Jayapura, Jubi – Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM RI, Atnike Nova Sigiro menyatakan Komnas HAM mencabut komitmen Komnas HAM RI terhadap kesepakatan yang tertuang dalam Nota Kesepahaman Jeda Kemanusian Bersama di Papua. Hal itu disampaikan Atnike di Jakarta pada Kamis (9/2/2022).
Atnike menyatakan proses inisiatif penandatanganan Nota Kesepahaman Jeda Kemanusiaan Bersama oleh Komnas HAM periode 2017-2022 tidak sesuai prosedur dan mekanisme pengambilan keputusan Komnas HAM RI. Atnike menyatakan dokumen jeda kemanusian yang diterima Komnas HAM menunjukkan bahwa keputusan Komnas HAM RI menandatangani Nota Kesepahaman Jeda Kemanusiaan Bersama bukan keputusan lembaga, karena keputusan itu dibuat di luar forum sidang paripurna Komnas HAM periode 2017-2022.
Atnike menyatakan Komnas HAM juga bukan lembaga yang tepat untuk menandatangani kesepakatan jeda kemanusiaan, karena Komnas HAM bukan lembaga yang terlibat dalam konflik Papua. Menurut Atnike, Komnas HAM periode 2022 – 2027 tidak pada posisi untuk melanjutkan kesepakatan yang tertuang dalam Nota Kesepahaman Jeda Kemanusiaan Bersama.
“Komnas HAM adalah bukan pihak yang sedang berkonflik di Papua. Dengan demikian tidak tepat jika Komnas HAM menandatangani nota kesepahaman atau MoU Jeda Kemanusian sebagai salah satu pihak,” kata Atnike.
Nota Kesepahaman Jeda Kemanusiaan Bersama ditandatangani ULMWP, Majelis Rakyat Papua, dan Komnas HAM RI di Jenewa, Swiss, pada 11 November 2022. Penandatangan itu dilakukan sebagai respon atas sejumlah krisis kemanusiaan yang disebabkan konflik bersenjata berkepanjangan di Tanah Papua, meliputi permasalahan pengungsi, pemantauan terhadap kekerasan dan pelanggaran HAM, dan upaya mendorong dialog kemanusian di Papua.
Meskipun tidak akan berkomitmen lagi terhadap berbagai kesepakatan dalam nota kesepahaman itu, Atnike menyatakan Komnas HAM RI tetap terbuka kepada upaya-upaya dialog kemanusiaan untuk mendorong situasi HAM yang lebih kondusif di Papua. “Komnas HAM terus memberikan perhatian terhadap situasi HAM di Papua [yang] menjadi salah satu isu prioritas Komnas HAM periode 2022-2027, diantaranya seperti persoalan pengungsi, serta pemantauan konflik dan kekerasan,” ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif ULMWP, Markus Haluk menyatakan pihaknya kecewa karena pemerintah tidak serius menindaklanjuti kesepakatan dalam Nota Kesepahaman Jeda Kemanusiaan Bersama. Hal itu dinyatakan Markus Haluk melalui keterangan pers tertulisnya pada Selasa (7/2/2023).
“Kini kami sangat kecewa. Meskipun upaya dan kepatuhan kami terhadap Nota Kesepahaman Jeda Kemanusiaan Bersama sangat konsisten, Komnas HAM dan lembaga terkait di dalam Pemerintah Indonesia belum menunjukkan komitmen apapun terhadap kesepakatan itu,” kata Haluk.
Haluk menyatakan United Liberation Movement for West Papua memandang Nota Kesepahaman Jeda Kemanusiaan Bersama atau MoU JKB itu adalah kesepakatan untuk menerapkan serangkaian langkah dengan niat tulus menciptakan kondisi yang kondusif untuk membuka jalan dalam proses damai.
“[Jalan menuju proses damai itu ditempuh] melalui pemberian jaminan keselamatan dan kekebalan hukum serta kegiatan-kegiatan membangun kepercayaan di antara para pihak. Kegiatan untuk membangun kepercayaan di antara para pihak itu diantaranya pemberhentian permusuhan secara bersyarat, penanganan masalah Hak Asasi Manusia, bantuan terhadap situasi kemanusiaan pengungsi dan tahanan politik Papua, pelibatan aktor dalam proses penjajakan, dan sosialisasi proses damai,” kata Haluk.
Ia menyatakan kecewa karena Tim Jeda Kemanusiaan belum juga dibentuk. Padahal, ULMWP, Dewan Gereja Papua, dan Majelis Rakyat Papua sudah mengirimkan daftar nama orang yang diusulkan untuk menjadi anggota tim itu. Hingga kini, juga tidak ada proses untuk memastikan akan adanya jaminan keamanan dan kekebalan hukum bagi orang yang menjadi anggota Tim Jeda Kemanusiaan.
Haluk juga kecewa karena Komnas HAM RI tidak menunjukkan upayanya untuk memastikan perpanjangan jaminan perlindungan bagi delegasi Papua yang sepanjang 2022 terlibat dalam proses penjajakan menuju perundingan damai. Selain itu, juga tidak ada narapidana ataupun tahanan politik Papua yang dilibatkan dalam upaya membentuk Tim Jeda Kemanusiaan, sebagaimana ketentuan yang disepakati dalam Nota Kesepahaman Jeda Kemanusiaan Bersama.
“Penghentian permusuhan bersama dan penangguhan operasi militer di Kabupaten Maybrat belum terjadi karena persyaratan dalam MoU JKB tidak dipenuhi oleh Komnas HAM dan lembaga Pemerintah Indonesia. Tidak ada pertemuan ataupun survey atas situasi pengungsi Maybrat [maupun] kondisi kerentanan dan kebutuhan kemanusiaan yang dialami oleh para pengungsi. Perihal di atas tersebut adalah semua fakta. Jika terdapat komplain, kami siap membuktikannya sesuai dengan isi MoU JKB,” kata Haluk. (*)
