Jayapura, Jubi – Indonesia Art Movement berkolaborasi dengan Komunitas Monj Hen Wani yang didukung sejumlah lembaga, komunitas, dan aktivis seni dan lingkungan di Papua menggelar Arumbay Tonotwiyat atau Pesta Rakyat Hutan Perempuan di Kampung Enggros, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Papua, Sabtu (23/9/2023).
Pesta yang berlangsung di bawah kanopi rimbun hutan bakau di Kampung Enggros ini bertujuan merayakan keindahan ‘Arumbay Tonot Wiyat’, sebuah pesta perayaan yang menggabungkan seni, budaya, dan perlindungan lingkungan. Pesta ini adalah ungkapan cinta terhadap alam, warisan budaya, dan komitmen untuk menjaga harmoni antara manusia dan alam.
Sejumlah elemen yang terlibat mendukung pesta ini di antaranya Rumah Bakau Jayapura, Kampung Dongeng Jayapura, Forum Indonesia Muda Jayapura, Sangga Uniyap, akademisi dari Universitas Cenderawasih dan ISBI Tanah Papua, dan BKSDA Papua.
Pesta ini melibatkan sejumlah anak-anak, remaja, dan orang dewasa dalam berbagai kegiatan seni, kebudayaan, dan lingkungan. Kegiatan dimulai dengan aksi membersihkan pesisir Pantai Cibery. Aksi bersih pantai ini dikoordinir Petronela.
Aksi membersihkan sampah di pesisir pantai dilakukan sebagai bentuk aksi mencintai lingkungan. Aksi ini dilakukan sebagai bentuk usaha, karena setiap hari dilakukan sampah tetap saja berserakan akibat sampah di laut terbawa arus ke pantai saat hujan.
Setelah aksi membersihkan sampah, peserta dibawa berkeliling Teluk Youtefadan menyaksikan tarian yang dipersembahkan anak-anak di Kampung Tobati-Enggros. Tarian itu menceritakan tentang hutan bakau (mangrove) yang sudah terkontaminasi sampah dan limbah kiriman dari Kampung Nafri, Pantai Hamadi, dan Kali Acai.
Kemudian peserta dibawa ke Hutan Perempuan di Enggros. Hutan Perempuan adalah hutan bakau yang hanya boleh dimasuki kaum perempuan. Di sana mereka mencari sumber pangan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sambil melepaskan keluh kesah masalah rumah tangga.
Hutan perempuan terlarang bagi kaum laki-laki. Jika ada laki-laki yang mencoba masuk, dia akan didenda berupa perhiasan atau barang lainnya, karena melanggar adat.
Mama Ani menceritakan setiap mencari bahan pangan di hutan itu lelaki tidak boleh masuk, karena perempuan di hutan itu berenang tanpa busana.
“Di dalam hutan bakau, bahan pangan yang biasa didapatkan perempuan di sana ada kerang, kepiting, udang, dan ikan,” katanya.
Tetapi, lanjut Mama Ani, hutan ini boleh dimasuki lelaki apabila tidak ada perempuan di sana. Biasanya lelaki masuk ke dalam hutan itu untuk mencari kayu bakau yang sudah kering dijadikan kayu bakar.
Orgenes Meraudje, mantan kepala Kampung Enggros dan tokoh masyarakat di Enggros mengatakan di Hutan Perempuan para perempuan juga datang karena ingin berbagi suka duka rumah tangga. Namun setelah bercerita, cerita itu hanya sampai di situ, tidak dibawa pulang ke rumah.
“Karena bagi kaum perempuan Pantai Enggros-Tobati, hutan itu suci, perempuan di situ tidak memakai busana untuk mencari bahan pangan untuk kebutuhan rumah tangga,” ujarnya.
Yehuda Hamokwarong, dosen Universitas Cenderawasih yang hadir di acara itu mengatakan Hutan Perempuan harus dilindungi, karena berfungsi sebagai pelajaran bagi perempuan. Hutan Perempuan merupakan tempat pendidikan, pengetahuan, dan ‘skill’ bertahan hidup mencari pangan untuk perempuan Enggros-Tobati. Hutan Perempuan menjadi tempat mengajarkan cara berumah tangga dengan baik, serta tempat beretika dan bermoral.
“Hutan Perempuan bukan cuma untuk paru-paru dunia, tetapi identitas untuk para perempuan,” katanya.
Selain Hutan Perempuan, juga ada para-para khusus untuk laki-laki. Tempat ini hanya bisa dikunjungi laki-laki saja. Bila ada perempuan yang masuk juga akan didenda oleh kepala adat.
Dari Hutan Perempuan, peserta dibawa ke Mitudebi, tempat pentas pesta rakyat Arumbay Tonotwiyat diadakan. Di sana sudah ada para penjual makanan olahan masyarakat kampung sekitar, minuman, serta aneka aksesori.
Di pentas ini digelar lomba membaca puisi dan lomba berpidato dalam bahasa Enggros antar anak-anak Kampung Enggros. Mereka terlihat sangat antusias mengikuti lomba.
Usai lomba, anak-anak Kampung Enggros dibawa ke ruangan kelas PAUD Kampung Enggros binaan Lantamal X. Di sana mereka mendengarkan dongeng berjudul ‘Si Obo dan Mangi Bernama Jee dan Nuy’.
Setelah itu, mereka menonton film produksi komunitas pencinta lingkungan. Film itu untuk mengedukasi analk-anak Kampung Enggros mencintai lingkungan. Selain itu agar memotivasi anak-anak untuk memelihara dan melestarikan lingkungan sekitar.
Gamel dari Rumah Bakau Jayapura, komunitas yang terlibat menyelenggarakan pesta rakyat itu mengatakan, acara ‘Arumbay Tonotwiyat’ diadakan berawal dari keprihatinan terhadap kondisi hutan mangrove di Teluk Youtefa.
“Karena ada keprihatinan dengan hutan kami, dengan hutan Port Numbay yang justru hilang karena dibukanya akses Jalan Hamadi-Holtekamp, Ring-road, dan Jembatan Youtefa. Itu membuat hutan bakau menjadi babak belur,” ujarnya
Hutan bakau di sana babak belur, kata Gamel, karena banyak kawasan hutan yang ditimbun. “Kami tidak melarang adanya pembangunan, tetapi harus menghargai kearifan lokal. Jangan hanya semata-mata untuk beralibi demi kesejahterahan akhirnya masyarakat diabaikan,” katanya.
Gamel juga menyorot dampak pembangunan jembatan di Teluk Youtefa yang berdampak kepada kendaraan yang datang memamerkan kemewahan. Tapi sebaliknya juga mendatangkan banyak sampah, termasuk sampah miras. “Banyak sampah yang kita pungut, tinggal manusia yang kita belum pungut,” ujarnya.
Ia berharap jangan sampai hutan bakau yang tersisa sepanggal itu tidak dilestarikan, sebab nanti akan hilang atau musnah dalam sekejap karena pembangunan. “Harus dijaga bersama agar bisa mewariskan kepada anak cucu kita,” katanya.
Alhadir, Staf BKSDA atau Balai Konservasi Sumber Daya Alam Papua yang hadir pada acara itu mengatakan sampah selalu menjadi masalah utama di Teluk Youtefa. Menurutnya hal itu disebabkan karena masyarakat belum sadar akan kebersihan lingkungan dan membuang sampah sembarang.
“Bahkan banjir membawa barang-barang yang hanyut ke dalam Teluk Youtefa sehingga terjadi sedimentasi. Ini yang menjadi ancaman bagi kita di hutan lindung dan hutan konservasi di Teluk Youtefa,” katanya. (*)