Jayapura, Jubi – Tak terasa sudah 53 tahun pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Tanah Papua. Pelaksanaan Pepera ini dimulai pada 14 Juli sampai 2 Agustus 1969. Pelaksanaan Pepera ini diawali di Merauke, selanjut berturut turut ke Wamena, Nabire, Fakfak, Sorong, Manokwari, Biak, dan terakhir di Gedung Negara Dok V Jayapura.
“Ada 1026 orang pemimpin yang dipilih mewakili 815.904 orang penduduk dari semua lapisan dan golongan masyarakat telah melaksanakan tugas sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” tulis laporan buku berjudul Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Barat 1969 yang diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Irian Barat, 15 Agustus 1970.
Gubernur Irian Barat saat itu, mendiang Frans Kaisiepo, dalam pengantar buku tersebut mengatakan jika dalam pelaksanaan Pepera 1969 ada orang-orang yang mempunyai pendapat lain, wajar dalam suatu masyarakat demokratis.
“Seperti masyarakat kita ini,” kata Kasiepo, salah satu pahlawan nasional Indonesia ini.
Namun benarkah pelaksanaan Pepera 1969 demokratis atau minimal mirip dengan pelaksanaan referendum kemerdekaan diadakan di Timor Timur pada 30 Agustus 1999. Waktu itu Presiden BJ Habibie mengadakan referendum sesuai dengan pernyataan Sekjen PBB, Kofi Annan.
Akhirnya referendum Timor Timur berjalan dengan “sistem satu orang satu suara” dalam penentuan pendapat rakyat Timor Timur. Hasilnya pada referendum pada bekas provinsi ke-27 di Indonesia memilih merdeka dengan suara mayoritas 78,50 persen atau 344.580 jiwa dan menolak 21,50 persen atau 94.388 jiwa.
Berbeda dengan Provinsi Irian Barat, referendum di Timor Timur diorganisir dan dipantau oleh UNAMET dan 450.000 orang terdaftar untuk memilih termasuk 13.000 orang di luar Timor Timur.
Walau demikian menurut Menteri Luar Negeri (Menlu) Adam Malik, Act of free choice di Provinsi Irian Barat waktu itu sesuai dengan Persetujuan New York, 1962.
Dalam tingkat pertama harus ditetapkan, suatu pemilihan praktis yang dapat mewakili pikiran rakyat menentukan kehendaknya, sistem ini di dalam dunia maju yaitu one man one vote.
Lebih lanjut Adam Malik menegaskan bahwa posisi di Irian Barat sejak jaman Belanda sampai merdeka, perhubungan begitu sulit seluruh Irian Barat yang begitu luas sehingga belum pernah seluruhnya dapat dicapai sampai di daerah daerah pedalaman. Oleh karena itu, kata Adam Malik, tidak mungkin diterapkan sistem one man one vote.
“Untuk itu dilakukan sistem lain di Irian Barat. Kedudukan kepala kepala suku itu sudah pasti merupakan perwakilan rakyat. “Stamhouder” Tribe Chief, ini tidak dibantah dan ini dapat dijalankan. Inipun belum merupakan suatu keputusan, baru dalam penyelidikan yang seksama,” kata Adam Malik, mantan Wakil Presiden RI di era Soeharto.
Mengutip buku Socratez Sofyan Yoman menyebutkan pendapat Dr Fernando Ortiz Sanz, Wakil Sekjen PBB yang ikut mengawasi pelaksanaan Pepera 1969. Diplomat asal Bolivia ini, Ferdinan Ortiz Sanz, sangat menyesal karena pemerintah Indonesia tidak melaksanakan Perjanjian New York Pasal XVIII(18) tentang sistem “satu orang, satu suara atau one man one vote” melainkan pemerintah Indonesia memakai sistem lokal Indonesia yaitu sistem musyawarah.
Walau demikian pemilihan langsung dan tidak langsung pernah dilakukan oleh pemerintah Nederlands Nieuw Guinea. Waktu itu penjajah Belanda melakukan pemilihan anggota Nieuw Guinea Raad atau anggota parlemen. Antara lain sebanyak 16 anggota dipilih melalui partai politik, tercatat ada delapan partai politik lokal di Nederland Nieuw Guinea, sebutan Tanah Papua waktu itu. Sedangkan mereka yang diangkat tercatat 11 orang anggota mewakili tokoh perempuan, adat, dan tokoh masyarakat lainnya termasuk kepala suku.
Dr PJ Drooglever dalam buku berjudul Tindakan Pilihan Bebas, Orang Papua, dan Penentuan Nasib Sendiri menyebutkan di antara enam belas orang pribumi terpilih, terdapat dua belas amtenar dan dua guru. Wakil Raja Ampat dengan Partai Persatuan Christian-Islam Raja Ampat (Perchisra) yaitu Abdullah Arfan adalah anggota keluarga raja yang terkemuka. Bersama dengan Marcus Kaisiepo dan Nicolah Youwe yang kemudian memilih kembali ke Indonesia dan mendukung UU Otsus Papua.
Demokratis atau tidak di Tanah Papua ternyata pilihan bebas menentukan nasib sendiri masih terus digaungkan termasuk kelompok mahasiswa yang berdemo menolak Daerah Otonomi Baru (DOB) di Tanah Papua. (*)
Discussion about this post