Oleh: Kurniawan Patma*
“Death, taxes and childbirth! There’s never any convenient time for any of them.”
Di atas adalah sebuah kalimat yang disampaikan oleh seorang novelis dan jurnalis terkenal Amerika bernama Margaret Mitchell. Kalimat bergaya sarkastis ini menjadi cerminan bahwa pajak selalu dianggap sebagai hal yang tidak pernah memberikan kenyamanan. Paradigma bahwa pajak semenakutkan dengan kematian dan persalinan seakan menjadi hal yang lumrah kita dengarkan selama ini.
Skema penghindaran pajak atas kondisi di atas pada akhirnya terus bermunculan sebagai bentuk ‘mekanisme pertahanan diri’ dan hal ini dipraktikkan baik oleh wajib pajak pribadi maupun wajib pajak badan. Framing negatif juga secara sporadis tercipta mengenai keberadaan pajak. Hal ini diperparah karena rentetan kasus yang melibatkan pejabat di lingkungan kementerian keuangan baru baru ini.
Namun angin segar akhirnya muncul karena adanya kebijakan mengenai ‘pajak karbon’. Pajak karbon perlu dianggap sebagai era baru dalam memandang keberadaan pajak karena menjadi bagian tak terpisahkan dalam mengkampanyekan gerakan pertobatan ekologis.
Pajak karbon: Akselerasi investasi hijau
Pajak karbon merupakan tonggak sejarah baru karena boleh dianggap sebagai bentuk dukungan kita pada perubahan iklim dunia. Keberadaan dan peruntukan pajak yang selama ini dianggap ‘absurd’ dan terkesan semu dalam hal gerakan ekologis, dengan keberadaan pajak karbon menjadi nyata. Di Indonesia pajak karbon lahir melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Kelahiran UU ini menambah sederetan kebijakan fiskal yang digunakan sebagai instrumen pengendali perubahan iklim. Indonesia tercatat menjadi penggerak pertama pajak karbon di dunia, terutama dari negara kekuatan ekonomi baru.
Dampak perubahan iklim telah menjadi tantangan global yang perlu ditangani secara bersama. Sebagai negara yang tergolong rawan terhadap ancaman perubahan iklim, Indonesia meratifikasi Paris Agreement yang di dalamnya terdapat komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) pada tahun 2016 dan menjadikan penanganan perubahan iklim sebagai salah satu agenda prioritas nasional dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan 2020-2024.
Di dalam dokumen NDC tersebut, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang berbahaya bagi lingkungan, dengan penurunan sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
Lebih jauh lagi, dengan semakin kuatnya tren global terhadap isu perubahan iklim, Indonesia juga telah menargetkan untuk mencapai Emisi Nol Bersih (Net Zero Emission) di tahun 2060 atau lebih awal. Dalam rangka mencapai target tersebut, agenda reformasi dalam kebijakan fiskal untuk mempercepat investasi hijau telah dimulai secara intensif. Pemerintah telah memberikan insentif fiskal seperti tax holiday, tax allowance, dan fasilitas PPN untuk meningkatkan pengembangan energi terbarukan.
Dalam lima tahun terakhir, belanja negara untuk penanganan perubahan iklim rata-rata mencapai 4,1% dari APBN. Dari sisi pembiayaan APBN, pemerintah juga telah menerbitkan green sukuk sejak 2018 yang di antaranya digunakan membiayai transportasi berkelanjutan, mitigasi bencana, pengelolaan limbah, akses energi sumber terbarukan, dan efisiensi energi.
Pada tahun 2021 ini, Pemerintah baru saja menerbitkan Global Green Sukuk pertama dengan tenor 30 tahun senilai USD750 juta dan SDGs Global Bond senilai Euro 500 juta. Hal ini menunjukkan tingginya kepercayaan investor hijau atas upaya Pemerintah dalam menangani isu perubahan iklim. Pemerintah juga tengah menyusun Kerangka Kerja Fiskal Perubahan Iklim (Climate Change Fiscal Framework/CCFF) untuk memperkuat pembiayaan berkelanjutan, termasuk pencapaian NDC dengan melibatkan masyarakat dan swasta.
Indonesia: Inisiator or follower?
Untuk memperkuat instrumen kebijakan pengendalian dampak perubahan iklim, Pemerintah telah menetapkan kebijakan nilai ekonomi karbon (carbon pricing) yang didalamnya termasuk implementasi pajak karbon. Dengan memperkenalkan pajak karbon dalam UU HPP, Indonesia telah menjadi salah satu dari sedikit negara, bahkan yang terbesar di negara berkembang, yang akan mengimplementasikannya lebih dahulu. Implementasi pajak karbon ini menjadikan Indonesia sejajar dengan negara-negara maju yang telah melaksanakan kebijakan pajak karbon ini.
Penerapan pajak karbon dan pengembangan pasar karbon merupakan milestones penting menuju perekonomian Indonesia yang berkelanjutan, serta menjadi bukti keseriusan Indonesia dalam agenda pengendalian perubahan iklim di tingkat global.
Momentum ini menjadi kesempatan berharga bagi Indonesia untuk mendapatkan manfaat penggerak pertama (first mover advantage). Indonesia menjadi penentu arah kebijakan global, bukan pengikut, dalam melakukan transisi menuju pembangunan yang berkelanjutan. Indonesia akan menjadi acuan dan tujuan investasi rendah karbon, di berbagai sektor pembangunan baik di sektor energi, transportasi, maupun industri manufaktur.
Sebagai sebuah kebijakan yang sangat strategis dalam penanganan perubahan iklim, pengenaan pajak karbon memberikan sinyal kuat yang akan mendorong kebaikan dalam hal perkembangan pasar karbon, inovasi teknologi, dan investasi yang lebih efisien, rendah karbon, dan ramah lingkungan. Dalam konteks pembangunan, penerimaan negara dari pajak karbon dapat dimanfaatkan untuk menambah dana pembangunan, investasi teknologi ramah lingkungan, atau memberikan dukungan kepada masyarakat berpendapatan rendah dalam bentuk program sosial.
Meskipun demikian, tujuan utama dari pengenaan pajak karbon adalah mengubah perilaku (changing behavior) para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon. Hal ini sejalan dengan berbagai upaya pemerintah dalam rangka mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca dalam jangka menengah dan panjang. Pajak karbon menjadi era baru dalam keberlanjutan bagi Indonesia yang terbarukan–pakar kebaikan. (*)
*Penulis adalah dosen pada Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Cenderawasih, Jayapura-Papua