Jayapura, Jubi – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua ( DPR Papua) John NR Gobai mengatakan, harus ada sikap yang jelas dan tegas dari Pemerintah terkait Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di Degeuwo, Paniai dan Pertambangan Rakyat di Tanah Papua. Bukan dibiarkan begitu saja sebagai dompet dari oknum investor tertentu.
Dia mengatakan, pada 2017 telah ditetapkan WPR di Papua. Namun belum ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah agar rakyat harus menjadi lebih penting. Bukan investor.
“Upaya kami mendorong agar WPR dikelola rakyat didukung oleh Kementerian ESDM mengeluarkan Kepmen ESDM RI, Nomor :90.K/MB.01/MEM.B/2022 Tanggal: 21 April 2022 Tentang Wilayah Pertambangan Provinsi Papua, telah ditetapkan 12 Blok WPR di Pegunungan Bintang dan 16 Blok WPR di Yahukimo.itu artinya telah ada hampir 30 Blok WPR di Papua harus ditindaklanjuti oleh pemerintah. Pemerintah tidak bisa terus bekerja dibawah bayang bayang investor, tanah ini bukan kue yang dibagi bagi oleh pemerintah kepada investor,”katanya kepada Jubi melalui sambungan selulernya, Senin (16/10/2023).
Gobai mengapresiasi sikap Pemprov Papua Tengah ” Kemarin saya mendapat kabar Pemprov Papua Tengah akan mendorong WPR di beberapa wilayah di Papua tengah, Degeuwo harus ditetapkan sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), izinnya yaitu IPR dipegang oleh Pemilik Hak Tanah.
Pada 2009, banyak tuntutan masyarakat dari berbagai kelompok. Baik di tingkat provinsi maupun kabupaten. Ada yang menghendaki tambang di Degeuwo ditutup. Ada yang mengatakan sebaliknya. Ada juga yang sudah mengatur dengan beberapa perusahaan. sementara Pemda Paniai membuat Perda tentang Pertambangan dan ingin memberi izin kepada beberapa pengusaha.
“Saya mengetahui bahwa telah ada izin bupati karena saya ikut mediasi antara masyarakat dan perusahaan kami bikin pertemuan terbuka disaksikan semua orang di Bayabiru. Pemprov Papua telah memberi izin eksplorasi kepada PT. Benliz Pacific milik Beni Ang Jaya, untuk wilayah Degeuwo, Paniai. Walau ada izin Bupati Paniai tahun 2010 namun Pemprov Papua tidak mengakui karena mereka merasa bukan kewenangan bupati, padahal salah karena sesuai UU No 4 tahun 2009, kewenangan pemberian izin dalam wilayah satu kabupaten adalah kewenangan Bupati, Pemprov menggunakan Pergub No 41 tahun 2011 yang isinya mengatur semua izin dikeluarkan oleh Gubernur, tentu ini bertentangan dengan UU No 4 tahun 2009. Gubernur Papua saat itu Bas Suebu kemudian mengeluarkan Instruksi Gubernur Papua Nomor, 1 Tahun 2011 tentang Pemberhentian Kegiatan Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di seluruh Wilayah Provinsi Papua tanggal 9 Mei 2011,” katanya.
Gobai mengatakan saat gubernur Papua, Bas Suebu,SH, isi dari INGUB, menghentikan semua aktivitas kegiatan Pertambangan Emas Tanpa Ijin (PETI) di wilayah masing-masing yang berada di dalam Wilayah Hutan Lindung, Kontrak Karya (KK) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
“Saya mengikuti kasus di beberapa tempat dimana pendulang digusur karena ada IUP kemudian konflik, saya tahu, di Degeuwo banyak pendulang Papua. Tentu bila Ingub dipaksakan akan konflik, dengan mengabaikan semua izin di atas, kami mengusulkan kepada Bupati Paniai, Naftali Yogi agar mendorong WPR di Degeuwo, Paniai, tekad kami satu anak asli harus menjadi tuan di atas SDA di wilayah hak adat mereka, mereka harus pegang izin tambang, orang yang datang kerja di bawah izin mereka, agar dengan begitu bisa meningkatkan kesejahteraan dalam keluarganya,” katanya.
Gobai saat menjabat menjadi Ketua Dewan Adat Paniai dengan tegas mengusulkan kepada pemerintah daerah agar mengesampingkan Ingub Papua dan menolaknya.
“Cara kami menolak adalah Dewan Adat Paniai, mengajukan permohonan kepada Gubernur Papua dengan surat 009/1.3/DADP/III/2012 tanggal 17 Maret 2012, perihal Permohonan pencabutan IUP yang dikeluarkan Gubernur Papua terhadap PT.Benliz Pasific dan meminta Bupati Paniai mencabut IUP yang dikeluarkan untuk 3 (tiga) perusahaan yaitu PT.Salomo Mining, CV.Computer dan PT.Madinah Qurataain.
Sebelumnya pada bulan januari 2012 Dewan Adat Daerah Paniai telah menyurat Bupati Paniai untuk mencabut IUP yang dikeluarkan untuk 3 (tiga) perusahaan yaitu, PT.Madinah Qurrata’ain, PT.Salomo Mining, CV.Komputer, dan menetapkan Degeuwo sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat.
“Atas perjuangan panjang, akhirnya pada tanggal 22 November 2012, Tim Dinas Pertambangan Provinsi Papua, yang terdiri dari; Bp. Drs. Fred Boray, Bp. Ir. Edy Pangaribuan, Yance Susim,dkk didampingi Ketua Dewan Adat Paniai, John Gobai, mengadakan kunjungan ke dua titik lokasi pendulangan emas Degeuwo yaitu di Amano dan lokasi ndeotadi 99 sampai 81 untuk melihat lokasi dan aktivitas dari dekat dan ingin mengetahui apa yang menjadi keinginan masyarakat, di Amano (Pa Fred dan Pa Edi) dari Lokasi Ndeotadi 99 sampai 81 (Pa Yance Susim, Cs) dalam pertemuan itu masyarakat intinya menyatakan menolak perusahaan pemegang IUP dan meminta agar dilegalkan kegiatan mereka dengan jalan menetapkan WPR di Degeuwo,” katanya.
Kebijakan Dinas Pertambangan Papua saat itu
Gobai mengatakan, tuntutan masyarakat sudah disampaikan. Namun terlihat jelas sikap Dinas Pertambangan tidak berpihak kepada masyarakat. Lebih kepada investor yaitu dengan mengeluarkan izin eksplorasi kepada PT.Benliz Pacific, ketimbang memproses penetapan WPR sesuai dengan usulan Bupati Paniai tahun 2012. Hal ini telah menunjukan lemahnya keberpihakan pemerintah kepada Masyarakat.
“Di sisi lain Pemda Paniai terlihat agak kaku dalam mengatur dan menata Degeuwo. Di sisi lain PT.Madinah Qurrata’ain terus bermanuver untuk melakukan aktivitas di Degeuwo. Saya terus sampaikan kita realistis saja. Kegiatan rakyat ini sudah berjalan namun belum diatur secara baik, tetapi lebih kepada menguntungkan oknum oknum tertentu saja. Pemprov mestinya memproses tuntutan rakyat tetapi bayang bayang investor terus membayangi Dinas Pertambangan Papua, sehingga PT.Benliz Pasific pada tahun 2013 mendapat Izin Eksplorasi, sementara hasil kunjungan tim dinas pertambangan Papua ke Degeuwo tahun 2012 menjadi sia -sia saja,” katanya.
Gobay mengatakan, perusahaan ini juga melakukan manuver dengan meminta oknum aparat untuk membackup rencana operasi perusahaannya, sesuai dengan Ingub 1 Tahun 2011. Maka hampir saja dilakukan sebuah upaya penertiban oleh Tim Provinsi. Namun menurutnya aneh mengapa hanya Degeuwo, sementara PETI juga ada di Topo dan Timika. “Akhirnya hal itu tidak jadi dilakukan, karena advokasi yang terus kami lakukan,”.
“Akhirnya Tahun 2017 kami bertemu Menteri ESDM RI Bp, Jonan dan menyerahkan usulan penetapan WPR di Paniai, akhirnya disetujui, Kepmen ESDM No. 3675 K/30/MEM/2017 tentang Penetapan Wilayah Pertambangan Pulau Papua Total Luas WPR 2.580 ha, Namun sayang selama ini tidak pernah ditindaklanjuti. Tahun 2017 kami bertemu Menteri ESDM minta penetapan WPR untuk beberapa titik di Paniai termasuk Degeuwo dengan Kepmen Peta WP Pulau Papua 2017,” katanya.
Gobai mengatakan, guna mendukung advokasi pada tahun 2013, dirinya menulis buku berjudul Pertambangan Rakyat di Papua dari PETI menjadi WPR.
“Bagi saya komitmen harus konsisten di perjuangkan, walau banyak prasangka buruk, curiga dan lain lain saya terus berjuang agar Degeuwo menjadi WPR, cukup sudah Freeport orang ambil yang kecil kecil biarlah anak anak papua kelola agar mereka menjadi tuan atas bahan tambangnya,”katanya.
Setelah menjadi Anggota DPRP Tahun 2017 ia mengusulkan Raperdasi Papua Tentang Pertambangan Rakyat di Provinsi Papua, upaya itu katanya berhasiul dengan ditetapkan dan disahkannya Perdasi Papua No 7 tahun 2020 tentang Pertambangan Rakyat. (*)