Jayapura, Jubi – Front Rakyat Papua menggelar aksi mimbar bebas di Lingkaran Abepura, Kota Jayapura, Papua, pada Selasa (10/12/2024), dalam rangka memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) internasional pada 10 Desember 2024.
Massa aksi membawa berbagai pamflet bertuliskan “Adakah HAM di Negara Ini?”, “Papua Darurat HAM”, “Apa Kabar HAM di Papua?”, dan “RIP Hukum di Indonesia”. Aksi ini menyoroti pelanggaran HAM yang terus terjadi di Papua dan meminta pemerintah Indonesia segera menuntaskan persoalan tersebut.
Dalam orasi, para peserta aksi menyuarakan berbagai kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan hingga saat ini. Mereka menuntut agar pemerintah Indonesia menunjukkan komitmen untuk menyelesaikan pelanggaran tersebut.
Selain itu, mahasiswa yang turut serta dalam aksi ini meminta media untuk lebih aktif menggambarkan situasi sebenarnya di Papua terkait pelanggaran HAM. Mereka berharap isu-isu ini dapat diketahui secara luas, termasuk di tingkat internasional.
Stenlhy Dambujai, satu di antara orator, menyoroti dampak buruk penyalahgunaan wewenang militer di Papua. Menurutnya, pengungsian masyarakat Papua, perampasan tanah adat, dan eksploitasi sumber daya alam merupakan bagian dari pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua.
“Perampasan tanah adat juga termasuk pelanggaran HAM. Proyek strategis nasional di Merauke dengan pendekatan militer akan berdampak pada hilangnya identitas budaya dan adat-istiadat masyarakat Papua,” ujar Dambujai.
Obaja Mohi, orator lainnya, menambahkan bahwa pengungsian besar-besaran yang terjadi di beberapa wilayah, seperti Kabupaten Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Maybrat, Pegunungan Bintang, dan Yahukimo, merupakan bentuk nyata pelanggaran HAM di Papua.

Ia juga menyebut sejumlah kasus pelanggaran HAM berat yang belum diselesaikan oleh pemerintah Indonesia, seperti Biak Berdarah pada 6 Juli 1998, Wasior Berdarah pada 13 Juni 2001, Merauke Berdarah pada 2 Desember 2001, Wamena Berdarah pada 4 April 2003, Uncen Berdarah pada 16 Maret 2006, Paniai Berdarah pada 8 Desember 2014, dan Deiyai Berdarah pada 1 Agustus 2017.
“Kami akan terus bersuara untuk tanah dan manusia di Papua. Pemerintah selalu mengutamakan nasionalisme sempit dengan slogan NKRI harga mati, tetapi mengabaikan keadilan untuk rakyat Papua,” tegas Mohi.
Ia juga mengkritik investasi dan proyek pembangunan yang merampas ruang hidup masyarakat adat atas nama pembangunan nasional.
“Sampai hari ini, Papua terus menghadapi krisis kemanusiaan yang melibatkan kekerasan militer dan perampasan lahan atas nama proyek strategis nasional,” tutup Mohi. (*)

Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!