Oleh: Frangki Apalem
Jika kita tidak ikut berjuang mempertahankan tanah adat, maka kita adalah bagian yang ikut membunuh masyarakat adat.
Sebuah kata yang terlintas ketika mendengar cerita tentang kehidupan masyarakat Malamalareidi (Kepulauan Aru, Maluku) sebelum adanya Lanudal dan sesudah adanya aktivitas perburuhan menggunakan mobil dan senjata sejak (1991).
Mungkin orang akan berpikir di sana hanya ada padang alang-alang (savana) yang luas dan tidak bermanfaat. Padahal sebenarnya padang alang-alang tersebut punya manfaat sangat besar bagi alam, hewan, dan manusia, apalagi untuk masyarakat Desa Marafenfen dan Desa Popjetur di tengah Pulau Trangan.
Dari situ beta juga sadari bahwa pengrusakan Pengadilan Kelas II Dobo adalah bentuk akumulasi kekecewaan yang keluar bersama air mata sebuah perjuangan yang kecewa setelah hakim membacakan putusan pengadilan, 17 November 2021.
Seakan keadilan Tuhan yang abadi sudah tidak berpihak pada orang Malamalareidi yang sudah berjuang selama 30 tahun. Kekalahan yang menandakan perjuangan masyarakat Malamalareidi yang sia-sia, akhirnya berujung pada penghancuran kantor pengadilan dan tindakan sasi adat terhadap fasilitas pemerintah (kantor bupati dan DPRD), bandara, dan pelabuhan.
Perjuangan mengembalikan tanah adat Malamalareidi tidak berhenti di Pengadilan Negeri Dobo, tetapi berlanjut ke pengadilan tinggi yang berkedudukan di Ambon, dengan harapan tanah adat marga Bothmir tetap menjadi milik orang Aru (masyarakat Malamalareidi).
Namun, hasil yang sama menjadi jawaban dari pengadilan tinggi. Dilema untuk proses ini dilanjutkan semakin besar terlihat karena sebagian orang Aru berpikir bahwa perjuangan ini akan sia-sia saja.
Kenapa kita terus berjuang kalau jawabannya adalah kalah? Kenapa kita terus berusaha kalau jawabannya adalah kecewa?
Begitu pandangan banyak orang Aru tentang proses perjuangan untuk mengembalikan tanah adat Malamalareidi oleh karena ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Tetapi selain lapangan hukum positif, maka tidak ada jalan lain untuk merebut kembali tanah adat Malamalareidi.
Kalaupun harus membakar kantor pengadilan sebagai bentuk kekecewaan pun tidak akan mengubah apapun, melainkan membawa dampak buruk, yang bisa saja berujung dengan tindakan kriminalisasi.
Memang tidak bisa dipungkiri kalau perjuangan untuk mengembalikan tanah adat Marafenfen lewat hukum positif adalah sia-sia kalau masyarakat adat melawan negara di pengadilan. Akan tetapi, satu hal yang dapat dijadikan pelajaran oleh orang Aru dari proses perjuangan masyarakat Malamalareidi adalah semangat juang yang dimiliki untuk memperjuangkan hak kepemilikan atas tanah adat.
Masyarakat Malamalareidi telah menunjukkan bahwa sebagai warga Negara tidak lelah untuk memperjuangkan haknya dengan proses hukum, yang walaupun secara langsung memberi putusan yang tidak adil.
Yang harus dijadikan pemahaman oleh orang Aru pada umumnya adalah perjuangan untuk mengembalikan tanah adat Marafenfen bukan hanya karena tanah itu adalah milik marga Bothmir atau orang Marafenfen saja, melainkan di tanah itu ada prosesi adat yang telah menjadi budaya dan berlangsung sejak para leluhur orang Aru ada.
Ketika tanah tersebut diambil-alih, maka sudah pasti bukan hanya memberi dampak buruk bagi masyarakat, sebab potensi alam yang akan dikuasai, dan prosesi adat yang telah membudaya sejak dahulu akan hilang. Meskipun TNI AL tidak melarang prosesi adat “tor dauk” penguasaan lahan akan memberi ruang yang terbuka luas untuk aktivitas berburu secara terus-menerus oleh anggota TNI AL.
Selain itu potensi dari tanah yang katanya hanyalah padang savana (alang-alang) itu bukan hanya dinikmati oleh orang dari Desa Marafenfen atau Desa Popjetur saja, melainkan juga dinikmati bersama oleh beberapa desa di Pulau Trangan, sehingga harus dijaga sebagai pemberian Tuhan yang diwariskan leluhur kepada orang Aru dan dijaga oleh masyarakat Malamalareidi dan Komkey.
Sebelum adanya Lanudal di Feragair, masyarakat Malamalareidi hidup sangat berkecukupan. Potensi yang ada dapat dimanfaatkan untuk membuat dendeng dan lain sebagainya untuk mencukupi kebutuhan ekonomi, sehingga potensi yang ada sangat penting bagi masyarakat, karena menjadi sumber pendapatan utama bagi masyarakat.
Namun, setelah Shio Lanudal/Lanudal milik TNI AL dibangun—dengan iming-iming yang disampaikan oleh Letkol Salinding pada saat pertemuan dengan masyarakat Marafenfen pada 1991 bahwa masyarakat akan sejahtera dan untuk mencegah masyarakat dari desa lain untuk tidak mengambil hasil milik—masyarakat malah terbalik menjadi bara yang membunuh masyarakat secara perlahan. Pernyataan yang menyebutkan bahwa masyarakat akan sejahtera justru berbanding terbalik dengan kenyataan. Mereka menjadi serba berkesusahan.
Begitu pula tujuan mencegah masyarakat dari desa lain untuk mengambil hasil milik masyarakat Malamalareidi malah dimanfaatkan oleh para anggota TNI-AL untuk melakukan perburuan.
Masyarakat yang dulunya bisa makan daging sepuas hati, bisa dijual untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan membayar biaya pendidikan anak-anak malah sudah tidak bisa lagi untuk menikmati hasil yang mereka miliki, apalagi untuk menjualnya.
Malah tempat yang dulunya menjadi tempat jalan menuju ke kebun-kebun milik masyarakat sudah tertutup dengan rumput karena masyarakat Marafenfen tidak lagi pergi berkebun di bagian timur karena dampak dari aktivitas perburuan oleh anggota TNI AL dan bentuk tekanan secara psikologis yang dirasakan setelah sengketa lahan yang membuat masyarakat merasa takut ketika bertemu dengan anggota TNI AL.
Masyarakat Marafenfen yang dahulu menjual daging untuk masyarakat di desa-desa bagian pantai sekarang sudah tidak bisa lagi menjual daging. Orang Marafenfen berganti untuk menunggu orang dari Desa Feruni membawa ikan barulah mereka akan membelinya.
Perjuangan yang selama 30 tahun bukan tentang mempertahankan tanah adat dari orang Aru yang lain sebagai kepemilikan marga Bothmir tetapi memperjuangkan apa yang menjadi hak untuk kehidupan orang Aru, kini dan nanti.
Dari masyarakat Marafenfen beta belajar bertahan ketika berjuang. Dari orang Marafenfen beta belajar tentang arti sebuah harapan. Sejak tahun 1992 masyarakat Marafenfen berjuang untuk mengembalikan tanah adatnya, dan hingga kini perjuangan itu terus dilakukan demi sebuah harapan untuk mengembalikan tanah adatnya, demi sebuah kehidupan kini dan nanti. (*)
Penulis adalah pemuda Aru, Maluku