Oleh: Aris Yeimo
Sudah sejak 1999 para tokoh agama dan Forkopimda Papua mencetuskan slogan “Papua Tanah Damai”. Slogan ini lahir atas dasar kecemasan, keprihatinan, dan simpati, sekaligus sebagai sebuah harapan akan terciptanya Papua tanah damai tanpa kekerasan, marginalisasi, diskriminasi, dan pembunuhan di luar proses hukum (extra judicial killing) atas dasar asas praduga.
Sejak dicetuskannya sampai hari ini, sebagian kalangan menganggap bahwa Papua akan menjadi tanah damai jika kebijakan negara di berbagai aspek didudukkan pada tempatnya agar terciptalah kesesuaian antara kebijakan dan praksis; sebagian lagi menganggap bahwa ide “Papua tanah damai” akan benar-benar terwujud jika didialogkan secara holistis dan komprehensif; yang lain, justru mengambil “keuntungan” dari kedua disposisi di atas.
Di tengah dinamika persoalan Papua yang kian rumit dan kompleks, kata “dialog” masih secara konsisten digaungkan oleh Jaringan Damai Papua (JDP). Ada harapan yang masih dipupuk di dalam kata “dialog” sebagai ide penuntun gerak bersama untuk menyelesaikan kompleksitas persoalan Papua secara bermartabat.
Artikel ini akan mengulas secara ringkas pemikiran seorang teolog besar abad 20, Jurgen Moltmann, tentang Teologi Harapan dan relevansinya dengan semangat “Dialog Jakarta-Papua”. Mungkinkah dialog tercipta di tengah kompleksitas persoalan Papua? Masih adakah secercah harapan pada tubuh rakyat Papua dan pengambil kebijakan untuk mengupayakan dialog?
Mengenal Jurgen Moltmann
Jurgen Moltmann adalah seorang teolog ulung abad 20 yang lahir pada 8 April 1926 di Hamburg, Jerman. Dia lahir dalam keluarga reformis yang “agak kurang tertarik” secara aktif terlibat membaktikan diri pada kehidupan menggereja. Pada 1944, ketika berusia 18 tahun, ia turut-serta wajib militer pada angkatan udara Jerman. Selama mengikuti wajib militer, bahkan sampai ketika menjadi tawanan perang, ia tak lupa menyisihkan waktunya untuk membaca puisi-puisi karya Goethe dan Zarathustra karya Nietzsche (bdk. Wikipedia).
Pada 1945 Moltmann secara aktif terlibat dalam Perang Dunia II. Ia ditugaskan ke Belgia dan di tahun yang sama menyerah sebagai tawanan perang. Ia ditawan di Belgia, Skotlandia, dan kemudian terakhir di Inggris.
Pada kamp pengungsian terakhir yang dikelola Young Men’s Christian Association inilah ia berjumpa dan berdiskusi dengan banyak mahasiswa teologi. Buku teologi pertama yang dibacanya adalah “Nature and Destiny of Man karya Reinhold Niebuhr“.
Sembari menghabiskan waktu sebagai tawanan perang, ia diizinkan belajar teologi di Northern Camp. Setelah menyelesaikan masa tahanannya pada 1948, ia kembali ke Jerman lalu melanjutkan pendidikannya di Universitas Gottingen yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Karl Barth dan berhasil menyelesaikannya pada 1952. Pada 1967-1994 ia mengajar di Universitas Tubingen dan menjadi guru besar teologi pada universitas tersebut.
Selama menjadi pengajar itulah ia melahirkan begitu banyak karya teologi yang sangat mengagumkan.
Titik pijak latar belakang Teologi Pengharapan yang ditulis Moltmann berpangkal pada pengalaman eksistensialnya selama menjadi tawanan perang. Bagi Moltmann, perang dan penindasan adalah sebuah penghinaan terhadap kemanusiaan. Pengalaman inilah yang mendorong ia dengan penuh semangat mencari Allah yang adil dan menyelamatkan manusia.
Teologi Pengharapan
Dalam menggagas Teologi Pengharapan, Moltmann rupanya menimba sedikit semangat dari “Prinsip Harapan” karya Ernst Bloch. Menurut Moltmann, “Prinsip Harapan” Bloch terlalu sekuler. Bloch menguraikan terciptanya dunia yang damai tanpa melibatkan campur tangan Allah di dalamnya.
Bagi Moltmann, prinsip harapan yang diuraikan Bloch ini memerlukan asupan teologis, agar harapan manusia akan terciptanya dunia yang damai selalu dilihat dalam konteks kaca mata iman akan Allah sebagai sumber pengharapan, yang telah memanifestasikan diri-Nya di dalam dan melalui Yesus Kristus (Dister, 2004: 540).
Tesis utama teologi harapan Moltmann adalah bahwa Allah adalah Allah yang berjanji untuk menciptakan masa depan yang baru dan lebih baik bagi umat manusia. Allah yang demikian adalah Allah yang memberi harapan penuh kepada manusia tetapi sekaligus sebagai sumber harapan itu sendiri. Tesis ini tentu merujuk pada konsep ‘Ekonomi Allah’; Allah yang menyejarah.
Moltmann menggarisbawahi beberapa nats kitab suci untuk melukiskan pengharapan sebagai sifat dasar Allah. Sebagai contoh, dalam kitab Yesaya, Allah berfirman: “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” (Yesaya 55:18).
Ayat ini menunjukkan bahwa pengharapan bukan hanya sesuatu yang Allah berikan kepada kita, tetapi pengharapan adalah sesuatu yang melekat pada natur Allah. Allah adalah Allah yang selalu menantikan masa depan, dan yang selalu bekerja untuk mewujudkan dunia yang lebih baik.
Selain mendasarkan inspirasinya pada kisah Perjanjian Lama dalam kitab suci, Moltmann juga merujuk pada kebangkitan Yesus Kristus dalam Perjanjian Baru sebagai bukti bahwa pengharapan adalah sifat Allah. Kebangkitan tersebut menunjukkan bahwa Allah adalah Allah yang menang atas maut dan kejahatan. Hal ini menunjukkan bahwa Allah memiliki rencana untuk masa depan, dan rencana tersebut adalah rencana pengharapan dan keselamatan (Moltmann, 1967:17).
Klaim Moltmann bahwa pengharapan adalah natur Allah memiliki implikasi yang penting bagi pemahaman kita akan Allah dan kehidupan kita sendiri. Jika pengharapan adalah natur Allah, maka itu berarti bahwa kita dapat selalu memiliki pengharapan, bahkan di dalam masa-masa yang paling gelap sekalipun. Hal ini juga berarti bahwa kita dipanggil untuk menjadi orang-orang yang berpengharapan, dan bekerja untuk mewujudkan dunia yang lebih baik.
Implikasinya bagi dialog Jakarta-Papua
Harapan mewujudnyatakan dialog Jakarta-Papua sepeninggalan mendiang Pastor Dr. Kebadabi Tebay dan Dr. Muridan seakan kian berangsur redup bersama kepergian keduanya. Namun, di tengah anggapan sebagian kalangan bahwa dialog sudah tidak lagi relevan diperjuangkan, harapan itu terus dihidupkan oleh JDP melalui juru bicaranya, Yan Christian Warinussy, dalam berbagai siaran persnya.
Jaringan Damai Papua (JDP) masih memiliki harapan bahwa hanya melalui dialog, kompleksitas masalah Papua dapat diselesaikan secara bermartabat, sekalipun ditempa badai apatisme sebagian rakyat Papua dan pemerintah yang terobsesi dengan kebijakan-kebijakan absurd yang diproduksi negara.
Dalam situasi itu, penulis hendak menegaskan beberapa hal sebagai buah refleksi atas pemikiran Teologi Harapan Moltmann, untuk terus menghidupkan harapan akan terciptanya dialog.
Pertama, harapan adalah sifat dasar Allah. Penulis yakin bahwa Allah selalu menyertai siapapun dia yang berniat baik untuk mengupayakan kebaikan bersama. Dialog adalah sarana paling humanis demi menciptakan Papua tanah damai tanpa pertumpahan darah berkepanjangan. Dialog adalah “cara” Allah menyelamatkan bangsa ciptaan-Nya.
Kedua, harapan diarahkan pada masa depan. Harapan kita bukan hanya untuk masa lalu atau masa kini, tetapi untuk masa depan. Saat ini, kita tidak bisa menaruh harapan sepenuhnya pada produk “gula-gula” Otonomi Khusus dan pemekaran daerah otonomi baru. Hanya melalui dialog secara komprehensif, kita dapat mengekspresikan eksistensi diri kita dan menuangkan seluruh harapan akan kehidupan yang bermartabat di kemudian hari.
Ketiga, harapan menggerakkan kita untuk bertindak. Harapan tidak hanya pasif, tetapi aktif. Jaringan Damai Papua selalu aktif menyuarakan pentingnya dialog. Maka itu, sangat dibutuhkan dukungan dari seluruh kalangan untuk mendukung, mengawal dan terus mendorong upaya ini.
Keempat, harapan diuji oleh penderitaan. Penderitaan adalah bagian dari kehidupan, tetapi harapan kita tidak pernah hilang, bahkan sekalipun nyawa kita menjadi taruhannya. Dalam konteks ini, penderitaan pasti diproduksi oleh mereka yang tidak ingin Papua damai, baik oleh sebagian rakyat Papua sendiri, maupun pemerintah. Namun, apakah dengan demikian harapan kita untuk Papua tanah damai hilang lenyap begitu saja? (*)
*Penulis adalah alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur (STFT) Abepura – Jayapura