Jayapura, Jubi – Kepala Kantor Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM Papua, Frits Ramandey menyatakan Pemerintah Indonesia harus segera memulai dialog damai guna menyelesaikan konflik bersenjata di Papua. Menurut Ramandey, Pemerintah Indonesia mempunyai pengalaman dalam menyelesaikan konflik melalui dialog.
Ramandey menilai pada masa pemberlakuan Otonomi Khusus Papua justru terjadi lebih banyak kekerasan. Komnas HAM mencatat pada 2022 terdapat setidaknya 46 kasus kekerasan yang terjadi di Tanah Papua.
Ramandey menyatakan pada era Otonomi Khusus Papua, kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) justru lebih menunjukkan eksistensinya. Hal itu menunjukkan ada yang salah dalam penerapan Otonomi Khusus Papua.
“Artinya ada yang gagal dalam penerapan Undang-Undang Otonomi Khusus untuk menyelesaikan konflik. Kita mau bikin pembangunan sebagus apapun, tapi konfliknya tidak selesai, maka pemerintah terus dirongrong,” kata Ramandey dalam kuliah umum “Mencari Alternatif Dalam Konflik Bersenjata di Papua” yang diselenggarakan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sains dan Teknologi Jayapura di Kota Jayapura, Sabtu (13/5/2023).
Ramandey menyatakan hanya dialog damai atau dialog kemanusiaan yang dapat menyelesaikan konflik di Papua. Ramandey menyatakan Pemerintah Indonesia maupun TPNPB harus segera menunjuk wakilnya, agar proses dialog damai dapat segera dimulai.
“Dalam konteks penyanderaan pilot [Susi Air] sekarang, Egianus [Kogoya] satu-satunya yang menjadi kunci dan harus bersedia menunjuk siapa yang dipercaya. Orang yang dipercayai Egianus tidak boleh dirongrong oleh Negara. Dia harus diberikan akses [dan] kebebasan untuk berkomunikasi dalam rangka penyelesaian konflik,” ujarnya.
Pada 9 Februari 2023 Komnas HAM mencabut komitmen atas kesepakatan itu. Alasannya karena kesepakatan itu dibuat di luar forum sidang paripurna Komnas HAM periode 2017-2022. Komnas HAM juga menyatakan pihaknya tidak dapat menjadi para pihak dalam nota kesepahaman itu, karena lembaganya bukan pihak dalam konflik di Papua.
Walaupun Komnas HAM mencabut komitmennya terhadap Nota Kesepahaman Jeda Kemanusian di Papua, Ramandey menyatakan Komnas HAM tetap berupaya mendorong dialog kemanusian.
“Komnas HAM menyebut dialog kemanusian, supaya hanya orang terpilih OPM, TPNPB, korban atau keluarga korban, dan Pemerintah Indonesia. Jadi yang boleh menghadirkan dialog kemanusian adalah orang yang terpilih menghadiri forum itu. Jangan orang yang dipilih melalui mekanisme intelijen. Ketemu presiden di Jayapura. Nanti ke Jakarta orang yang sama lagi. Nah orang itu tidak bisa akan menyelesaikan konflik,” katanya.
Ramandey menyatakan Pemerintah Indonesia mempunyai pengalaman dalam penyelesaian konflik melalui dialog, seperti yang dilakukan dengan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia pada 2005. Ramandey menyatakan dialog kemanusian harus segera dimulai guna mencegah semakin banyak warga sipil yang menjadi korban.
“Kalau [tidak segara dimulai], dan banyak korban sipil [akibat konflik], maka Perserikatan Bangsa Bangsa akan menggunakan mekanisme intervensi. Dan [jika hal itu terjadi] tidak mungkin [PBB] hanya [bicara] masalah HAM, tetapi referendum bisa saja terjadi,” ujarnya. (*)