Jayapura, Jubi – Gustaf Adolof Ohee, pelaku pertambangan rakyat di Bumi Perkemahan (Buper) Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura, Papua, bercerita bagaimana perjuangannya untuk mendapat izin, agar usaha pertambangan rakyat yang digelutinya tidak dianggap ilegal oleh pemerintah.
Hal ini disampaikan Gustaf Adolof Ohee saat hadir dalam sosialisi Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) Pertambangan Rakyat dan Perdasi Penanganan Konflik Sosial oleh anggota Badan Pembentukan Peraturan Daerah DPR Papua, John NR Gobai di aula Pusat Pengembangan dan Pembinaan Wanita Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua (P3W GKI) di Padang Bulan, Distrik Hedam, Kota Jayapura, Papua pada Selasa (31/10/2023).
Menurutnya, upaya untuk mendapat Izin Pertambangan Rakyat atau IPR dilakukannya sejak 2021, setelah Pemerintah Kota Jayapura menertibkan penambangan rakyat di tanah hak ulayatnya di Buper Waena, yang ketika itu dikelola oleh pihak ketiga.
“Ketika itu yang mengelola orang lain, bukan saya. Saya hanya statusnya pemilik lahan ketika itu. Setelah saya belajar dari mereka, saya mulai berupaya mengelola sendiri dan mulai mengurus izin,” kata Gustaf Adolof Ohee saat hadir dalam sosialisasi.
Untuk mendapat Izin Pertambangan Rakyat (IPR), Gustaf Adolof Ohee bahkan mendatangi Kantor Staf Presiden (KSP) di Jakarta, guna menanyakan bagaimana caranya ia bisa mendapat izin.
“Saya ke KSP dan menyatakan, saya datang untuk mencari izin tambang. Mereka menanyakan bukti-bukti, saya bilang saya pemilik tanah dan tambang sendiri. Saya hanya mau mencari tahu bagaimana mengurus izinnya, karena saya tidak mau diintimidasi saat saya mengelola tanah saya sendiri,” ucapnya.
Ia pun disarankan membentuk badan koperasi produsen tambang. Setelah mengurus semuanya, Adolof Ohee ke Jakarta dan akhirnya masuk 10 besar di Indonesia untuk koperasi produsen tambang, dan menjadi satu-satunya di Papua.
Ohee kemudian diminta menyiapkan segala sesuatu untuk penentuan wilayah pertambangan rakyat atau WPR oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Kalau WPRnya sudah dikeluarkan Kementerian ESDM, maka koordinatnya di Papua dan Papua Barat akan dimasukkan dalam koperasi produsen tambang kami, dan akan berhubungan langsung ke investor. Karena waktu itu yang saya ambil adalah untuk wilayah Papua dan Papua Barat karena Papua belum dimekarkan,” ujarnya.
Gustaf Adolof Oheee mengatakan, untuk dokumen pendirian koperasi produsen tambang yang didirikannya, sudah mengantongi Surat Keputusan atau SK Kementerian Hukum dan HAM, sudah memiliki nomor pokok wajib pajak atau NPWP bahkan sudah mendapat rekomendasi dari ondoafi untuk hak mengusahkan tanahnya sendiri.
“Artinya koperasi saya sudah sah, mestinya pemerintah mendukung saya. Tinggal WPRnya saja yang saya tunggu. Sekarang ini saya masih menunggu rekomendasi dari Pemkot Jayapura, untuk dikirim ke Jakarta agar WPRnya diterbitkan,” kata Adolof Ohee.
Hanya saja lanjut Ohee, hingga kini ia belum mendapat kepastian dari Pemkot Jayapura melalui instansi terkait.
“Kami masyarakat meminta pemerintah membantu kami agar usaha kami tidak dianggap ilegal, meski yang kami kelola itu adalah tanah kami sendiri. Dengan begitu, masyarakat dapat haknya dan pemerintah juga dapat haknya,” ucap Adolof Ohee.
Sementara itu, Anggota Badan Pembentukan Peraturan Daerah DPR Papua, John NR Gobai mengatakan, areal penambangan milik Gustaf Adolof Ohee di Buper masuk dalam kawasan aral penggunaan lainnya atau APL.
“Artinya, itu boleh saja digunakan. Untuk itu, kita perlu bersama mendorong agar Bapak Gustaf Adolof Ohee bisa mengelola tanah adatnya sendiri secara legal,” kata Gobai.
Gobai menjelaskan, untuk penetapan WPR oleh Kementerian ESDM, mesti ada usulan dari bupati/wali kota ke gubernur dan gubenur mengusulkan ke kementerian.
“Setelah kementerian menetapkan WPR, gubenur akan mengeluarkan Izin Pertambanhan Rakyat atau IPR. Ini sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009,” ucapnya.
Menurutnya, setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2020, pengajuan perbitan WPR dan IPR lebih mudah. Luasan tambang rakyat yang dulunya hanya diperbolehkan 25 hektare kini menjadi 100 hektare.
“Dalam Perdasi Papua tentang pertambangan rakyat, juga diperbolehkan penggunaan alat berat dalam penataan. Tapi harus dikonsultasikam dengan Dinas ESDM. Ini memang tidak ada dalam undang-undang, tapi itu aspirasi lokal yang kami masukkan dalam perdasi,” ujar Gobai. (*)