Jakarta, Jubi – Wakil Menteri Dalam Negeri, Jhon Wempi Wetipo, menyatakan pembangunan di Tanah Papua akan semakin masif pasca peresmian empat provinsi baru hasil pemekaran Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Oleh karena itu, perlu adanya keseimbangan dalam pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan menjamin pemenuhan kebutuhan generasi mendatang.
Hal itu disampaikan Wetipo dalam temu interaktif “Mendorong Pelembagaan Pembangunan Berkelanjutan di Papua” yang diselenggarakan oleh KEMITRAAN di Jakarta, Selasa (28/2/2023). Diskusi itu membahas perencanaan pembangunan rendah karbon pasca peresmian empat provinsi baru.
“Dengan adanya pemekaran, akan ada pembangunan infrastruktur dan berpotensi merusak lingkungan. (Itu) harus dikawal dari sekarang. KEMITRAAN dan Kementerian Dalam Negeri akan mengawal terus, dan mencoba menjaga agar tidak terjadi kerusakan lingkungan di Tanah Papua,” kata Wetipo, sebagaimana dikutip dari keterangan pers tertulis yang diterima Jubi pada Rabu (1/3/2023).
Wetipo menyebut proses pembangunan Tanah Papua pasca pembentukan empat provinsi baru perlu memperhatikan banyak hal, termasuk konteks lokal. “Pembangunan dengan mempertimbangkan kelestarian alam serta kearifan lokal menjadi kunci keberhasilan membangun Papua,” sambungnya.
Ia juga menyebut salah satu tindak lanjut peresmian empat provinsi baru yang harus dilakukan adalah memperkuat komitmen dan kolaborasi antar pemangku kepentingan, serta mengembangkan inovasi untuk pembangunan berkelanjutan di Papua.
Direktur Eksekutif KEMITRAAN, Laode M Syarif menyebut kajian lembaganya menemukan kolaborasi antar kementerian/lembaga pemerintah pusat dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) menjadi kunci pembangunan berkelanjutan di Papua. Melalui Program BERKILAU (Bersama Kita Lestarikan Alam Papua), KEMITRAAN melakukan kajian untuk mendorong harmonisasi aspirasi nasional, daerah, dan Orang Asli Papua (OAP) pasca peresmian empat provinsi baru.
Salah satunya dengan melakukan serangkaian dialog kebijakan antar berbagai pemangku kepentingan, baik pembuat kebijakan maupun masyarakat sipil. Dialog itu bertujuan mengoptimalkan koordinasi pembangunan rendah emisi dan berkeadilan yang efektif. “Hasil dari dialog tersebut kemudian dituangkan dalam Policy Brief Pelembagaan Pembangunan Rendah Karbon di Pulau Papua,” kata Laode.
Secara regulasi, Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat dapat menjadi acuan kolaborasi. Namun Laode menyebut pada implementasinya kolaborasi antar lembaga itu mengalami sejumlah hambatan, sehingga prosesnya tertunda.
“Salah satu contohnya, belum adanya referensi tunggal pendekatan pembangunan rendah karbon yang dapat digunakan oleh pemerintah daerah. Masing-masing kementerian/lembaga memiliki versinya sendiri tentang definisi pembangunan berkelanjutan. Hal itu menyebabkan tumpang-tindih peran dan kebingungan pemerintah daerah,” sebutnya.
Laode menyatakan temuan itu teridentifikasi pasca diskusi di tingkat nasional dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN), dan Kantor Wakil Presiden (Setwapres). [Temuan itu juga teridentifikasi dalam pertemuan dengan] pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat lokal di tingkat provinsi,” tuturnya.
Laode berharap hasil dari diskusi hari itu dapat menjadi titik temu antara partisipasi OAP yang inklusif dengan proses pembuatan kebijakan yang transparan pasca peresmian empat provinsi baru. “[Hal itu] untuk memastikan pembangunan berkelanjutan di Tanah Papua dapat menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat lokal, dan menjaga kelestarian alamnya,” tutupnya.
Pertemuan pada Selasa itu dilaksanakan sebagai bagian dari dialog kebijakan yang akan mempertemukan pelaksana pembangunan di Papua. Mereka adalah perwakilan kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, organisasi masyarakat sipil yang mewakili OAP, dan akademisi yang mendiskusikan peta jalan percepatan pembangunan di Pulau Papua.
Terdapat tiga tema yang dibahas pada diskusi pada Selasa. Ketiga tema itu adalah kebijakan pembangunan di Tanah Papua, kebijakan daerah terkait pembangunan berkelanjutan, dan peran organisasi masyarakat sipil dan akademisi dalam pembangunan berkelanjutan di Tanah Papua. (*)