Penerbitan laporan jurnalistik ini adalah hasil kerja kolaborasi Jubi dan Project Multatuli
Manokwari, Jubi – Pagi itu sekitar pukul 07.00 Waktu Papua Barat (WPB) Sarlota Auri bersama ibunya dan beberapa saudaranya berjalan menyusuri rerumputan bersemak menuju kawasan hutan bambu. Warga Kampung Inam, Distrik Kebar, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat itu membawa keranjang di kepalanya.
Sarlota anak perempuan tertua di keluarganya. Setelah suaminya meninggal, ia hidup bersama ibunya yang berusia senja dan beberapa anak perempuannya.
“Kitorang pung (pohon) sagu ini ada di orang lain punya tempat (tanah), tapi kitorang harus jaga, kalau ke depan ada pembangunan di sini kita harus bicara dengan orang punya tempat supaya mereka tidak boleh gusur pohon [hutan] sagunya,” kata Sarlota mengawali percakapan dengan tim Jubi dan Projek Multatuli di lahan sagunya yang terletak dekat hutan bambu pada 18 Oktober 2022.
Sarlota dan keluarganya terpaksa ke dusun sagu itu untuk mengambil sebagian hasil agar diolah dan dijual di bazar demi sumbangan untuk membiayai pembangunan gereja di kampungnya.
Beberapa saudara laki-laki Sarlota bertugas memilih pohon sagu yang layak untuk ditebang. Sedangkan Sarlota dan beberapa saudara perempuannya menyiapkan wadah untuk menampung sagu yang akan ditokok. Mereka membuat beberapa batang bambu yang disusun segi empat dengan alas terpal untuk kolam penampung.
Sekitar 30 menit sagu yang telah ditebang siap untuk ditokok. Kemudian sagu dibawa dengan karung anyaman dari lokasi penebangan ke tempat tokok.
Bagi Sarlota mempertahankan dusun [hutan] sagu merupakan pilihan tepat demi keberlangsungan kehidupan anak-cucunya ke depan. Sarlota pernah mengalami masa-masa kritis pada musim kelaparan ketika ia masih kecil bersama orang tuanya di kawasan Lembah Kebar pada 1980-an.
“Padi ini baru ada sekarang, tapi pada musim kelaparan dulu yang bisa menolong kita hanya sagu dan pisang, serta keladi sebagai makanan pokok. Musim kelaparan berarti tong punya makanan ini yang selamatkan kita,” ujarnya.
Menurut Sarlota kebiasaan tersebut sudah ada sejak dulu. Ketika memasuki musim kelaparan orang tuanya masuk ke dusun sagu untuk mempertahankan hidup.
Pohon sagu milik keluarga Sarlota itu tidak banyak. Hanya beberapa batang saja.
“Kitorang ini setiap saat, walau sudah makan nasi tetapi harus makan sagu, kalau tidak kasbi atau petatas. Kalau makan sagu baru kitorang senang,” kata Markus, saudara laki-laki Sarlota.
Markus mengatakan dusun sagu harus dipertahankan agar dapat memberikan kehidupan kepada generasi berikutnya. “Kalau kitorang tidak bisa pertahankan, bagaimana nasib kitorang punya anak-cucu ade-ade ke depan,” ujarnya.
Dampak baik-buruk kehadiran Jalan Trans
Kepedulian warga untuk mempertahankan pohon-pohon sagu tersebut berawal dari masuknya korporasi atau perusahan perkebunan jagung di kawasan Lembah Kebar. Dusun sagu terbesar digusur bersama dengan tanaman kayu matoa, kayu besi, dan rambutan.
Anike Anari, warga Kampung Anjai mengatakan dusun sagu besar itu habis digusur karena kawasan itu rawa.
“Terus terang masuknya perusahaan itu, selain memberikan kecemasan karena ancaman bagi kami, juga lahan tanah adat kami akan habis,” katanya.
Mathias Anari, juga warga kampung Anjai, mengatakan sejak perusahaan masuk orang-orang perusahaan membujuk warga untuk menjual tanah dengan alasan perusahaan hendak mengembangkan kawasan sawit berskala kecil.
“Kitorang bilang warga di sini sudah tahu, tidak mungkin kelapa sawit dibangun dengan skala kecil. Tetapi semua itu tergantung pemilik hak wilayat, sebab di Kebar ini punya kebiasaan, misalnya dusun sagu milik keluarga lain, tetapi tanah milik keluarga lain, itu kebiasaan kitorang sejak dulu,” ujar Mathias.
Dusun sagu di kawasan itu yang saat ini telah dipakai PT BAPP untuk menanam jagung, menurut warga dulu sangat besar. Namun kini hanya tinggal beberapa pohon. Beberapa pohon sagu itu selamat karena dipertahankan oleh pemiliknya yang tidak setuju dengan kehadiran perusahaan.
Warga Kampung Nisandau, Distrik Kebar menceritakan kehadiran Jalan Trans Papua Barat membawa dampak baik sekaligus dampak buruk. Dampak baiknya, pelayanan transportasi semakin lancar karena telah menghubungkan Kebar dengan berbagai kota di Papua Barat. Ini memudahkan warga menjual hasil kebun ke kota, baik ke Sorong maupun ke Manokwari.
Namun ada juga dampak buruknya. Akses jalan yang lancar dari kota memudahkan orang luar untuk datang. Perusahaan pun masuk membidik lahan yang luas dan subur di Kebar untuk dijadikan perkebunan. Kehadiran perusahaan menjadi ancaman serius bagi hutan dan tumbuhan sagu yang merupakan sumber pangan.
“Sebelum jalan ini dibangun dusun-dusun [hutan] sagu masih banyak, tetapi setelah jalan ini ada dan perusahan mulai masuk kitorang punya dusun sagu mulai tergusur,” kata Mariah, warga Kampung Nisandau.
Binatang buruan seperti rusa liar juga menyingkir entah kemana. Padahal dulu rusa sering berkeliaran dengan laluasan di kampung. “Sekarang kitorang mau cari di hutan saja susah,” ujar Mariah.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mendorong Provinsi Papua Barat menjadi pintu gerbang produksi sagu terbaik Indonesia. Hal itu disampaikan Menteri Syahrul saat mengunjungi area pertanian sagu di Manokwari, Papua Barat pada Selasa, 25 Oktober 2022.
Menteri Syahrul mengatakan sagu adalah komoditas utama masyarakat Papua yang sejak lama menjadi makanan pokok mereka. Menurutnya sagu adalah pemberian Tuhan yang luar biasa dan sudah lama ada dan tidak boleh ditinggalkan. Beras, sagu, dan singkong adalah makanan pokok yang harus dikonsumsi masyarakat.
“Sagu termasuk yang akan kita sikapi, nanti akan kita susun konsepsinya bersama pelaksana tugas gubernur dalam waktu singkat,” kata Menteri Syahrul melalui siaran pers yang diterima Jubi.
Menurut Syahrul, Papua sudah seharusnya menjadi lokomotif pertanian Indonesia, karena memiliki wilayah yang subur dan beragam komoditas lokal. Hal inilah yang nantinya bisa dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional.(*)