Jayapura, Jubi – Komite Nasional Papua Barat atau KNPB menggelar demonstrasi memperingati perjanjian New York 1962 di Kota Jayapura, pada Selasa (15/6/2023). Dalam aksi itu KNPB meminta agar Perjanjian New York 1962 ditinjau kembali, dan menyerukan referendum bagi kemerdekaan bangsa Papua.
KNPB menggelar aksi demonstrasi secara serentak di Tanah Papua dan di wilayah Indonesia lainnya. Di Kota Jayapura semula aksi demonstrasi digelar di beberapa titik di antaranya di Expo, gapura Kampus Universitas Cenderawasih Waena dan Abepura dan Lingkaran Abepura.
Para demonstrasi direncanakan akan menuju ke DRP Papua, tetapi mereka dilarang polisi. Massa aksi yang berasal dari Perumnas 3 Waena dan Expo diadang polisi di depan SMP Gembala Baik dan dilarang menuju Abepura.
Massa aksi yang melakukan orasi di depan SMA Negeri 1 Jayapura di Abepura dibubarkan polisi dengan water canon. Para demonstrasi kemudian berkumpul dan melakukan orasi di lapangan Zakheus Asrama Tunas Harapan Abepura.
Di Lapangan Zakheus Abepura, aksi demonstrasi dimulai dengan tari waita dan meneriakan pekikan “Papua Merdeka”. Para demonstrasi juga membawa bendera bertuliskan “KNPB lawan” dan sejumlah poster bertuliskan “Hentikan Operasi Militer di Papua”. Sejumlah massa aksi mengenakan simbol bendera Bintang Kejora di tubuh mereka.
Dalam orasinya, Ketua Umum KNPB, Agus Kossay mengatakan perjanjian New York 1962 merupakan awal penderitaan bagi rakyat Papua. Kossay mengatakan perjanjian itu sama sekali tidak melibatkan Orang Asli Papua.
“Perjanjian New York tidak melibatkan OAP. PBB segera bertanggung jawab. Perjanjian ilegal itu untuk memaksakan Papua bergabung dengan Indonesia,” kata Kossay dalam orasinya.
Kossay mengatakan perjanjian itu mengorbankan Orang Asli Papua demi kepentingan Amerika Serikat dan Pemerintah Indonesia. Kossay mengatakan Orang Asli Papua semakin hidup dalam ketakutan dan menjadi korban pelanggaran HAM.
Kossay mengatakan permasalah dan konflik yang berkepanjangan di Tanah Papua hanya dapat diselesaikan melalui referendum bagi kemerdekaan bangsa Papua. Kossay mengatakan Indonesia sebagai negara demokrasi seharusnya tidak menghalangi kemerdekaan Papua.
“Hari ini kami minta cari jalan damai. Indonesia sebagai negara demokrasi coba buktikan itu. Negara demokrasi harus menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. KNPB selalu serukan jalan damai referendum bagi bangsa Papua. KNPB tidak melawan dengan senjata, KNPB punya senjata megafon, bendera dan poster,” ujarnya.
Orasi di Lapangan Zakheus Asrama Tunas Harapan Abepura itu berakhir pukul 15.31 sore. Aksi itu dijaga ketat puluhan personal dari Kepolisian Resor Jayapura Kota dan Kepolisian Daerah Papua, dan mobil water canon.
Perjanjian New York 1962 adalah perjanjian antara Belanda dan Indonesia yang menyepakati pengalihan penguasaan Tanah Papua dari Belanda kepada Indonesia, dan pelaksanaan referendum bagi setiap Orang Asli Papua dewasa untuk menentukan pilihan masa depan bangsa Papua, atau one man one vote.
Perjanjian yang ditandatangani pada 15 Agustus 1962 ini dibuat tanpa melibatkan Orang Asli Papua Kesepakatan untuk melaksanakan referendum akhirnya direduksi menjadi Penentuan Pendapat Rakyat pada 1969 yang mengganti mekanisme one man one vote dengan musyawarah yang hanya diikuti perwakilan yang ditunjuk untuk menyatakan pendapatnya.
Selain menuntut referendum, KNPB juga meminta Pemerintah Indonesia segera membebaskan seluruh tahanan politik gerakan Papua Merdeka di seluruh West Papua. KNPB menegaskan berbagai penangkapan dan pemenjaraan aktivis Papua merdeka disebabkan kesalahan proses penentuan nasib sendiri bangsa Papua yang tidak berjalan sesuai aturan dan prinsip-prinsip Hukum Internasional.
KNPB tidak menerima hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, dan mengklaim 1 Desember 1961 sebagai hari kemerdekaan bangsa Papua. KNPB menilai pelaksanaan Pepera 1969 tidak sesuai isi Perjanjian New York, sehingga rapat Papua menolak klaim kedaulatan Indonesia atas Papua.
KNPB juga mendeklarasikan bulan Agustus sebagai bulan rasis bagi bangsa Papua. Bulan Agustus dinilai sebagai bulan dengan sejarah pahit bagi bangsa Papua, termasuk insiden rasisme yang ditujukan kepada mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019 yang memicu gelombang besar demonstrasi di berbagai kota di Papua dan Indonesia, serta berujung kepada penangkapan dan pemenjaraan para aktivis Papua. (*)