Jayapura, Jubi – Masyarakat adat suku Awyu berharap Mahkamah Agung akan mengabulkan kasasi mereka dalam perkara gugatan tata usaha negara atas izin kelayakan lingkungan PT Indo Asiana Lestari yang diterbitkan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terbuka Satu Pintu atau DPMPTSP Papua. Kasasi itu telah diajukan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN Jayapura di Kota Jayapura, Provinsi Papua, pada Kamis (14/3/2024).
Hal itu disampaikan masyarakat adat suku Awyu, Kasimilus Awe pada Jumat (15/3/2024). Awe adalah memiliki tanah adat di Kampung Makmur, Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel.
“Harapan kami perusahaan tidak boleh masuk dan izinnya dicabut. [Supaya] ke depan hidup kami aman. Yang kami mau ada keadilan, kami tidak mau menjadi korban akibat pembangunan yang merusak hutan dan tanah adat kami,” ujar Awe saat dihubungi melalui panggilan telepon, Jumat.
Perkara itu terkait izin kelayakan lingkungan yang diterbitkan DPMPTSP Papua untuk perkebunan kelapa sawit PT Indo Asiana Lestari atau PT IAL. Izin yang digugat masyarakat adat Suku Awyu itu mencakup rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit seluas 36.096,4 hektare di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan. Masyarakat adat Suku Awyu selaku penggugat menyatakan izin itu diterbitkan tanpa sepengetahuan mereka.
Pada 2 November 2023, majelis hakim yang yang dipimpin Merna Cinthia SH MH bersama hakim anggota Yusup Klemen SH dan Donny Poja SH menyatakan gugatan masyarakat adat Suku Awyu tidak beralasan hukum dan ditolak. Pada 22 November 2023 Tim Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua selaku penasehat hukum masyarakat adat Suku Awyu mengajukan banding ke PTTUN Manado.
Pada 29 Februari 2024 Pengadilan Tinggi Tata Usaha Manado menyatakan menolak banding karena permohonan gugatan penggugat telah lewat waktu sembilan puluh hari/daluwarsa sejak diketahuinya surat keputusan objek sengketa. PTTUN Manado juga menyatakan permohonan penundaan pelaksanaan objek sengketa ditolak. Pada 14 Maret 2024, masyarakat adat Suku Awyu mendaftarkan kasasi mereka ke PTUN Jayapura.
Awe mengatakan masyarakat adat sangat khawatir dengan kehadiran PT Indo Asiana Lestari atau PT IAL. Awe mengatakan kehadiran perusahaan merusak hutan dan tanah mereka dan masyarakat kehilangan sumber kehidupannya. Kehadiran perusahan juga telah menimbulkan konflik antara masyarakat adat pemilik hak ulayat.
“Kami masyarakat adat suku Awyu sampai hari ini bersikap tegas menolak kehadiran perusahaan. Kami punya sumber-sumber kehidupan baik dari segi ekonomi dan budaya akan hilang. Dan yang paling penting adalah kami punya hak atas tanah dari warisan leluhur itu akan hilang. Maka itu kami tidak bisa menerima kehadiran perusahan,” ujarnya.
Awe mengatakan masyarakat adat tidak pernah meminta perusahaan untuk berinvestasi di atas tanah adat mereka. Ia berharap Mahkamah Agung mencabut izin PT Indo Asiana Lestari atau PT IAL.
“Kami tidak pernah meminta perusahaan untuk datang berinvestasi di atas kami punya tanah. Kami tetap terima program pemerintah [tetapi] yang tidak merusak hutan dan tanah,” katanya.
Anggota Tim Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua, Tigor Hutapea selaku penasehat hukum masyarakat adat Suku Awyu, mengatakan kasasi yang diajukan masyarakat adat Suku Awyu itu menjadi pertaruhan mereka dalam mempertahankan hutan adatnya.
Tigor meminta Mahkamah Agung memeriksa dan mengadili perkara itu dengan mengacu pada pedoman mengadili perkara lingkungan hidup. “Agar dapat memberikan putusan yang adil bagi masyarakat adat Awyu,” kata Tigor dalam keterangan tertulisnya pada Kamis.
Anggota tim kuasa hukum masyarakat adat Suku Awyu, Sekar Banjaran Aji mengatakan seharusnya majelis hakim Mahkamah Agung memilih ketentuan yang paling membuka peluang akses masyarakat adat Suku Awyu mendapatkan keadilan lingkungan. “[Jika tidak, itu akan] menunjukkan posisi hakim yang tidak memiliki perspektif perlindungan lingkungan,” ujarnya. (*)
Discussion about this post