Jayapura, Jubi – Profesor Riset pada Pusat Riset Kewilayahan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Cahyo Pamungkas mengatakan untuk menyatukan perspektif kedua belah pihak yang bertikai di Papua perlu diadakan perundingan.
“Duduk bersama dan berargumen,” kata Cahyo Pamungkas saat memberikan materi ‘Konflik di Papua’ kepada calon reporter Jubi di ruangan Sekolah Jujur Bicara (Sejubi) di Kantor Jubi, Jalan SPG Taruna Waena, Waena, Kota Jayapura pada Selasa (28/11/2023).
Cahyo Pamungkas mengatakan untuk mewujudkan Papua sebagai tanah damai, perlu adanya perspektif politik yang setara. Perlu adanya perspektif hukum dan Hak Asasi Manusia yang tidak lagi dilanggar, perspektif keamanan, perspektif penyelenggaraan pemerintah, perspektif ekonomi dan lingkungan hidup, perspektif Kesehatan, perspektif pendidikan, dan perspektif kebudayaan.
“Selama masih ada keegoisan dan enggan untuk berdialog, maka akan semakin panjang dan berlarut-larut persoalan yang akan terjadi di Papua dan warga sipil, terutama kelompok yang rentan untuk mengalami kekerasan di daerah konflik akan bertambah, begitu juga angka kemiskinan, stanting, rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM), serta korban meninggal akan semakin banyak,” ujarnya.
Menurut Profesor Cahyo Pamungkas perlindungan terhadap Oang Asli Papua di daerah konflik terbilang sangat kurang. “Pemerintah tidak segera merespon dan menangani, lebih ke pembiaraan, bahkan mengabaikan,” katanya.
Ia menjelaskan konflik di Papua dibedakan berdasarkan masalah yang terjadi di Papua. Konflik di Papua juga mencakup di dalam dan di luar Papua. Konflik Papua terdiri dari konflik kekerasan antara Gerakan Papua Merdeka dengan TNI/Polri, status politik, identitas politik, pelurusan sejarah Papua, serta marginalisasi diskriminasi dan rasis.
Konflik di Papua, lanjut Profesor Cahyo Pamungkas, terdiri dari konflik tata kelola pemerintah, konflik pengelolaan sumber daya alam, dan konflik electoral. Kemudian konflik komunal antara etnis atau agama, konflik tenurial atau pemanfaatan tanah, konflik kebijakan pembangunan, konflik dalam masyarakat adat, dan riots atau kerusuhan massal.
“Bagaimana respon dari dua aktor, yaitu Gerakan Papua Merdeka dan TNI/Polri terhadap konflik Papua? Gerakan Papua Merdeka masih tetap mempertahankan P’apua Merdeka Harga Mati’ dan respon dari TNI/Polri sendiri ‘Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI Harga Mati’,” katanya.
Pahami dulu orang Papua
Prefesor Cahyo Pamungkas mengatakan sebelum membahas bagaimana konflik Papua dan konflik yang terjadi di Papua dalam kehidupan sehari-hari, kita perlu mengenal dan memahami terlebih dahulu tentang orang Papua.
“Untuk memahami siapa itu orang Papua kita bisa mulai dari Masyarakat Adat yang terdapat di Papua beserta wilayah adatnya,” ujarnya.
Wilayah adat Tanah Papua, lanjutnya, terdiri dari 256 etnis yang dibedakan berdasarkan suku, etnis, budaya masing-masing, dan wilayah adatnya. Pembagian wilayah adat di Tanah Papua pernah dilakukan beberapa kali. Pada era Kolonial Belanda, JC Haar membagi wilayah adat di Papua menjadi enam administrasi (sumber MOV 1940 dalam Midiema dan Stokfhof, 1993).
Kemudian Wingert, Rapi Linton, A Gerbrands, dan S Koijman membagi wilayah di Papua berdasarkan wilayah gaya seni. Selanjutnya Dinas Kebudayaan Papua (sumber Uncen dan DAP, 2010) membagi wilayah adat di Tanah Papua berdasarkan kesamaan dalam hubungan kekerabatan, perkawinan, hak ulayat, tipe kepemimpinan, ciri-ciri fisik, dan geografis.
Sedangkan tipe kepemimpinan di Papua, kata Profesor Cahyo, adalah ‘big man’, ondoafi, kerajaa, dan campuran. Untuk hak ulayat dikategorikan berdasarkan geografis pantai, rawa-rawa, lembah, dan gunung. (*)