Jayapura, Jubi – Direktur Eksekutif United Liberation Movement for West Papua atau ULMWP, Markus Haluk menyatakan perlawanan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB, termasuk kelompok Egianus Kogoya, adalah untuk mewujudkan Hak Menentukan Nasib Sendiri demi kemerdekaan dan kedaulatan politik bangsa Papua. Ia menyatakan masyarakat Papua sudah tak percaya lagi terhadap penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua oleh pemerintah Indonesia.
Hal itu dinyatakan Haluk kepada Jubi pada Senin (27/2/2023). “Eskalasi kekerasan yang terjadi pada awal tahun 2023 telah menimbulkan ruang ketidakpercayaan rakyat Papua terhadap komitmen pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan konflik dan kekerasan yang terjadi selama enam dekade pendudukan Indonesia di Tanah Papua,” kata Haluk.
Haluk menyatakan penyanderaan terhadap pilot Susi Air berkebangsaan Selandia Baru, Philips Marks Merthens oleh kelompok TPNPB yang dipimpin Egianus Kogoya pada 7 Februari 2023, dugaan penembakan yang menewaskan dua warga sipil di Dogiyai oleh aparat kepolisian pada 21 Januari 2023, dan dugaan penembakan oleh aparat keamanan di Wamena pada 24 Februari 2023 menunjukkan pemerintah Indonesia tidak memiliki peta jalan penyelesaian konflik Papua secara damai, bermartabat dan komprehensif.
“Justru sebaliknya [pemerintah Indonesia] menciptakan, membiarkan dan memelihara konflik yang berlangsung secara kontinyu di Tanah Papua. Kondisi itu membuktikan bahwa orang melanesia di West Papua sedang mengalami proses genosida, ekosida, dan etnosida,” ujar Haluk.
Ia menyatakan konflik dan krisis kemanusiaan yang terjadi di West Papua telah memicu resistensi atau perlawanan rakyat Papua terhadap pendudukan Indonesia. Haluk menyatakan TPNPB merupakan bagian dari gerakan perlawanan yang secara konsisten berjuang mempertahankan tanah air West Papua, termasuk kelompok TPNPB yang dipimpin Brigjen Egianus Kogeya.
“Tuntutan yang diajukan oleh Brigjen Egianus Kogeya secara tegas menjelaskan bahwa konflik Papua tidak dapat diselesaikan oleh pemerintah Indonesia tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menyelesaikan konflik berkepanjangan West Papua,” katanya.
Menurut Haluk, konflik bersenjata yang sedang berlangsung di Kabupaten Maybrat, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Intan Jaya, Puncak Papua, Puncak Jaya, Yapen, dan Nduga telah mengakibatkan ratusan orang yang meninggal dunia, dan 67.000 warga sipil mengungsi dari kampung halamannya. Operasi militer aparat TNI/Polri menggunakan fasilitas sipil untuk kebutuhan transportasi darat dan udara, dan menggunakan sekolah, gereja, dan puskesmas untuk akomodasi pasukan.
Haluk menyatakan dalam sejumlah kesempatan TPNPB telah memperingatkan TNI/Polri agar berhenti menggunakan fasilitas sipil untuk melaksanakan operasi militer, namun tidak dihiraukan. Pembakaran pesawat Susi Air dan penyanderaan terhadap Philip Marthens adalah akumulasi dari tidak diindahkannya peringatan TPNPB terhadap penggunaan fasilitas sipil untuk kepentingan operasi TNI/Polri.
Atas dasar itu, Haluk menyatakan menolak segala upaya pelibatan TNI/Polri, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI, dan institusi pemerintah Indonesia lain untuk mendorong penyelesaian masalah pelanggaran HAM di Papua. Haluk menyatakan masalah pelanggaran HAM itu harus diselesaikan melalui mekanisme internasional, serta meminta akses penuh Dewan HAM Perserikatan Bangsa Bangsa agar melakukan investigasi secara terbuka di West Papua.
ULMWP juga meminta Pemerintah Selandia Baru menghentikan kerja sama kepolisian dengan pemerintah Indonesia. Alasannya, demikian menurut Haluk, aparat TNI/Polri merupakan aktor berbagai peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM di West Papua.
ULMWP menyerukan partisipasi aktif masyarakat internasional dalam penanganan krisis kemanusiaan di Papua Barat, baik di tingkat sub regional Melanesia, regional Pasifik, inter-regional, dan internasional. Masyarakat internasional diminta memperhatikan dampak krisis kemanusiaan terhadap 1,7 juta penduduk asli Papua yang mendiami wilayah Papua Barat. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!