Wamena, Jubi –Β Dalam peringatan 54 tahun Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera 1969, Aliansi Mahasiswa Papua atau AMP Malang, Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Papua atau Ipmapa Malang, dan Front Rakyat Indonesia for West Papua atau FRI-WP menggelar diskusi dan pangung seni budaya di Malang, Jawa Timur, pada Jumat (14/7/2023).
Dalam keterangan pers tertulisnya, koordinator kegiatan Erdy Yoman menyampaikan Pepera 1969 yang diadakan pada 14 Juli β 2 Agustus 1969 tidak demokratis, cacat hukum dan moral. Ia menyatakan Pepera 1969 yang dalam Perjanjian New York 1962 ditentukan sebagai jajak pendapat yang diikuti oleh setiap orang dewasa di Tanah Papua direduksi menjadi musyawarah yang hanya diikuti 1.025 orang laki-laki dan perempuan yang diseleksi oleh militer Indonesia.
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara aklamasi memilih bergabung dengan Indonesia. Proses yang tidak demokratis itu kemudian dijadikan dasar Perserikatan Bangsa Bangsa menghasilkan Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa Nomor 2504 (XXIV).
AMP, Ipmapa dan FRI -WP menyatakan resolusi itu tidak mempertimbangkan apakah pelaksanaan Pepera mengikuti ketentuan Perjanjian New York, apakah sesuai Resolusi 1514, dan apakah Pepera tergolong “penentuan nasib sendiri” sesuai dan Resolusi 1541 (XV).
Yoman menyatakan dalam praktiknya PeperaΒ 1969 jauh dari kata demokratis, ilegal, serta cacat hukum dan moral, sehingga hasilnya masih dipersoalkan berbagai pihak, termasuk rakyat Papua.
Yoman membeberkan Perjanjian New York 1962 terdiri dari 29 pasal yang mengatur 3 macam hal.Β Pasal 14- 21 perjanjian itu mengatur tentang βPenentuan Nasib Sendiri (self determination) berdasarkan praktik pemungutan suara satu orang satu suara (one man, one vote).Β Menurutnya, Perjanjian Roma pada 30 September 1962 menyatakan Indonesia mendorong pembangunan dan mempersiapkan pelaksanaan Tindakan Pilih Bebas di Papua pada tahun 1969, namun dalam praktiknya Indonesia memobilisasi militer secara besar-besaran ke Papua untuk meredam gerakan pro kemerdekaan Papua.
AMP, Ipmapa dan FRI -WP menyatakan Operasi Khusus yang dipimpin Ali Murtopo dijalankan untuk memenangkan Pepera 1969. Operasi itu kemudian diikuti berbagai operasi militer, seperti Operasi Sadar, Operasi Bhratayudha, Operasi Wibawa dan Operasi Pamungkas.Β Berbagai operasi tersebut telah menimbulkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) seperti penangkapan, pembunuhan, pembunuhan hak politik rakyat Papua, perusakan seksual dan perusakan kebudayaan.
AMP, Ipmapa dan FRI -WP juga mempertanyakan keabsahan penandatanganan Kontrak Karya Freeport McMoRan untuk menambang emas di daerah yang sekarang menjadi wilayah Kabupaten Mimika, Provinsi Papua Tengah. Pasalnya, kontrak karya itu ditandatangani pada 7 April 1967, dua tahun sebelum pelaksanaan Pepera 1969.
βDari 809.337 orang Papua yang memiliki hak [pilih, mereka] hanya diwakili 1.025 orang yang sebelumnya dikarantina, dan hanya 175 orang yang memberikan pendapat dalam musyawarah untuk mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan Pepera yang tidak demokrasi, penuh teror, intimidasi, dan pelanggaran HAM berat. Sejak 1961, operasi militer sudah meneror, mengintimidasi, mutilasi serta memperkosa perempuan Papua untuk mengusai seluruh aset kekayaan alam di Tanah Papua,β kata Yoman.
AMP, Ipmapa dan FRI -WP menyoroti eskalasi konflik bersenjata di Papua yang sejak 2017 menimbulkan pengungsian warga sipil di berbagai wilayah Tanah Papua, seperti Nduga, Mimika, Intan Jaya, Puncak, Pegunungan Bintang, Maybrat, Yahukimo dan Kepulauan Yapen. Yoman menyatakan sepanjang Indonesia mengusai Tanah Papua, pelayanan kesehatan buruk, pelayanan pendidikan tidak layak, dan Indonesia menimbulkan persoalan di berbagai sektor secara sadar dan terencana.
Penangkapan dan pemidanaan Juru Bicara Internasional Komite Nasional Papua Barat atau KNPB Viktor Yeimo juga disoroti AMP, Ipmapa dan FRI -WP. Pemekaran Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat untuk membentuk empat provinsi baru juga dinilai sebagai awal kehancuran Orang Asli Papua di atas tanahnya sendiri.
AMP, Ipmapa dan FRI -WP menuntut Pemerintah Indonesia segera memenuhi hak bagi bangsa Papua untuk menentukan nasibnya sendiri melalui referendum, dan membuka akses bagi wartawan asing untuk meliput kondisi Tanah Papua. Mereka juga meminta Pemerintah Indonesia menarik semua pasukan TNI/Polri dari Tanah Papua, dan menghentikan segala bentuk diskriminasi Β maupun intimidasi terhadap Orang Asli Papua.
AMP, Ipmapa dan FRI -WP juga meminta Pemerintah Indonesia membebaskan semua tahanan politik West Papua, termasuk Viktor Yeimo. Selain itu, pemerintah juga dituntut menutup kegiatan tambang PT Freeport Indonesia, BP, LNG Tangguh. Para aktivis itu juga menolak rencana penambangan Blok Wabu di Kabupaten Intan Jaya.
Pemerintah Indonesia diminta untuk memberikan akses seluas-luasnya kepada Komisi HAM PBB untuk meninjau situasi HAM di West Papua. Selain itu, AMP, Ipmapa dan FRI -WP juga menagih jaminan kebebasan informasi, berekspresi, berorganisasi, dan berpendapat bagi bangsa West Papua. (*)