Jayapura, Jubi – Gaya rambut gimbal dan menguncir rambut di Tanah Papua, khususnya bagi Suku Yali di Pegunungan Tengah Papua, bukanlah sesuatu hal yang baru. Itu sudah merupakan tradisi yang dikenal dalam upacara bernama ritus ‘Simbahan’.
“Simbahan adalah nama dalam bahasa Suku Yali untuk cara menghias rambut laki-laki yang dilakukan dalam ritus khusus,” tulis Dr Siegfride Zollner dalam bukunya ‘Pohon Yeli dan Mitos Wama dalam Agama Orang Yali’.
Dia mengakui selama berada di daerah Yalimo, ritus Simbahan hanya dilakukan dua kali, yaitu di Kampung Piliyam. “Ritus Simbahan kala itu menggambarkan bagaimana kaum laki-laki memiliki model rambut dan hiasan yang sangat menarik,” tulis Dr Zollner yang datang ke sana sejak 1960 pada era Pemerintahan Nederlands Nieuw Guinea.
Lebih lanjut, tulis Zollner, sebenarnya pelaksanaan ritus Simbahan biasanya dilakukan saat terjadinya peristiwa wabah penyakit atau bencana kelaparan yang bisa menjadi alasan ritus merias rambut bagi kaum laki-laki berlangsung.
Namun secara garis besar dalam persiapan melakukan ritus Simbahan ini harus diambil keputusan bersama dan selanjutnya memerintahkan semua pemuda untuk pergi ke hutan mengumpulkan tangkai bunga anggrek berwarna kuning (weik) sebanyak mungkin.
“Sekitar empat hari mereka mencari dan membawa semuanya ke dalam rumah keramat, termasuk satu ekor kuskus (Phalangeriadae), bahasa Yali disebut Wiya,” tulisan misionari asal Jerman itu. Usai mengumpulkan bahan bahan yang tersimpan di dalam rumah keramat (Heriegpini) dan selanjutnya memotong babi untuk dimasak dengan cara bakar batu di luar rumah keramat. “Khusus untuk kus-kus dimasak juga dengan cara bakar batu dalam rumah keramat,” kata Zollner.
Ia menambahkan semua anak laki-laki yang ingin hadir dalam ritus Simbahan dipanggil masuk ke dalam rumah keramat khusus kaum laki-laki.
Ada aturan yang berlaku dalam ritus Simbahan, antara lain menyerahkan keladi sakral, menguburkan lemak babi, dan menanam kaki. “Ketika setiap anak laki laki menerima keladi diberikan juga sepotong daging kuskus,” kata Zollner yang mengutip keterangan dari warga Suku Yali bernama Furiyek.
Ia menyebutkan ritus ini memiliki nilai yang sejajar dengan ritus Muruwal, yaitu upacara rahasia untuk kaum laki-laki.
Aturan inti dalam ritus Simbahan adalah tali-tali kuning dari batang bunga anggrek harus diikat atau dianyam pada rambut dua laki-laki.
“Dengan mengucapkan mantra rahasia yang saya juga tidak diberitahukan artinya oleh mereka. Sambil ucapkan mantra itu langsung mengikat tali-tali hiasan anggrek kuning ke rambut mereka,” tulisnya.
Zollner menambahkan tali itu sudah dipintal dari batang anggrek kuning yang panjangnya sekitar 50 centimeter.
“Orang tua maupun muda mulai memintal tali dari serat batang anggrek kuning, karena untuk tiga jenis hias rambut dibutuhkan banyak sekali pintalan tali,” tulis Zollner.
Bahwa laki-laki yang tua, lanjutnya, sangat menentukan dan memutuskan pula hiasan rambut mana yang cocok untuk laki laki tertentu sesuai dengan umurnya.
“Rambut setiap laki-laki dikepang sehingga ada terdapat 60 sampai 80 kucir kecil. Sesuai dengan model simbahan yang ada pada setiap kepangan ini diikat dengan tali anggrek kuning yang menempel di kulit kepala dan terjalin dengan kepangan rambut sehingga rambut benar-benar tertutupi.”
Selama pelaksanaan ritus Simbahan membutuhkan waktu hampir seminggu, bahkan mungkin pula bisa lebih dari itu. “Ada yang bisa mencapai satu bulan,” tulis Zollner.
Laki-laki yang rambutnya sudah dirias dalam ritus Simbahan tidak boleh keluar pada siang hari karena tidak boleh terlihat oleh warga di Kampung. Mereka hanya boleh keluar dari rumah keramat pada malam hari.
Setiap peserta upacara Simbahan hanya boleh memakan betatas dan beberapa jenis sayuran. Mereka juga belajar lagu-lagu tentang ritus Simbahan.
Inilah syair lagu yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia,
“Simbahan itu, dipintal, dipintal… akankah aku memintalnya untukku ataukah tidak
Simbahan itu dipintal… dipintal… dari rumput pimbik, dipintalnya… dari rumput tangum dipintalnya.”
Sambil menyanyi saat mereka mulai keluar dari rumah keramat dan dapat dilihat oleh semua warga di kampung. Satu per satu keluar dari pintu rumah adat menari dan menyanyi. Mereka menari sampai malam dari dukuh ke dukuh dan berpindah pindah. Saat pesta itu orang-orang yang ikut dalam simbahan menyembelih sembilan ekor babi dan memasak bakar batu.
Beberapa hari kemudian dilakukan ritus khusus dengan memakan daging kuskus yang dimasak dengan cara bakar batu sebagai smbol akhir dari ritus Simbahan.
Tiga model rambut
Ada tiga model rambut pada ritus Simbahan:
(1) Liya atau Yaliya adalah rambut di tengah dahi dan kepala dikepang menjadi 20-30 kucir kecil dan ditarik ke belakang digabungkan menjadi satu kucir dan diikat pada sepotong kayu ilibuk yang panjangnya 30-40 centimeter. Lalu kayu dililit dengan dengan benang (wisig). Sebelumnya kayu ilibuk digosok dengan lem somug agar benang melekat erat di kayu tersebut. Kayu itu pun dihiasai dengan beberapa helai bulu-bulu burung Cenderawasih yang menonjol ke belakang. Kayu dililit dengan benang sampai ke bawah atau belakang punggung. Model Liya ini dikenakan oleh lelaki dewasa berbadan tinggi.
(2) Sakuk atau Sakangen adalah model yang dikenakan secara khusus untuk laki-laki muda yang belum memakai ikat pinggang rotan (laki-laki dewasa Suku Yali tidak memakai koteka, tetapi ikat pinggang rotan sebagai baju untuk melindungi tubuh mereka). Semua rambut di tengah kepala dikepang, disambung dengan tali-tali kuning (weik) sehingga menjadi 80 tali dan ditarik ke belakang.
(3) Mase atau berputar adalah model yang khusus untuk kaum laki-laki berbadan pendek gemuk. Kayu (ahun) dan akar (umanggen) menunjukan kerimipan dengan bentukan simbahan Liya. Hanya saja bentuk ini memakai tali tali kuning dan dibungkus dengan kulit kayu, yakni kayu sohou.
Kini dalam perkembangan modern, model dan gaya rambut terus berkembang sesuai dengan zamannya. Belajar dari ritus Simbahan dari Suku Yali, ternyata model rambut gimbal dan kuncir rambut sudah menjadi tradisi nenek moyang mereka sejak dulu. Berbeda dengan zaman sekarang di mana membuat model rambut tak harus melalui ritus dan upacara adat, serta terkait dengan tradisi leluhur. (*)
Discussion about this post