Jayapura, Jubi – Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jayapura, pada Selasa (12/9/2023), tim Jaksa Penuntut Umum atau JPU menyampaikan replik atau tanggapan atas nota pembelaan yang disampaikan tim penasehat hukum dua terdakwa kasus korupsi pengadaan pesawat dan helikopter Pemerintah Kabupaten Mimika, Johannes Rettob dan Silvi Herawaty. JPU menyatakan nota pembelaan Rettob dan Silvi tidak relevan.
Perkara itu terkait dengan pengadaan pesawat jenis Cessna Grand Carawan dan helikopter Airbush H-125 yang melibatkan Johannes Rettob selaku pejabat Pemerintah Kabupaten Mimika dan Silvi Herawaty selaku Direktur PT Asian One Air. Berkas perkara Johannes Rettob terdaftar dengan nomor perkara 9/Pid.Sus-TPK/2023/PN Jap.
Sedangkan berkas perkara Silvi Herawaty yang juga merupakan kakak ipar Johannes Rettob terdaftar di Pengadilan Negeri Jayapura dengan nomor perkara 8/Pid.Sus-TPK/2023/PN Jap. Kedua perkara diperiksa dan akan diadili majelis hakim yang diketuai Thobias Benggian SH, dengan hakim anggota Linn Carol Hamadi SH dan Andi Matalatta SH.
Pada Selasa, JPU membacakan replik sebagai tanggapan atas nota pembelaan atau pledoi Rettob dan Silvi pada 5 September 2023 lalu. JPU menyatakan tetap pada tuntutan yang disampaikan JPU pada 22 Agustus 2023. JPU menyatakan Johannes Rettob dan Silvi Herawaty telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan korupsi. JPU juga meminta Rettob dan Silvi dijatuhi hukuman pidana penjara 18,5 tahun.
Replik JPU juga menyatakan surat perjanjian penyelesaian utang piutang yang ditandatangani PT Asian One Air dan Pemerintah Kabupaten Mimika pada 9 Desember 2022 merupakan siasat Silvi Herwaty untuk lepas dari jerat hukum. Pasalnya, perjanjian itu baru dibuat 60 hari setelah temuan Badan Pemeriksa Keuangan.
JPU menyatakan awalnya terdakwa Silvi keberatan atas temuan Badan Pemeriksa Keuangan soal kerugian yang dialami Pemerintah Kabupaten Mimika dalam kerja sama operasional pesawat dan helikopter miliknya oleh PT Asian One Air. Namun, dalam surat perjanjian utang piutang, Silvi akhirnya mengakui PT Asian One Air memiliki utang Rp21.849.175.000 kepada Pemerintah Kabupaten Mimika.
JPU juga menegaskan status izin impor sementara helikopter Pemerintah Kabupaten Mimika membuat helikopter tersebut direekspor secara berkala, dan menimbulkan biaya yang membebani Pemerintah Kabupaten Mimika.
“Berdasarkan pendapat ahli pengadaan barang/jasa pemerintah dari LKPP RI, Dr Ahmad Feri Tanjung pada pokoknya selesainya suatu pengadaan barang/jasa adalah sampai serah terima barang kepada pengguna atau pemilik barang jika setelah adanya terima barang tersebut masih ada biaya-biaya yang timbul terkait pengadaan yang sudah diserahterimakan maka pengadaan tersebut dianggap tidak selesai,” demikian bunyi replik JPU.
JPU juga menyatakan rincian biaya pra operasi dalam proses penyelidikan dan proses persidangan tidak pernah diperlihatkan adanya laporan pertanggungjawaban terkait biaya pra operasi melainkan hanya berupa tulisan kegiatan dan nominal biaya.
Atas dasar itu, JPU menyatakan nota pembelaan yang diajukan terdakwa Rettob dan Silvi tidak relevan, dan tidak perlu menanggapi seluruhnya. “[Kami penuntut umum] tetap pada tuntutan kami atas diri terdakwa Rettob dan Silvi sebagaimana yang terdapat dalam surat tuntutan yang telah dibacakan,” tegas jaksa penuntut umum.
Usai mendengarkan replik jaksa penuntut umum, tim penasehat hukum Rettob dan Silvi menyampaikan tanggapan lisannya. Mereka secara tegas menolak semua replik JPU, dan mempertahankan pledoi yang telah dibacakan pada 5 September 2023. Penasehat hukum kedua terdakwa menyampaikan tidak ada kerugian yang dialami negara, dan tidak ada perbuatan melawan hukum dalam pengadaan maupun swakelola pesawat serta helikopter Pemerintah Kabupaten Mimika.
“Kamis secara tegas menolak replik yang diajukan penuntut umum. Kami tetap pada pledoi yang telah disampaikan,” kata advokat Emanuel Barru SH dalam persidangan.
Emanuel juga mengatakan replik JPU merupakan bentuk ketidaksopanan dalam persidangan karena menggabungkan replik antara Rettob dan Silvi. Emanuel menyatakan replik tidak tersusun sistematis dan hanya bentuk pengulangan-pengulangan saja serta mencampuradukkan perkara.
“Jaksa mencampur adukan sehingga kami juga bingung perkara yang mau didakwakan atau dituntut itu yang mana? Sebentar bicara masalah impor, sebentar ada bicara tentang swakelola, dan lain-lain sehingga tidak fokus,” ujarnya. (*)
Untuk melihat lebih banyak content JUBI TV, click here!