Jayapura, Jubi – Penggantian Kepala Sekolah Menengah Atas Negeri atau SMAN 3 Jayapura berbuntut panjang, karena membuat para siswa kelas X belum bisa bersekolah. Gara-garanya, pencopotan kepala sekolah yang sebelumnya berstatus Kepala Sekolah Penggerak membuat para guru kebingungan soal kurikulum apa yang akan diterapkan di SMAN 3 Jayapura.
Menurut Pengawas dan Pembina SMAN 3 Jayapura, Dra Yustanti MPd, hingga kini para siswa kelas X SMAN 3 Jayapura belum mengikuti Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah atau MPLS bagi siswa baru. Padahal, dalam MPLS itu para siswa seharusnya menerima penjelasan tentang kekhususan kurikulum SMAN 3 Jayapura yang berstatus Sekolah Penggerak di Kota Jayapura.
“Masalah sekarang ini, kelas X belum berjalan dengan baik, apalagi belum MPLS. Dalam kegiatan MPLS itu, salah satunya ada pengenalan kurikulumnya. Kurikulumnya kan kami belum tahu [akan] melaksanakan [kurikulum] apa. Apakah kami bisa menjalankan kurikulum Sekolah Penggerak, yaitu Kurikulum Merdeka, karena kepala sekolah sudah dipindah? Atau, [apakah] otomatis kami harus memakai kurikulum 2013,” kata Yustanti di Kota Jayapura, kepada Jubi, pada Senin (25/7/2022).
Pada Mei 2022, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan, Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi (Plt Kadis PPAD) Papua, Protasius Lobya memberhentikan Kepala SMA Negeri (SMAN) 3 Jayapura lama, Anton Djoko Martono. Protasius Lobya kemudian menunjuk Janet Berotabuni menjadi kepala sekolah yang baru.
Padahal, Anton Djoko Martono sudah lulus tes sebagai pelaksana Program Sekolah Penggerak, sehingga SMAN 3 Jayapura ditetapkan sebagai Sekolah Penggerak, dan seharusnya menerapkan Kurikulum Merdeka. Yustanti menyatakan penerapan Kurikulum Merdeka sangat bertumpu kepada kepala sekolah yang telah lulus seleksi pelaksana Sekolah Penggerak.
“Kebetulan [Pak Anton Djoko Martono] sudah diseleksi, [dan] beliau lulus. Yang diseleksi itu murni kepala sekolahnya. Setelah [kepala sekolah] lulus seleksi dan ditetapkan dengan SK, lalu kepala sekolah menjalankan [Program] Sekolah Penggerak. Dan memang dalam persyaratan Kepala Sekolah Penggerak tidak bisa dimutasi dalam empat tahun,” ujarnya.
Yustanti mengatakan SMAN 3 Jayapura tetap ingin menjalankan kurikulum Sekolah Penggerak. Namun, kata Yustanti, untuk melaporkan penggunaan Kurikulum Merdeka tu, SMAN 3 Jayapura harus melapirkan SK penetapan Kepala Sekolah Penggerak.
“Kami masih bingung kurikulum apa yang harus dijalankan. Kalau berbicara tentang Data Pokok Pendidika, untuk memilih penerapan kurikulum [merdeka], otomatis [kami] harus mengunggah SK (Kepala Sekolah Penggerak],” kata Yustanti.
Salah satu guru SMAN 3 Jayapura, Anang Wahyudi mengatakan pihaknya sudah menyusun jadwal Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah atau MPLS. Akan tetapi, para guru kebingungan tentang apa yang akan disampaikan dalam MPLS, khususnya mengenai kurikulum apa yang akan diajarkan kepada para siswa kelas X.
“Kita akhirnya tambah bingung, apa yang akan dibicarakan dalam MPLS. Di kelas X, MPLS seperti apa itu kan harus jelas. Kami harus bicarakan ulang,” ujarnya.
Wahyudi mengatakan bahwa jika MPLS tetap dilaksanakan, kemungkinan pihak sekolah akan tidak bisa menyampaikan pengenalan kurikulum merdeka kepada para siswa kelas X. Ia mengatakan para guru menyerahkan sepenuhnya persoalan itu untuk diselesaikan para orangtua murid dan alumni. (*)
Discussion about this post