagaimana cita-cita Otsus.
“Bahkan saat itu dilakukan politik devide et impera terhadap anggota MRP, pemerintah terus berusaha ‘mengubah dan membentuk’ wajah MRP yang sejalan dengan kepentingan kekuasaan,” ujarnya.
Di bagian lain, Wamendagri mengatakan kondisi Papua berbeda dengan tiga Daerah Otonom Baru (DOB) di Papua. Sebab di DOB perwakilan di MRP masih bisa diisi orang dari luar wilayah adat setempat karena belum ada Perdasi yang mengikat.
Hal ini menurutnya menjadi keanehan karena dilakukan seleksi MRP, padahal jelas tidak ada dasar hukum untuk seleksi MRP selain melalui Perdasi.
“Lalu, dengan dasar apa seleksi tersebut dilakukan? Di Provinsi Papua yang sudah ada Perdasi, toh dilanggar. Adapun di provinsi yang lain belum ada Perdasi tetapi dilakukan. Asumsi yang muncul, bukan soal ada atau tidaknya Perdasi, tetapi kuatnya kepentingan di luar hukum dan dipaksa tunduk pada penguasa,” katanya.
Ia juga mengkhawatirkan praktik yang sama akan dilakukan oleh pemerintah pada seleksi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) yang diangkat dari unsur OAP, sebagaimana pasal 6 Ayat (1) huruf b atau Dewan Perwakilan Rakyat kabupaten/kota (DPRK) sebagaimana pasal 6A (1) ayat (1) huruf b Undang-Undang 2/2021 tentang Otsus, di Pemilu 2024.
“Pemerintah mengendalikan proses dan aturan akan diabaikan. Sehingga nantinya anggota parlemen yang diangkat atau anggota MRP akan “dipaksa” diisi oleh orang-orang yang hanya akan menjalankan agenda kekuasaan bukan mengabdi kepada kepentingan rakyat khususnya OAP,” katanya.
Untuk itu AlDP minta pemerintah harus konsisten dalam menjalankan amanat konstitusi dan berbagai putusan terkait proses seleksi anggota MRP periode 2023-2028 Provinsi Papua, secara khusus mensahkan dan melantikan anggota MRP sebagaimana yang tertuang dalam Pengumuman Plh Gubernur Nomor 161.1/7705/SET Tanggal 10 Juli 2023 tentang calon tetap dan calon terpilih anggota MRP periode 2023-2028 setelah dilakukan verifikasi secara berjenjang dari panitia pemilihan gabungan kabupaten/kota dan Provinsi Papua.
Pemerintah harus berhenti memecah-belah dan menstigma OAP yang telah memenuhi syarat sebagai anggota parlemen dari unsur OAP yang diangkat, karena akan memperburuk penyelenggaraan pemerintahan dan merusak hubungan antara Papua dan Jakarta terkait komitmen negara untuk menjalankan Otsus di Tanah Papua.
“Seharusnya pemerintah turut memperkuat peran MRP sesuai dengan amanat konstitusi dan memberikan ruang yang optimal agar MRP dalam menjalankan tugasya. Juga meminta konsolidasi gerakan masyarakat sipil khususnya OAP untuk memastikan konsistensi anggota MRP dan anggota parlemen khususnya OAP dalam menjalankan agenda keberpihakan terhadap OAP sesuai amanat Undang-Undang Otsus di Tanah Papua,” katanya. (*)