Jubi, Sorong – Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua atau IPMAPA se-Surabaya, Jawa Timur, menyatakan sikap politik kepada Pemerintah Republik Indonesia, terkait dampak transmigrasi yang kembali diberlakukan. Program transmigrasi menurut IPMAPA adalah praktik penjajahan dengan cara memobilisasi penduduk migran, untuk bermukim di wilayah jajahannya guna menekan populasi penduduk asli Papua.
IPMAPA melalui Koordinator Lapangan Mugi Bunai, menyampaikan penduduk asli Papua adalah orang Papua yang tercatat memiliki marga orisinal (asli), yang terikat dengan tanah dan adat serta warisan turun-temurun dari nenek moyang Orang Asli Papua (OAP), yang telah bermukim selama puluhan ribu tahun di atas Tanah Papua.
“Bangsa Papua adalah rumpun Melanesia yang berbicara menggunakan bahasa daerahnya masing-masing. Tapi secara umum menggunakan bahasa Melayu Austronesia sebagai konsekuensi logis dari penjajahan Indonesia selama lebih dari 60 tahun,” katanya, Minggu (3/11/2024).
Ia mengatakan transmigrasi adalah gambaran kolonialisme primitif, yang pernah diterapkan oleh Inggris pada abad pertengahan semasa ditemukannya benua Australia oleh Kapten James Cook, dan mulai membangun koloni atau pemukiman penduduk Inggris di atas tanah adat Suku Aborigin.
“Hal ini membuat populasi mereka ditekan untuk punah atau depopulasic karena digempur oleh gelombang migrasi yang tak terkontrol oleh kolonial Inggris yang berujung pada pembantaian massal populasi Aborigin, perampasan tanah ulayat, dan asimilasi paksa [kawin campur] yang menjadi faktor punahnya orang Aborigin dalam waktu 100 tahun,” ujarnya.
Menurutnya praktik biadab itu digunakan hampir di separuh dunia yang dijajah oleh bangsa-bangsa Eropa pada abad pertengahan sesudah renaisans atau aufklarung (abad pencerahan). Pratik itu berhasil memunahkan suku-suku pribumi, selain Aborigin ada suku Indian Iroquis, Comanche, dan Apache yang adalah pemilik sah negara modern Amerika Serikat.
“Sekarang populasi suku Indian hanya 2,9% dari total 100% penduduk Amerika Serikat. Karena minoritas mereka tidak punya kekuatan politik apa pun, untuk mempertahankan tanah leluhur mereka dari perampasan republik kapitalis liberal Amerika Serikat,” katanya.
Sementara itu, Wakil Koordinator Lapangan, Stef Ukago, menambahkan bahwa kebijakan transmigrasi atau penjajahan oendudukan dimulai sejak 1964, atau 3 tahun sejak dikumandangkannya Trikora era Rezim Orde Lama Sukarno. Poin kedua Trikora berbunyi “Bersiaplah untuk mobilisasi umum di seluruh Tanah Papua”.
“Hal ini menjadi seruan sekaligus sebagai legitimasi jalannya kebijakan transmigrasi di atas Tanah Papua,” katanya.
Tercatat ada 78.000 Kepala Keluarga (KK) dengan jutaan jiwa migran dari luar Papua seperti Pulau Jawa, dikirim ke Papua untuk mengikuti program ini. Mereka yang dikirim sudah disediakan tanah untuk bertani dan rumah serta berbagai fasilitas penunjang lainnya.
“Setelah Orde Baru runtuh karena gelombang reformasi 1998, program transmigrasi reguler ini pun dihentikan,” katanya.
Namun, hal itu tidak serta merta meminimalisir gelombang migrasi dari luar Papua. Hal ini makin diperparah dengan masifnya pemekaran DOB, yang menjadi sasaran empuk migrasi penduduk dari luar Papua. Ada yang datang tanpa KTP tapi setelah sebulan tinggal di Papua, dengan segera KTP Papua-nya jadi.
“Sedangkan orang Papua sendiri buat KTP susahnya minta ampun. Karena migran sudah mendominasi maka mereka mulai menguasai berbagai sektor kehidupan [di Papua],” katanya.
Awalnya hanya sektor ekonomi seperti warung, kios, toko, dan pedagang bahan pangan di pasar, namun lama kelamaan mereka langsung memonopoli sektor perekonomian dan bisnis. Setelah mendominasi sektor ekonomi, migran mulai bergerak menguasai sektor politik.
“Lihat dari persentase jumlah kursi DPR baik kabupaten/kota/provinsi maupun pusat paling dominan dikuasai oleh migran. Bahkan mereka sudah melangkah lebih berani dengan mencalonkan diri sebagai gubernur, hal ini menjadi bukti keberhasilan kolonial Indonesia dalam menerapkan penjajahan berbasis pembangunan koloni/migran atau settler colonialism,” ujarnya.
Diperkirakan, perbandingan populasi OAP dengan migran pada 1960 sebesar 99% OAP dan 1% migran, sedangkan pada 2021 sudah mencapai 50% OAP dan 50% migran. Bonus demografi ini diambil dari data Profesor Jim Elmsley dari Sydney University, yang meneliti gejala depopulasi atau genosida perlahan di Papua akibat program transmigrasi.
“Setelah Prabowo Subianto dilantik menjadi presiden, dia langsung mewacanakan untuk menerapkan kembali transmigrasi reguler yang pernah digenjot oleh ayah mertuanya si diktator Suharto. Yang kita ketahui bahwa [ini] berorientasi [pada] pemusnahan Orang Asli Papua [secara] perlahan (slow motion gonocide). Sekarang apakah kita Orang Asli Papua mau pasrah seperti kambing yang diarahkan ke rumah potong hewan untuk disembelih, atau seperti singa yang gagah perkasa mempertahankan harga dirinya?” katanya.
“Leonidas, Panglima Perang Sparta pernah berkata ‘Lebih baik saya mati sebagai orang merdeka daripada hidup sebagai budak’. Kalau kita tidak berjuang dengan sungguh-sungguh untuk merdeka dan bebas dari penjajahan Indonesia, maka konsekuensinya adalah punah,” katanya lagi.
IPMAPA menuntut Pemerintah Republik Indonesia, pertama menghentikan program pengiriman transmigrasi ke Papua baik itu transmigrasi legal yang dibiaya negara, maupun transmigrasi ilegal yang diberangkatkan ke Papua. Kedua, cabut dan tolak Otonomi Khusus dan hentikan pembentukan DOB-DOB baru.
Ketiga buka akses jurnalis seluas-luasnya di West Papua. Keempat tarik militer organik dan non-organik dari West Papua. Kelima segera tangkap, pecat, dan adili pelaku penembakan Almarhum Tobias Silak di Yahukimo. Keenam, segera usut tuntas kasus pembunuhan, dan mutilasi terhadap Ibu Tarina Murib.
Ketujuh, hentikan Proyek Strategis Nasional berupa cetak sawah dan penanaman tebu di Kabupaten Merauke, yang merampas tanah adat rakyat Papua di wilayah Merauke seluas 2 juta hektare. Kedelapan, bebaskan seluruh tahanan politik West Papua tanpa syarat.
Kesembilan, tutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh serta tolak pengembangan Blok Wabu dan Migas di Timika. Kesepuluh, hentikan pembangunan 4 Kodam tambahan, 4 Polda dan pengiriman 5 batalion penyanggah tambahan serta pembangunan berbagai fasilitas militer, yang justru menjadi dalang dari kekerasan kemanusiaan di Papua. Kesebelas, tangkap, adili, dan penjarakan jenderal pelanggar HAM.
Keduabelas, hentikan rasialisme dan politik rasial yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dan TNI-Polri. Ketigabelas, hentikan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Maybrat, Yahukimo, dan seluruh wilayah West Papua lainnya. Keempatbelas, cabut dan tolak Omnibus Law, RUU KUHP, UU ITE, seluruh kebijakan kolonial yang tidak memihak rakyat. Kelimabelas, mendukung kemerdekaan Palestina dari penjajahan kolonial Israel. Dan terakhir, keenambelas, berikan hak penentuan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi bangsa West Papua. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!
Kita semua anak bangsa sudah sepakat berada dlm Nkri, satu tanah air satu bangsa dan satu bahasa. Oleh karena itu jangan lagi kita mundur ke belakang di masa penjajahan kita dicerai berai dgn politik adu domba. Sudah waktunya masyarakat Papua move on dari pikiran sempit kedaerahan menuju pola pikir kebangsaan, maju bersama sejahtera bersama. Hal tersebut bisa tercapai dan dipercepat dgn keterbukaan dan interaksi antar wilayah. Sebagaimana orang Papua bisa belajar dan bekerja di seluruh nusantara, begitupun sebaliknya. Nilai positifnya adlah mempercepat akselerasi pembangunan dan transformasi keterampilan dan etos kerja. Tidak mungkin para transmigran bisa menghilangkan budaya lokal, krn pemda udah dipimpin org daerah sendiri. Selain itu trasmigran lebih fokus ke survival. Kalo kita lihat transmigran sejak zaman pak Harto sampe skrg tdk bisa menggeser peran org lokal baik dlm perspektif budaya maupun politik. Sebaliknya para trans membantu pmth memanfaatkan lahan tidur yg masif telantar. Mungkin dgn melihat keuletan trans org lokal mau belajar angkat pacul, membajak dsb.
Pak Ce Mak Ce Transmigrasi sudah berlangsung di Sumatera di Kalimantan di Sulawesi, tidak ada satupun daerah itu ada pemusnahan suku tertentu, suku suku disana berbaur belajar, bertani berdagang, dan membangun ekonomi berdampingan dengan masyarakat asli, negaraenjamin itu, para tranmigran ada tenaga guru, tenaga kesehatan, tenaga dokter, dosen, pendeta, semua ada di transmigrasi lihat lah nun jauh disana di Sumatera di Kalimantan di Sulawesi mereka maju bersama membangun negri ini demi Papua maju
Gantinya nama irian jaya menjadi Papua ini memperkeruh suasana tidak aman di bumi irian jaya yang mayoritas penduduknya beragama Nasrani. Yang di bawa misionaris juga menambah parah masyarakat. Hanya ambisi beberapa orang papuanogini menyusup memperkeruh sosial ekonomi masyarakat dan membuat rasa tidak aman di sana. Menetapkan transmigrasi sangat strategis sebagai proyek strategi nasional untuk kemajuan masyarakat indonesia